Bahaya Kecanduan Gadget, Dampak pada Otak dan Cara Mengatasinya Ala Bunda Elly Risman

Jumat, 21 November 2025
Sabtu pagi, 11 Oktober 2025, udara Serang terasa segar saat langkah kaki menapaki lantai lobi Hotel Ledian. Di ruang seminar yang hangat, nampak ratusan wajah orang tua, guru PAUD, dan para pemerhati pendidikan yang tampak duduk dengan penuh antusias. Ada keresahan yang sama terpancar di mata para peserta seminar. Banyak pertanyaan berkecamuk mempertanyakan, bagaimana masa depan anak-anak kita di tengah derasnya arus digital?


seminar parenting elly risman



Seminar parenting bersama Ibu Elly Risman ini mengangkat tema “Parenting Kolaboratif untuk Mencegah Kekerasan Seksual di Era Digital.” Sebuah tema yang sedang ramai dibicarakan dan menjadi kegelisahan banyak kalangan, orang tua, guru, hingga pemerhati pendidikan.

Sebab di balik kemajuan teknologi yang kita banggakan, tersimpan sisi gelap yang mengintai anak-anak: akses informasi tanpa batas, paparan konten tidak layak, dan peluang kekerasan seksual digital yang makin sulit dikontrol. Dunia maya kini tak lagi sekadar tempat bermain, tapi juga ruang berisiko yang bisa mencederai masa depan mereka jika orang tua abai.

Ruangan sejuk yang nyaman ini dipenuhi para orang tua, guru, dan pendidik yang datang dengan berbagai rasa ingin tahu. Ketika Bu Elly Risman membuka seminar, suasana langsung terasa hangat. Beliau memulai dengan ajakan yang unik, “Angkat tangan kiri, usapkan ke kepala, dan katakan: hal yang menyenangkan akan memudahkan kita memahami sesuatu.” Seketika ruangan riuh oleh tawa. Suasana cair, tapi pesan yang disampaikan begitu dalam.

Bu Elly membuka sesi dengan nada yang lembut tapi penuh penegasan diwarnai perumpamaan “Kalau dulu kita khawatir anak jatuh dari sepeda, sekarang kita harus khawatir mereka jatuh di dunia maya.”
Kalimat itu seketika membuat ruangan terdiam. Semua mata terarah, semua hati tertohok. Karena setiap orang tua di ruangan itu tahu, kekhawatiran itu nyata.

Dalam sesi itu, Bu Elly menyampaikan sesuatu yang membuat dada saya bergetar, dan saya yakin juga hal yang sama dialami oleh orang tua lainnya. Kecanduan gadget bukan sekadar masalah kebiasaan, tapi gangguan pada fungsi otak yang bisa merusak kemampuan anak untuk fokus, berempati, dan mengendalikan diri.

Bu Elly lalu mengajak peserta merenung, “Anak-anak kita sekarang tumbuh di dunia yang tidak lagi kita kenal.” Kalimat itu seperti membuka gerbang kesadaran. Dunia digital yang dulu terasa menyenangkan, kini justru membuat banyak orang tua kehilangan kendali.

Di sinilah Bu Elly mulai menyinggung peran gadget dalam kehidupan anak. Awalnya hanya sebagai hiburan, pengalih tangis, atau teman saat makan. Namun perlahan, gawai itu mengambil alih fungsi-fungsi penting di otak anak.

“Coba perhatikan,” ujar Bu Elly sambil tersenyum getir, “anak yang terlalu lama di depan layar sering sulit fokus, cepat marah, bahkan tidak bisa diam tanpa gadget di tangannya.”

Beliau kemudian memaparkan hasil penelitian dan data nyata yang menggugah hati: paparan layar berlebihan bisa mengganggu area prefrontal cortex, bagian otak yang berperan dalam mengendalikan emosi, konsentrasi, dan kemampuan mengambil keputusan. Otak anak yang seharusnya berkembang melalui interaksi langsung dan pengalaman nyata, justru dibanjiri stimulasi instan dari layar.
Akibatnya, anak lebih mudah stres, sulit berempati, dan mengalami ketergantungan terhadap sensasi cepat yang diberikan gawai.

Di tengah suasana serius itu, Bu Elly tiba-tiba memberi ice breaking khasnya, “Sekarang, angkat tangan kirinya, usapkan ke kepala, dan bilang: aku orang tua hebat yang sedang belajar, jika kita selalu bahagia maka proses belajar akan berjalan menyenangkan!”

Tawa kecil pun terdengar di ruangan. Semua peserta menepuk kepala masing-masing sambil tersenyum.
Ketenangan kembali hadir, seolah pesan tadi meneguhkan: menjadi orang tua memang tidak mudah, tapi bisa dipelajari dengan hati yang lapang.

Realita yang Menyedihkan: Ketika Gadget Menggeser Peran Orang Tua


Dalam seminar itu, Bu Elly memaparkan fakta yang membuat ruangan mendadak sunyi. Ia menyebutkan bahwa ratusan anak kini dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Jawa Barat, karena kecanduan gawai dan gim daring. Di Surabaya, RSJ Menur bahkan melaporkan lebih dari 3.000 kasus anak dan remaja yang memerlukan perawatan akibat adiksi gadget hanya dalam satu tahun terakhir.

“Bahkan ada RSJ yang penuh hanya karena menerima pasien korban gawai,” tutur Bu Elly lirih. Beberapa rumah sakit lain, lanjutnya, menolak pasien dengan alasan belum memiliki fasilitas untuk menangani kecanduan digital pada anak-anak. Sebuah kenyataan yang ironis di tengah masyarakat modern yang menganggap gawai sebagai kebutuhan pokok.

Kita mungkin berpikir anak yang bermain gawai hanyalah sedang bersenang-senang. Tapi di balik layar itu, otaknya sedang bekerja keras melawan stimulasi berlebihan yang menyerupai efek narkoba. Anak-anak yang seharusnya bermain di luar ruangan kini terperangkap dalam dunia maya yang membuat mereka kehilangan kemampuan menikmati realitas.

Pernyataan itu membuat ruangan hening seketika. Rasanya seperti tamparan lembut bagi kami, para orang tua yang sering kali menenangkan anak dengan gawai, bukan dengan pelukan. Di panggung depan, sosok Bu Elly Risman berdiri dengan senyum hangat seperti ibu yang akan menegur dengan cinta. Dari sinilah, kisah dan kesadaran besar itu bermula.

Bu Elly tidak hanya berbicara dengan data dan teori, melainkan dengan hati seorang ibu, seorang psikolog, dan seorang pendidik yang telah puluhan tahun menyaksikan perubahan generasi. Kata-katanya lembut, tetapi menampar kesadaran banyak orang tua:

“Anak-anak kita sedang butuh kita. Jadilah orang tua yang sadar, bukan sekadar ada.”

Seketika banyak kepala menunduk dan hati bergetar. Betapa banyak di antara kita yang hadir secara fisik di rumah, tapi jiwa kita tersedot ke layar gawai. Anak duduk di depan kita, tetapi perhatian kita beralih ke notifikasi. Dan perlahan, tanpa kita sadari, jarak emosional terbentuk antara orang tua dan anak.


dampak gadget bagi anak


Dari Dopamin ke Disfungsi Otak: Bagaimana Gadget Mengubah Struktur Otak Anak


Penjelasan Bu Elly kemudian beralih ke sisi ilmiah. Ia menjelaskan bahwa setiap kali anak bermain gim, menonton video pendek, atau mendapat “like”, otaknya mengeluarkan zat kimia bernama dopamin, hormon yang memberi sensasi senang dan puas.

Namun, dopamin ini ibarat pisau bermata dua. Semakin sering dikeluarkan akibat rangsangan layar, otak menjadi terbiasa dengan level kesenangan tinggi yang instan. Lama-kelamaan, anak kehilangan kemampuan untuk menikmati hal-hal sederhana seperti bermain pasir, menggambar, atau sekadar bercengkerama dengan keluarga.

Penelitian ilmiah mendukung hal ini. Sebuah studi berjudul Digital Addiction and its Relationship with Cognitive Function among Children (2024) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat adiksi digital, semakin rendah kemampuan anak dalam fokus, memori, dan pengendalian emosi. Anak menjadi mudah marah, sulit konsentrasi, dan kehilangan semangat belajar.

Bukan hanya itu. Riset di Amerika Serikat terhadap lebih dari 50.000 anak menunjukkan bahwa anak yang menggunakan layar lebih dari empat jam per hari memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecemasan, depresi, gangguan tidur, bahkan gejala ADHD. Semua ini bukan karena anak nakal, tetapi karena struktur otaknya berubah akibat paparan dopamin berlebihan dari layar.


Kisah Nyata dari Lapangan: Anak yang Kehilangan Masa Kecilnya


Banyak laporan di lapangan menunjukkan anak-anak yang terlalu lama terpapar layar mengalami gangguan konsentrasi, emosi, bahkan kehilangan minat terhadap interaksi sosial di dunia nyata. Fenomena ini menjadi perhatian serius para psikolog dan pemerhati anak, termasuk Bu Elly Risman, yang menekankan pentingnya peran orang tua dalam mencegah adiksi sejak dini.

Ada pula seorang gadis kecil yang dulunya periang, kini menjadi pendiam dan mudah tersinggung. Ia kehilangan kemampuan menulis dengan tangan karena terlalu terbiasa mengetik di layar. Kasus-kasus seperti ini bukan lagi cerita luar negeri,  ini terjadi di sekitar kita.

Penelitian di Palembang menunjukkan bahwa anak-anak yang kurang mendapat pengawasan orang tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecanduan gadget. Sementara di Sulawesi Utara, 83,7% anak sekolah dasar tercatat menggunakan gawai melebihi batas wajar, dan 84,8% di antaranya mengalami gangguan perilaku dan emosi.

Penjelasan Bu Elly tak berhenti di situ. Dengan gaya khasnya yang penuh energi dan keibuan, beliau menggambarkan betapa otak anak itu seperti tanah subur yang bisa ditanami apa pun, tergantung apa yang paling sering mereka terima.

Jika yang mereka lihat dan dengar setiap hari adalah suara dari layar, bukan suara ibu, atau cahaya dari gawai, bukan sinar wajah orang tua, maka tumbuhlah koneksi otak yang salah arah.

Secara ilmiah, para ahli neurosains menjelaskan bahwa penggunaan gadget berlebihan dapat memengaruhi struktur dan fungsi otak anak. Bagian prefrontal cortex, yang berperan dalam mengontrol emosi dan membuat keputusan, menjadi kurang aktif karena anak jarang menggunakan kemampuan berpikir panjang atau menunda kesenangan.

Sementara bagian otak yang berhubungan dengan sistem reward, tempat rasa senang dan candu terbentuk, mengalami bekerja terlalu keras akibat stimulasi cepat dari gim, video, dan media sosial.
Inilah yang kemudian memunculkan gejala mirip kecanduan narkoba digital,  anak sulit berhenti, cepat marah saat gadget diambil, dan kehilangan minat terhadap aktivitas sosial.

Penelitian dari Frontiers in Psychology (2023) menunjukkan bahwa paparan layar lebih dari tiga jam sehari dapat menghambat perkembangan white matter, yaitu jaringan otak yang berfungsi menghubungkan berbagai area penting untuk belajar dan berbahasa. Sementara riset lain di JAMA Pediatrics (2022) menemukan adanya kaitan kuat antara durasi penggunaan layar dengan meningkatnya gangguan perhatian dan perilaku impulsif pada anak-anak usia sekolah dasar.

Bu Elly menegaskan, “Inilah mengapa kita melihat anak-anak kini lebih mudah meledak, cepat bosan, dan sulit diatur. Bukan karena mereka nakal, tapi karena otaknya sedang kelelahan.” Kalimat pemaparan dari Bu Elly tersebut disambut dengan anggukan panjang dari para peserta, beberapa bahkan tampak menahan haru.

Semua ini menunjukkan bahwa krisis yang kita hadapi bukan semata krisis teknologi, tapi krisis keterikatan emosional antara orang tua dan anak.

Pola Asuh Digital: Hadir Sepenuh Hati, Bukan Sekadar Fisik


Bu Elly kemudian menatap para peserta satu per satu. Dengan suara lembut tapi tegas, beliau berkata,

“Kuat ya jadi orang tua. Jadilah orang tua yang siap membersamai anak!”

Kata membersamai mengandung makna yang dalam. Ia bukan sekadar mengawasi, tapi menemani. Anak butuh contoh, bukan ceramah. Butuh dipeluk, bukan disalahkan. Butuh kehadiran, bukan sekadar perhatian lewat tatapan singkat dari balik layar.

Dalam Islam, Rasulullah SAW sudah memberi teladan mendalam tentang pentingnya kedekatan emosional dengan anak. Beliau memeluk Hasan dan Husain, menggendong cucunya ketika shalat, dan selalu berbicara dengan lembut. Beliau menunjukkan bahwa cinta yang tulus menjadi pondasi utama pendidikan anak.

Sabda Rasulullah SAW bahwasannya “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di era digital ini, bisa kita tambahkan dengan sebuah perumpamaan bahwa orang tualah yang menentukan arah pendidikan anak, apakah anak tumbuh sebagai pribadi sadar digital atau malah menjadi korban teknologi.

peran keluarga dari dampak buruk gadget


Buat Langkah Nyata, Ciptakan Kehangatan dalam Rumah


Setelah mengguncang kesadaran dengan fakta-fakta yang menggetarkan, Bu Elly tidak membiarkan para peserta larut dalam rasa bersalah. Dengan suara lembut, beliau berkata,

“Tenang, kita tidak terlambat. Asal mau berubah, insyaAllah, Allah akan membantu kita.”

Kalimat itu menembus hati banyak orang tua di ruangan itu. Ada yang menunduk, ada yang mengusap air mata. Karena sesungguhnya, menjadi orang tua di era digital ini bukan tugas yang mudah. Tapi bukan berarti kita kalah. Justru di sinilah perjuangan sejati dimulai,  perjuangan merebut kembali hati anak-anak kita dari genggaman layar.

Bu Elly kemudian memberi arahan yang sangat praktis, sederhana, tapi berdampak besar. Beberapa tips yang saya rangkumkan ini semoga bisa menjadi pegangan bagi kita para orang tua untuk menata kembali apa yang mungkin sempat terserak.

1. Membangun Komunikasi yang Hangat dan Penuh Empati


Seringkali anak-anak beralih ke gadget bukan karena candu teknologi, tapi karena rindu perhatian. Mereka ingin didengar, tapi orang tua sibuk. Mereka ingin ditemani, tapi yang menatap mereka hanyalah layar.

Mulailah dari hal sederhana yaitu  menyapa anak dengan tatapan mata, mendengarkan ceritanya tanpa memotong, atau sekadar bertanya, “Hari ini kamu merasa senang tentang apa?” Komunikasi yang lembut adalah pintu awal untuk memulai hubungan baik. 

Penelitian dari Harvard Center on the Developing Child menunjukkan bahwa hubungan emosional yang kuat antara anak dan orang tua mampu menurunkan risiko kecanduan digital hingga 45%. Artinya, cinta dan kehadiran bisa menjadi terapi yang lebih ampuh dari pada sebuah aturan yang mengekang anak. 

2. Tetapkan Aturan Waktu Layar (Screen Time) melalui Kesepakatan Bersama


Bu Elly menekankan bahwa batasan tidak harus melulu berupa hukuman, namun bisa dibuat seperti sebuah kesepakatan yang dibuat oleh seluruh anggota keluarga, misalnya dengan menyepakati aturan tidak ada gawai saat makan, tidak bermain gawai sebelum shalat, atau tidak boleh menonton sebelum tugas sekolah selesai.

Ketika aturan dibuat bersama, anak merasa dihargai dan ikut memiliki tanggung jawab. Mereka akan memperoleh pembelajaran berharga dan akan memahami sebuah komitmen. Belajar disiplin bukan karena takut dimarahi, tapi juga karena memahami arah tujuan dari kesepakatan yang dibuat.


“Anak bukan untuk dikontrol, tapi untuk diarahkan,” ujar Bu Elly.


3. Ganti Kegiatan Waktu Layar (Screen Time) dengan Aktivitas Bermakna


Anak-anak tidak bisa hanya dilarang tanpa diberikan alternatif pilihan. Jika waktu layar yang biasa anak gunakan dikurangi, maka ruang kosong itu harus diisi dengan kegiatan yang menyenangkan. Bu Elly memberi contoh sederhana lewat bermain peran, memasak bersama, berkebun, atau membaca kisah Nabi sebelum tidur.

Aktivitas nyata seperti ini memberi stimulasi sensorik dan emosional yang tidak bisa digantikan oleh layar. Sebuah penelitian dari American Academy of Pediatrics (AAP) menunjukkan bahwa bermain langsung dengan orang tua meningkatkan kemampuan bahasa, empati, dan kontrol diri anak secara signifikan.

Dan hal yang paling membahagiakan adalah ketika anak kembali menemukan kebahagiaan sejatinya, yaitu bisa tertawa tanpa filter layar, tangan yang dipenuhi debu, pelukan yang nyata, dan perhatian tanpa sinyal WiFi.

4. Tunda pemberian gawai pribadi selama mungkin


Banyak orang tua memberi anak ponsel dengan alasan keamanan atau agar tidak ketinggalan zaman. Tapi Bu Elly mengingatkan,

“Anak tidak akan kehilangan masa kecilnya karena tidak punya HP, tapi bisa kehilangan masa kecil yang sangat bermakna karena terlalu cepat memilikinya dan menikmatinya.”

Anak yang belum matang secara emosi belum siap menghadapi derasnya arus informasi digital. Sebuah Studi yang dilakukan oleh University of Michigan menunjukkan bahwa anak yang memiliki ponsel pribadi sebelum usia 13 tahun berisiko dua kali lebih tinggi mengalami adiksi digital dan kesulitan fokus belajar.

Lebih baik sedikit “terlambat” daripada anak-anak kita kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan merasakan dampak negatif dari gadget.

5. Menjadikan Rumah Menjadi Tempat Kembali yang Aman dan Nyaman Bagi Anak


“Kalau rumah tidak lagi nyaman, anak akan mencari pelarian, dan saat ini pelarian yang sangat membuat anak nyaman dan kecanduan itu bernama gadget.” Tutur Bu Elly.

Rumah yang penuh cinta, tawa, dan kedamaian adalah benteng terakhir melawan badai digital. Tidak perlu rumah yang besar dan mewah dalam bentuk ukuran namun rumah yang dipenuhi kehangatan dan bermakna yang dirindukan para penghuninya.

Bahkan dalam Islam, Allah menegaskan tujuan pernikahan dan keluarga adalah untuk menciptakan sakinah, dalam artian ketenangan jiwa. Allah berfirman dalam Qur'an surat Ar-rum ayat 21:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”

Ketika kasih dan rahmah itu hadir di dalam rumah, maka para penghuninya akan merasa nyaman dan anak-anak tidak lagi mencari cinta di layar. Mereka akan menemukan kebahagiaan di pelukan orang tuanya sendiri. Orang tua bagi mereka adalah tempat pelarian yang paling tepat dan tempat persinggahan yang paling aman dan nyaman.

6. Doa dan kesadaran diri sebagai sumber kekuatan orang tua


Bu Elly memaparkan dengan ajakan lembut. Nasihat yang diberikan begitu meyentuh hati.


“Jangan marahi anak karena kecanduan gawai. Beri pelukan, karena dia sedang sakit, mereka bukan sosok  jahat. Mohonlah pertolongan Allah, karena Allah lah yang berkuasa untuk membolak-balik hati manusia.”


Selain usaha yang kita lakukan, jangan lupa iringi dengan do'a, karena do'a akan menjadi energi yang menenangkan. Ketika orang tua memperbaiki diri,  menurunkan nada suara, memperbaiki komunikasi, dan memperbanyak doa, maka pengharapan yang kita panjatkan akan sampai ke hati anak.

Anak bukan hanya belajar dari apa yang kita katakan, tapi dari siapa kita. Maka tugas orang tua bukan hanya mendidik anak, tapi juga terus mendidik diri sendiri agar lebih bijak, lebih sabar, dan lebih hadir.


Doa, Harapan, dan Tanggung Jawab Kita Sebagai Orang Tua di Era Digital


Ketika seminar bersama Bu Elly Risman berakhir, suasana ruangan berubah menjadi hening. Tak ada lagi tawa keras, hanya suara napas dan mata yang berkaca-kaca. Beberapa peserta menunduk dalam, merenungi perjalanan mereka sebagai orang tua di tengah derasnya arus digital.

Saya pun tak bisa menahan haru. Di satu sisi, rasa bersalah muncul  berapa kali saya tanpa sadar menatap layar ketika anak ingin bercerita? Berapa kali saya menenangkan anak dengan memberi gawai, bukan pelukan? Tapi di sisi lain, ada harapan baru: kita bisa berubah, dan belum terlambat untuk memperbaiki semuanya.

Bu Elly menutup dengan kalimat yang terus terngiang di telinga:

“Anak-anak tidak butuh orang tua sempurna, mereka butuh orang tua yang mau belajar.”

Kalimat sederhana, tapi dalamnya luar biasa. Karena pada dasarnya, tugas kita bukan melahirkan anak yang hebat di dunia maya, tapi anak yang kuat di dunia nyata. Bukan sekadar pintar menggunakan teknologi, tapi bijak menundukkannya.

Menghadirkan Allah dalam Pengasuhan Digital


Dalam perspektif Islam, anak adalah amanah. Allah ﷻ berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini bukan sekadar perintah melindungi dari maksiat, tapi juga peringatan agar kita menjaga keluarga dari setiap hal yang bisa merusak jiwa — termasuk adiksi gawai, tontonan yang tidak layak, dan hilangnya kedekatan spiritual karena terlalu larut dalam dunia digital.

Maka pengasuhan digital sejatinya bukan sekadar soal manajemen waktu layar, tetapi manajemen hati. Bagaimana orang tua menumbuhkan kesadaran diri, menguatkan hubungan batin dengan anak, dan menghadirkan Allah di tengah interaksi keluarga.

Rasulullah ﷺ mengajarkan keseimbangan itu dengan indah. Beliau mendidik dengan kelembutan, menegur tanpa menghina, dan selalu memberi ruang bagi cinta. Dalam dunia yang semakin bising oleh teknologi, keteladanan Nabi adalah kompas agar kita tidak tersesat.

Membangun Generasi yang Melek Digital dan Tangguh Secara Emosional


Kecanduan gadget bukan hanya masalah teknologi, tapi juga krisis perhatian dan keterikatan emosional. Anak-anak yang tumbuh dengan cinta, disiplin, dan kehadiran orang tua akan lebih kuat menghadapi godaan digital.

Orang tua masa kini harus menjadi role model digital bagi anak-anaknya. Tunjukkan bahwa kita pun mampu menahan diri, mampu meletakkan ponsel ketika sedang berbicara dengan keluarga, mampu mengisi waktu luang dengan hal-hal produktif. Anak belajar bukan dari perintah, tapi dari teladan.

Sebagaimana pepatah Arab yang sering dikutip Bu Elly:

الولد سر أبيه  “Anak adalah rahasia dari orang tuanya.”

Artinya, perilaku anak adalah cerminan dari keadaan hati dan kebiasaan orang tuanya.


Jika kita ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang bijak, maka kebijaksanaan itu harus dimulai dari kita sendiri.


Mari berhenti sejenak dari layar, lalu pandang wajah anak-anak kita. Tatap mata mereka, di sana ada harapan, cinta, dan masa depan bangsa. Jangan biarkan cahaya di mata mereka padam karena terlalu lama disinari oleh layar gawai. Mulailah hari ini dengan langkah kecil. Letakkan ponsel ketika anak berbicara. Dengarkan tanpa menghakimi. Peluk tanpa syarat. Berdoalah setiap malam agar Allah menjaga hati anak-anak kita dari hal yang melalaikan. Karena sesungguhnya, gadget bukan musuh, tapi alat. Dan alat akan baik jika berada di tangan yang bijak.

Kita bukan sedang berperang melawan teknologi, tetapi sedang berjuang mempertahankan kemanusiaan agar anak-anak kita tetap punya hati yang peka, mata yang jernih, dan jiwa yang sehat di tengah dunia digital yang bising.

Kecanduan gadget pada anak bukan sekadar isu perilaku, tapi krisis emosional dan spiritual yang berakar dari hubungan antara anak dan orang tua. Pola asuh dalam menerapkan kebijakan penggunaan alat digital yang tepat bisa disampaikan dengan komunikasi yang hangat melalui pembatasan waktu layar yang bijak, aktivitas pengganti yang bermakna, serta kehadiran penuh cinta dan doa, menjadi kunci utama dalam menjaga fungsi otak anak dan keseimbangan jiwanya.

Perlu kiranya dipahami bahwa kita tidak sedang menyelamatkan anak-anak dari sebuah penampakan layar semata, tapi lebih besar dari itu, kita sedang menyelamatkan masa depan mereka dari kehilangan arah dan kehilangan jati diri krena pengaruh kejahatan dunia digital yang tanpa batasan.

Saatnya Menjadi Orang Tua yang Hadir


Ketika seminar usai, sebagian peserta masih enggan beranjak. Ada yang menunduk sambil menatap layar ponselnya sendiri, seolah baru menyadari bahwa benda kecil di tangan itu ternyata punya kuasa besar atas hubungan mereka dengan anak.

Pesan Bu Elly terasa membekas: “Kecanduan gadget bukan hanya soal anak, tapi soal siapa yang paling sering memberinya.”

Kalimat itu sederhana, tapi menyentuh jantung persoalan. Di era digital ini, menjadi orang tua berarti bukan hanya memberi makan dan pendidikan, tetapi juga melindungi otak, jiwa, dan fitrah anak dari racun visual yang tak kasat mata.

Ilmu neurosains kini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Otak anak berkembang paling pesat saat mereka bermain, berbicara, dan berinteraksi langsung dengan orang tua. Stimulasi dari layar bersifat cepat dan instan, tetapi tidak meninggalkan bekas mendalam dalam memori jangka panjang anak.

Sebaliknya, pengalaman nyata , seperti pelukan, doa, dan waktu bersama akan menumbuhkan hormon kebahagiaan alami seperti oxytocin, yang memperkuat ikatan kasih dan rasa aman. Islam telah lebih dulu mengajarkan bahwa kehadiran orang tua adalah rahmah bagi anak, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:


Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua. (HR. Ahmad)


 Ayat dan hadis ini bukan hanya pedoman moral, tetapi juga panduan neuropsikologis yang relevan di zaman modern.


Ketika kasih sayang hadir, otak anak pun tumbuh sehat.


Kini, tiba waktunya kita sebagai orang tua harus segera membangkitkan kesadaran kita. Ingatkan diri kita, bahwa tanggung jawab kita sebagai orang tua di era digital ini memang dibutuhkan perhatian dan kewaspadaan yang tinggi. 

Usahakan hari demi hari yang dilalui oleh buah hati kita diisi dengan penuh kenhangatan dan hal yang bermanfaat, tentunya hal itu akan bisa terpenuhi jika kita bisa hadir secara penuh pula dalam kehidupan mereka.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah layar kecil yang sangat menarik itu  sedang membantu tumbuh kembang buah hati kita,  atau justru menggantikan peran kita sebagai orang tua? Yuk, segera sadar diri.

Menjadi orang tua di era digital memang tak mudah. Tapi seperti yang selalu diingatkan Bu Elly dalam seminarnya, “Kita tidak perlu menjadi orang tua yang sempurna, namun berusahalah untuk menjadi orang tua yang cukup sadar dan mau belajar. Karena anak-anak kita tidak butuh orang tua yang hebat, yang  mereka butuhkan adalah orang tua yang hadir dan membersamai mereka.”



Referensi


Seminar Parenting Bersama Psikolog  Bunda Elli Risman

Apik Lestari, C., Zikrinawati, K., & Ikhrom, I. (2025). Dampak overstimulasi konten digital terhadap pemusatan perhatian anak (6-12 tahun). Paedagogy: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi, 5(1). https://doi.org/10.51878/paedagogy.v5i1.4941

Hartati, I. P., Safitra, L., & Susiyanto, S. (2025). Gadget addiction and changes in social interactions among early childhood children in Betungan, Bengkulu City. Jurnal Sosiologi Dialektika Sosial, 7(1). Retrieved from https://ojs.unimal.ac.id/dialektika/article/view/22154

Irzalinda, V., & Latifah, M. (2024). Screen time and early childhood well-being: A systematic literature review approach. Journal of Family Sciences, 9(1). Retrieved from https://journal.ipb.ac.id/index.php/jfs/article/view/49792

Pandan Sari, T. A., Novitawati, N., & Sulaiman, S. (2024). Pengaruh interaksi orang tua dan screen time terhadap kemampuan sosial emosional dan berbicara anak taman kanak-kanak. Journal of Education Research (JER), 3(2). Retrieved from https://jer.or.id/index.php/jer/article/view/1420

Wulandari, D., & Hermiati, D. (2024). Deteksi dini gangguan mental dan emosional pada anak yang mengalami kecanduan gadget. Jurnal Keperawatan Silampari, 7(2). Retrieved from https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JKS/article/view/843




Memahami Murji'ah: Dari Konflik Politik Hingga Doktrin Iman dan Amal

Kamis, 20 November 2025
Coba bayangkan jika kita hidup di masa awal lahirnya Islam, setelah era para sahabat besar. Kota-kota besar seperti Kufah dan Basrah bukan lagi tempat damai, melainkan kancah debat panas dan bahkan pertumpahan darah. Umat Islam terpecah menjadi faksi-faksi yang saling mengkafirkan. Ada yang sangat keras menghakimi penguasa seperti Khawarij, ada juga yang fanatik membela keluarga tertentu seperti Syi'ah, dan ada pula yang memegang kendali kekuasaan. 


sejarah murjiah dan pemikirannya



Suasana saat itu benar-benar mencekam. Di tengah hiruk pikuk kebencian politik,  muncullah sekelompok orang yang merasa jenuh dan lelah. Mereka tidak ingin memilih salah satunya, apalagi ikut-ikutan menunjuk hidung dan memvonis sesama Muslim sebagai kafir. Kelompok inilah yang dikenal sebagai Murji'ah. 

Gerakan mereka dimulai bukan dari teologi, melainkan dari teriakan hati yang ingin mencari kedamaian dan persatuan. Mari kita telusuri bagaimana sikap netral kelompok ini yang akhirnya melahirkan salah satu doktrin teologi paling kontroversial dalam sejarah Islam.

Perpecahan umat Islam di masa lalu bukanlah isu baru. Sama halnya seperti kelompok Khawarij, kemunculan Murji'ah juga berakar kuat dari persoalan politik dan keprihatinan mendalam terhadap skisma (perpecahan) yang melanda.

Pada masa itu, dunia Islam diwarnai oleh permusuhan antara tiga kekuatan politik utama yaitu Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Muawiyah yang selanjutnya mendirikan Dinasti Umawi.

Kelompok Khawarij adalah penentang keras Ali bin Abi Thalib dan kemudian memusuhi Dinasti Umawi karena dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sedangkan Syi’ah merupakan pendukung fanatik Ali. Mereka menentang Dinasti Umawi karena menilai dinasti ini telah merampas kekuasaan yang sah dari Ali dan keturunannya.


Murji'ah: Kelompok Netral yang Mendamba Persatuan


Dalam suasana konflik yang memanas, lahirlah sebuah komunitas baru yang dikenal dengan nama  Murji’ah. Rasa trauma karena munculnya pertentangan politik di kalangan internal umat muslim yang notabene sebagai kelompok mayoritas menjadikan mereka memiliki rencana untuk mempersatukan kembali perpecahan ini.  

Untuk mencapai tujuan ini, mereka mengambil sikap netral. Mereka menolak ikut serta dalam praktik saling mengkafirkan yang dilakukan oleh golongan yang bertikai. Menurut pandangan mereka, para sahabat yang terlibat dalam pertikaian itu adalah orang-orang yang baik dan tidak keluar dari ajaran Islam.

Sikap netral ini diwujudkan dengan sikap diam dan menunda (arja’) penyelesaian persoalan siapa yang benar dan salah dalam pertikaian tersebut ke hari perhitungan di hadapan Tuhan kelak. Dengan kata lain, Murji’ah pada mulanya mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertikai itu kepada Tuhan semata di akhirat. (Ramzan, Rahman, 2024)

Menurut pakar sejarah Islam Azyumardi Azra, perpecahan politik ini menjadi latar belakang penting kemunculan Murji'ah. Pernyataan ini tercantum dalam bukunya yang berjudul pergolakan Politik Islam 


Hukum Pendosa Besar: Kenapa Murji'ah Berbeda dari Khawarij?


Dari ranah politik, Murji’ah segera merambah ke ranah teologi. Pernyataan hukum seorang pendosa besar yang sebelumnya hangat dibahas oleh Khawarij, menjadi fokus pembahasan di kalangan murjiah.

Berbeda dengan Khawarij yang memvonis pendosa besar sebagai kafir, Murji’ah tetap memandang mereka sebagai Mukmin. Berbeda dengan Khawarij yang memvonis pendosa besar sebagai kafir, Murji’ah tetap memandang mereka sebagai mukmin. Pandangan ini diuji dalam studi teologis kontemporer yang menunjukkan bahwa Murji’ah menekankan iman  atas perbuatan atau amal.(Ramzan, Rahman, 2024). Penyelesaian perihal dosa besarnya itu, menurut Murji’ah, ditunda (arja’) hingga hari pengadilan akhirat nanti.

Argumentasi mereka sederhana. Murji'ah menganggap bahwa Muslim yang melakukan dosa besar masih tetap mengakui syahadat yang berbunyi Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir (wahyuni, Santalia, 2024).

Arti Kata Arja’ / Irja’


Kata arja’ atau irja’ yang melandasi nama Murji’ah memiliki dua makna utama, sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani:

1. Penundaan (Irja’ sebagai Penundaan). Makna yang bernuansa politis, karena menunjukkan penangguhan keputusan terhadap orang Muslim yang berdosa besar, termasuk di dalamnya penguasa yang bertikai pada pengadilan di akhirat nanti.

2. Pengharapan (Irja’ sebagai Pengharapan). Makna ini muncul setelahnya dan bernuansa teologis. Orang yang berpendapat bahwa Muslim pendosa besar tetap mukmin dan tidak akan kekal di neraka, memang memberikan pengharapan bagi mereka untuk mendapatkan ampunan dari Allah Azza wa Jalla (Hafiza, Mutrofin, 2023)

Makna kedua ini juga mengimplikasikan bahwa segala perbuatan ditempatkan sebagai unsur sekunder dan bukan esensial dalam struktur iman. Dengan demikian, muncul harapan bagi pelaku dosa besar untuk masuk surga, baik secara langsung maupun setelah menerima hukuman di neraka.

Klasifikasi Murji'ah: Moderat dan Ekstrem


Seiring waktu, Murji’ah terpecah menjadi berbagai sekte kecil. Para ahli mengklasifikasikannya berdasarkan berbagai parameter. Menurut kategorisasi Harun Nasution, Murji’ah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:


1. Murji'ah Moderat


Doktrin esensial kelompok Murji'ah moderat adalah menganggap Muslim yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka akan dihukum di neraka sesuai kadar dosanya, namun ada kemungkinan Tuhan mengampuni dosanya sehingga langsung masuk surga.

Tokoh-tokoh yang termasuk golongan moderat ini antara lain: al-Hassan Ibn Muhamad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, Abu Yusuf, beberapa ahli hadis, dan yang paling terkenal adalah Imam Abu Hanifah. (Al-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal, 146).

Imam Abu Hanifah mendefinisikan iman sebagai pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan bukan hal yang terbagi seperti iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.” (Al-Baghdadi, Al-Farq bain al-Firaq, 203).

Definisi ini bisa diinterpretasikan bahwa iman semua orang Islam adalah sama, tidak ada perbedaan antara iman pendosa besar dan iman orang yang taat. Meskipun demikian, sulit diterima bahwa Abu Hanifah menganggap amal (perbuatan) tidak penting, mengingat beliau adalah seorang imam mazhab yang dikenal berpegang pada logika dan merupakan ahli fikih yang sangat menghargai amal perbuatan.

2. Murji'ah Ekstrem


Kelompok ini memiliki pandangan yang lebih jauh, yang tidak secara rinci disebutkan dalam teks ini, namun umumnya ditandai dengan penekanan yang lebih ekstrem pada iman tanpa mempertimbangkan amal sebagai bagian dari iman.

mengenal murjiah dan pemikirannya


Kontroversi Penisbahan Abu Hanifah sebagai Murji'ah


Penisbahan Abu Hanifah sebagai salah seorang tokoh Murji’ah kerap menimbulkan kontroversi dan pertanyaan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Al-Syahrastani yang mencatat adanya ulama’ yang tidak menyetujui dimasukkannya Abu Hanifah ke dalam golongan Murji’ah. (Harun Nasution, Teologi Islam, 25).

Demikian halnya dengan Abu Zahrah yang berpandangan bahwa karena tidak adanya kesatuan pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan kaum Murji’ah (ekstrem atau moderat), sebaiknya Abu Hanifah dan imam-imam lainnya janganlah dimasukkan ke dalam golongan Murji’ah.

Tokoh ulama besar Abdul Yazid Abu Zaid al-’Ajami secara tegas menolak keras tuduhan tersebut.. Menurut Al-’Ajami, tuduhan terhadap Abu Hanifah ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu:

1. Tidak adanya definisi irja’ secara spesifik dan adanya berbagai kelompok dengan pandangan berbeda di seputar pelaku dosa besar.

2. Adanya kegemaran sejumlah kelompok dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran tercela dan menolak yang disebut-sebut bersumber dari mayoritas fuqaha’ (ahli fikih).

Al-’Ajami juga menyajikan beberapa alasan yang membenarkan penolakan tuduhan ini, diantaranya diambil dari pernyataan Ghassan yang mengatakan faham irja’ yang dianutnya bersumber dari Abu Hanifah hanyalah kebohongan yang bertujuan menyebarluaskan fahamnya dengan mengaitkannya pada imam terkenal.

Begitu pula dari pernyataan Al-Amidi yang berpendapat bahwa Mu’tazilah di masa awal Islam sering menyebut pihak yang tidak sefaham dengannya sebagai Murji’ah. Hal ini sudah menjadi sebuah tuduhan umum.

Alasan lainnya datang dari penjelasan Ibn Abdil Barr yang memaparkan bahwa Abu Hanifah membuat banyak orang iri hingga hal-hal yang tidak benar dikaitkan dengannya.

Secara substantif, para ulama tersebut berpendapat bahwa penisbahan Abu Hanifah sebagai Murji’ah hanyalah tuduhan dan kebohongan, mengingat posisi beliau sebagai seorang fuqaha yang sangat gigih dalam hal beramal dan mengapresiasi perbuatan. (Abdiha, 2024)


Kesimpulan


Murji'ah lahir sebagai respons politik yang kemudian berkembang menjadi doktrin teologi yang menekankan penundaan (irja’) hukuman bagi pendosa besar kepada Allah di akhirat, dan memberikan pengharapan bagi mereka untuk diampuni, dengan menempatkan iman sebagai unsur yang lebih esensial daripada amal dalam keselamatan. Walaupun demikian, pemisahan yang jelas antara kelompok moderat dan ekstrem, serta kontroversi seputar tokoh-tokoh besar seperti Imam Abu Hanifah, menunjukkan betapa kompleksnya dinamika teologi Islam di masa-masa awal.

Belajar dari Sejarah, Merajut Kembali Harapan


Kisah Murji'ah mengajarkan kita sebuah pelajaran abadi, betapa berbahayanya perpecahan dan betapa mudahnya perdebatan teologis berubah menjadi jurang pemisah. Di tengah sejarah kelam yang diwarnai oleh vonis kafir dan pertumpahan darah, Murji'ah muncul membawa pesan pengharapan dan penundaan penghakiman kepada Sang Pencipta.

Namun, semangat irja' sejati bukanlah hanya tentang menunda hukuman, melainkan tentang menunda kebencian. Saat ini, tantangan kebangkitan Islam bukan hanya perihal perang bersenjata namun perihal ideologi. Lebih baik kita fokus pada hal besar agar kita menjadi kuat dan menyatukan visi kita untuk menjadi umat terdepan. 

Marilah kita ambil pelajaran terbaik dari Murji'ah Moderat: menolak mengkafirkan saudara seiman, sambil tetap mencontoh ketegasan fuqaha' seperti Imam Abu Hanifah dalam menghargai amal dan kerja keras. Kebangkitan Islam yang sesungguhnya tidak akan terjadi di tengah saling vonis dan saling hujat. Ia akan bersemi ketika kita, sebagai umat, memilih persatuan dalam prinsip tauhid, menangguhkan penghakiman kepada Allah, dan fokus untuk membangun peradaban yang berlandaskan amal saleh, kasih sayang, dan harapan yang tak pernah padam. 

Ini adalah warisan sejati yang harus kita bawa menuju masa depan. Semoga Allah senantiasa menyatukan hati kita di atas kebenaran dan amal yang diridai-Nya.


REFERENSI


Hasbi, Muhammad. (2015). Ilmu Kalam: Memotret Berbagai Aliran Teologi dalam Islam. Yogyakarta: Trust Media.

Muthahhari, M. (2002). Mengenal Ilmu Kalam (Cet. I). Pustaka Zahra.

Nasir, H. S. A. (1996). Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ramzan, H. M., & Rahman, M. u. (2024). Theological Issues According to the Murji’ah: An Investigation Study. Al-Mithāq: Research Journal of Islamic Theology, 3(2), 1–10. https://almithaqjournal.org/index.php/home/article/view/144


Abdillah, R. (2024). Aliran Kalam Murji’ah. Maliki Interdisciplinary Journal (MIJ), 2(12), 439–444. https://urj.uin-malang.ac.id/index.php/mij/article/view/8730


Parhan, M., Nuraini, A. S., Harianti, A., Rahman, D. S., Kurniawan, I. H., & Qinthara, M. A. (2024). Sejarah Kemunculan dan Konsep Pemikiran Aliran Murjiah Serta Pengaruhnya pada Masyarakat Islam Zaman Sekarang. IHSANIKA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 49–63. https://doi.org/10.59841/ihsanika.v2i2.1083


Hafiza, J. D., & Mutrofin. (2023). Dampak Murji’ah pada Generasi Terkini. Celestial Law Journal, 1(2), 149–157. https://journal.unsuri.ac.id/index.php/clj/article/view/380


Wahyuni, F., & Santalia, I. (2024). The Background and Core Doctrines of the Khawarij and Murji’ah. Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(1), 256–263. https://jurnal.penerbitdaarulhuda.my.id/index.php/MAJIM/article/view/4628

Membongkar Sejarah dan Ajaran Ekstremis Khawarij: Dari Konflik Politik hingga Doktrin Kekafiran

Khawarij merupakan salah satu sekte teologis-politik yang terbentuk di masa awal dan paling kontroversial dalam sejarah Islam. Kelompok ini muncul dari kancah konflik internal umat Islam dan meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah pemikiran Islam, terutama terkait isu dosa besar dan kepemimpinan. Untuk memahami akar pemikiran dan sikap ekstrem mereka, kita perlu menelusuri kembali latar belakang peristiwa bersejarah yang menjadi pemicunya.


sejarah khawarij dan pemikirannya



Sejarah Khawarij Wujud Pemberontakan di Balik Arbitrase Perang Shiffin


Secara historis, kemunculan Khawarij berkaitan erat dengan peristiwa Arbitrase atau Tahkim pada tahun 38 H/659 M. Peristiwa ini merupakan upaya penyelesaian damai atas sengketa berdarah yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan ra dalam Perang Shiffin.

Awalnya, Khawarij adalah bagian dari pendukung setia Khalifah Ali ra. Namun, ketika posisi pasukan Ali tengah unggul, permintaan damai dari Mu'awiyah ra diajukan. Kubu Mu'awiyah ra mengutus Amr bin 'Ash dan akhirnya datang dengan mengangkat Al-Qur'an. Meskipun Ali awalnya menolak, desakan kuat dari kelompok Qurra' yang merupakan istilah dari pembaca Al-Qur'an atau pakar agama di internal pasukannya memaksa Ali menerima arbitrase tersebut.

Keputusan Ali ini memicu reaksi keras. Seketika, sejumlah besar pasukannya yang pada saat itu diperkirakan ada sekitar 12.000 orang menyatakan keluar dari barisan dan ketaatan kepada Ali. Mereka berkumpul di Harura, dekat Kufah, dan mengangkat Abdullah Ibn Wahab ar-Rasibi sebagai imam pertama mereka, menggantikan Ali.

Abu al-Hasan al-Asy’ari menjelaskan bahwa sebutan "Khawarij" yang memiliki arti  yang keluar akhirnya disematkan pada kelompok yang keluar menentang Khalifah Ali ra dan tindakan mereka yang keluar dari ketaatan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka memandang bahwa tindakan arbitrase tersebut adalah bentuk penyelesaian sengketa model Jahiliah, yang menggunakan hukum manusia, karena secara prinsip fundamental la hukm illa Allah yang artinya tiada hukum kecuali hukum Allah ta'ala.




Landasan Teologis dan Doktrin Kekafiran Khawarij


Penolakan Khawarij terhadap Tahkim bukan sekadar perbedaan politik, melainkan berakar pada justifikasi atau landasan teologis. Mereka berpegangan pada ayat Al-Qur'an surat  An-Nahl (16): 44 yang menyatakan: "Dan barangsiapa tidak memutuskan hukum atas dasar apa yang diturunkan oleh Allah, maka menjadi kafirlah mereka."

Atas dasar itu, Khawarij menjatuhkan vonis kafir kepada Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan dua utusan arbitrase yaitu Abu Musa al-Asy’ari dari kubu Ali dan Amr bin 'Ash dari kubu Mu'awiyah. Bahkan, kekafiran mereka dianggap sebagai kafir-riddah yang telah murtad dan halal darahnya.

Abu Hasan al-Malathi pada saat itu menyatakan, "Ali telah kafir karena menyerahkan keputusan hukum agama kepada Abu Musa al-Asy’ari, padahal keputusan hukum hanyalah wewenang Allah."

Doktrin pengkafiran ini kemudian diperluas hingga mencakup semua Muslim yang melakukan dosa besar atau murtakib al-kaba’ir, sebuah pandangan teologis yang menjadi ciri khas mereka. Khawarij melihat bahwa keluarnya mereka dari Ali adalah karena Ali, menurut penilaian mereka, telah melakukan dosa besar dan menjadi kafir akibat kebijakan Tahkim.


Karakteristik Umum Khawarij Lintas Zaman


Meskipun lahir dari peristiwa Tahkim, konsep Khawarij kemudian diperluas definisinya. As-Syahrastani mendefinisikan Khawarij secara lebih umum sebagai setiap orang yang melawan atau membangkang terhadap pemerintahan yang sah, di mana pun dan kapan pun.

Adapun Ibn Hazm merumuskan ciri-ciri Khawarij secara komprehensif sebagai berikut:

  1.  Menyetujui pemberontakan terhadap Ali bin Abi Thalib.
  2.  Mengkafirkan pelaku dosa besar.
  3.  Berpendapat bahwa harus memberontak penguasa yang zalim.
  4.  Meyakini bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka.
  5.  Berpendapat bahwa Imamah (kepemimpinan) boleh dipegang oleh orang selain Quraisy.

Pakar agama sekaligus profesor yang menjabat di salah satu perguruan tinggi Islam yaitu UIN Syarif Hidayatullah yaitu  Harun Nasution mengidentifikasi ciri-ciri khusus Khawarij, yang di antaranya yaitu:

  1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan/sefaham.
  2. Menganggap Islam yang benar hanyalah yang mereka pahami dan amalkan.
  3. Bersikap fanatik dan tidak segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Ali Muhammad as-Shalabi menggarisbawahi beberapa ciri utama Khawarij yang menunjukkan sifat ekstremis mereka, yaitu: kecenderungan untuk berlebih-lebihan dalam beragama meskipun mereka memiliki pemahaman yang minim atau kurang mendalam terhadap ajaran Islam (Al-Qur'an dan Al-Hadits).


Secara sosial-politik, mereka melakukan pemusnahan tongkat ketaatan dan memberontak terhadap pemimpin, sedangkan secara teologis, mereka sangat ekstrem karena mengkafirkan orang Muslim sebagai pelaku dosa besar, bahkan menghalalkan darah dan harta mereka.

Ajaran Pokok Khawarij dan Upaya Dialog


Meskipun gerakan Khawarij terkenal karena perpecahan yang terjadi di internal mereka, yang akhirnya banyak melahirkan sub-sekte seperti Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, hingga Al-Ibadiyah. Namun mereka tetap mempertahankan inti ajaran yang disepakati bersama. Perpecahan mereka sebagian besar terjadi pada tingkat implementasi dan perbedaan tingkat ekstremisme, tetapi secara prinsip dan dasar  teologis, mereka memiliki kesamaan pandangan dan pemikiran


Menurut para ulama seperti Abu Zahrah, terdapat tiga doktrin utama yang menjadi konsensus di antara semua golongan Khawarij. Doktrin-doktrin ini mencerminkan pandangan politik puritanis dan penafsiran keras mereka terhadap iman dan kekuasaan.


Tiga Ajaran Pokok yang Disepakati Semua Sekte Khawarij


Dalam prinsip dasar kepemimpinan Khalifah atau seorang pemimpin harus diangkat melalui mekanisme pemilihan umum. Khalifah wajib taat dan menegakkan hukum syariat Islam dan bersikap adil, apabila seorang pemimpin memiliki perilaku yang menyeleweng maka harus meletakkan jabatannya dan bahkan dibunuh.

Struktur Iman Menurut Khawarij


Pandangan Khawarij mengenai status Muslim pelaku dosa besar atau murtakib al-kaba’ir adalah pilar teologis paling esensial yang membedakan mereka dari kelompok Muslim lainnya. Secara sederhana, mereka memiliki pandangan yang sangat keras dan absolut tentang apa itu iman.


Para khawarij sepakat dalam 3 hal perkara struktur keimanan yang menjadi pilar utama yang tak terpisahkan. Bagi Khawarij, iman bukanlah sekadar keyakinan di hati, melainkan sebuah konstruksi utuh yang terdiri dari tiga unsur esensial. Jika salah satu unsur ini hilang atau rusak, maka seluruh bangunan iman dianggap runtuh. Unsur tersebut diantaranya:

  1. Membenarkan dengan Hati atau Tashdiq bi al-Qalb. Ini adalah dasar keyakinan internal. Artinya, seseorang harus yakin dan membenarkan semua ajaran Islam di dalam hatinya.
  2. Mengikrarkan dengan Lisan atau Iqrar bi al-Lisan, unsur ini yang mewujudkan keyakinan dari dalam hati  harus diucapkan dan dinyatakan secara lisan seperti halnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
  3. Melaksanakan dengan Anggota Badan yaitu 'Amal bi al-Arkan, hal ini merupakan unsur kunci dan paling kontroversial. Iman harus dibuktikan melalui tindakan nyata, yaitu ketaatan terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.


Hukuman Kafir bagi Pelaku Dosa Besar


Khawarij meyakini bahwa ketiga unsur di atas adalah satu kesatuan (ushul). Konsekuensinya sangat ekstrem. Jika seseorang melakukan dosa besar seperti mencuri, berzina, atau menolak hukum Allah seperti dalam kasus Tahkim, maka unsur 'Amal bi al-Arkan dalam artian melaksanaan dengan tindakan otomatis telah hilang. Karena iman dianggap tidak bisa dibagi, hilangnya satu unsur berarti hilangnya seluruh iman.


Dengan demikian, seorang Muslim yang melakukan dosa besar, menurut pandangan Khawarij, secara langsung  telah keluar dari sebutan Mukmin dan dianggap sebagai Kafir, bahkan sering kali dikategorikan sebagai kafir-murtad yang halal darahnya. Mereka juga meyakini bahwa orang tersebut kekal di dalam neraka.

Upaya Ali bin Abi Thalib


Khalifah Ali sempat mendelegasikan Ibn Abbas untuk berdialog dengan Khawarij. Ibn Abbas berhasil menyanggah tiga alasan utama Khawarij keluar dari Ali:

1. Tahkim adalah Hukum Manusia: Ibn Abbas membacakan QS. Al-Ma’idah ayat 95, di mana Allah menyerahkan hukum-Nya kepada dua tokoh yang adil dalam urusan denda perburuan, menunjukkan bahwa pendelegasian keputusan hukum kepada tokoh adil dibenarkan dalam Islam.

2. Tidak Mengambil Tawanan Perang Jamal: Khawarij bertanya mengapa Ali tidak menawan istri-istri Nabi (yang terlibat di Perang Jamal). Ibn Abbas membacakan QS. Al-Ahzab ayat 6, yang menyatakan istri-istri Nabi adalah ibu orang-orang beriman, menegaskan bahwa mereka tidak boleh ditawan atau diperangi.

3. Penghapusan Jabatan Amirul Mukminin: Ibn Abbas menunjukkan bahwa Ali hanya meniru Nabi Muhammad SAW, yang saat Perjanjian Hudaibiah setuju menghapus gelar "Utusan Allah" dan menggantinya dengan "Putra Abdullah" demi tercapainya perdamaian.

Atas sanggahan-sanggahan ini, sebanyak dua ribu orang dari Khawarij setuju dan kembali ke jalan yang benar, namun sisanya tetap melanjutkan pemberontakan dan akhirnya ditumpas.


Para Pendiri dan Imam Pertama Khawarij


Kelompok sempalan Khawarij bermula di Harura, setelah memisahkan diri dari barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra pasca Tahkim. Kepemimpinan awal gerakan ini dipegang oleh sejumlah individu yang mendirikan struktur politik dan agama mereka sendiri.

Abdullah Ibn Wahab ar-Rasibi menjadi tokoh yang paling menonjol, diangkat sebagai imam pertama Khawarij, secara simbolis menggantikan Ali bin Abi Thalib ra. Tindakan ini menegaskan pemberontakan politik mereka terhadap kekhalifahan yang sah.

Turut serta dalam pertemuan pendirian di Harura adalah beberapa pemimpin kunci lainnya, termasuk Abdullah Ibn al-Kawwa', 'Itab Ibn A'war, 'Urwah Ibn Jarir, Yazid Ibn Abi 'Ashim al-Maharibi, dan Harqush Ibn Zubair al-Bajli. Tokoh-tokoh ini menjadi arsitek awal dari pergerakan yang menentang konsensus umat atau arah pergerakan yang sudah disepakati.


Di antara para Khawarij, ada satu nama yang dikenang sejarah karena aksinya yang paling keji yaitu Abdurrahman Ibn Muljam (Ibnu Muljam). Meskipun bukan pemimpin pendiri, dialah yang ditugaskan dan berhasil melaksanakan rencana pembunuhan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib ra, sebuah tindakan ekstrem yang menjadi puncak dari justifikasi teologis Khawarij yang menghalalkan darah pemimpin Muslim yang mereka anggap kafir.

Target Doktrin Pengkafiran


Pemikiran ekstrem Khawarij yang paling aneh (paradoks) adalah kerika mereka menyerang dan menganggap kafir pemimpin umat Islam yang dihormati, padahal mereka sendiri mengaku Muslim sejati. Seperti halnya Khawarij mengkafirkan Khalifah Ali bin Abi Thalib karena satu alasan utama, yaitu Peristiwa Tahkim (Perdamaian).

Khawarij sangat percaya pada slogan mereka, "Hukum hanya milik Allah." Ketika Ali setuju untuk berdamai dengan Mu'awiyah dan menyerahkan keputusan kepada dua orang perwakilan yaitu Abu Musa al-Asy'ari dan Amr bin 'Ash, Khawarij menganggap Ali telah melakukan dosa besar karena mengganti Hukum Allah dengan Hukum Manusia. Intinya, bagi Khawarij, tindakan Ali menerima arbitrase sudah cukup untuk mengeluarkan Ali dari Islam dan menjadikannya kafir yang halal dibunuh.

Khawarij juga memperluas pengkafiran ini ke khalifah sebelumnya yaitu Utsman bin Affan ra. Utsman dikafirkan karena Khawarij melihat bahwa di masa kepemimpinannya, Utsman telah melakukan penyimpangan atau kebijakan yang dianggap Khawarij sebagai dosa besar. Walaupun Khawarij muncul setelah Utsman wafat, beberapa sekte mereka memasukkannya ke dalam daftar pemimpin yang telah menyimpang dari Islam yang murni.

Secara ringkas, Khawarij menilai para pemimpin ini yaitu Ali, Utsman, dan perwakilan Tahkim melalui standar iman yang sangat ekstrem, yaitu satu dosa besar saja sudah cukup untuk membatalkan seluruh keislaman seseorang dan menjadikannya kafir.

Dua utusan arbitrase, Abu Musa al-Asy'ari (dari kubu Ali) dan 'Amr bin 'Ash (dari kubu Mu'awiyah), juga dikafirkan karena peran aktif mereka dalam proses Tahkim yang mereka anggap sebagai dosa besar dan penyimpangan dari hukum Allah.





Para Pemimpin Sekte Penerus


Seiring waktu, Khawarij terpecah karena perbedaan doktrinal yang semakin tajam.  Namun mereka tetap eksis dan berkembang serta melahirkan tokoh-tokoh yang mengembangkan aliran dan pemikiran baru berangkat dari pemikiran awal mereka sebagai kaum khawarij. Tokoh-tokoh ini memimpin sekte-sekte yang menyebar ke seluruh dunia Islam, membawa bendera ekstremisme dalam berbagai tingkatan.

Salah satunya Nafi' bin al-Azraq yang menjadi pemimpin sekte Al-Azariqah,. Sekte ini dikenal sebagai kaum Khawarij yang  paling radikal dan ekstrem. Mereka menganggap wilayah di luar kelompok mereka sebagai Dar al-Harb atau masuk wilayah yang harus diperangi.

Najdah bin Amir al-Hanafi memimpin sekte Al-Najdat. Abdullah bin Ibad memimpin sekte Al-Ibadiyah, yang menjadi sekte Khawarij yang paling bertahan dan dianggap moderat dibandingkan sekte lainnya, dan ajarannya masih dianut hingga kini, terutama di Oman.

Dengan demikian, tokoh-tokoh Khawarij mencerminkan perjalanan sebuah ideologi yang berawal dari pemberontakan politik yang dipimpin oleh ar-Rasibi dan kawan-kawan, hingga aksi teror Ibnu Muljam, dan akhirnya diferensiasi ideologis yang dipimpin oleh tokoh-tokoh sekte seperti Nafi' bin al-Azraq dan Abdullah bin Ibad.

Khawarij: Kelompok Ekstremis yang Rentan Perpecahan


Berdasarkan analisis kritis terhadap pandangan mereka yang ekstrem, seperti menjustifikasi Tahkim sebagai model Jahiliah dan mengkafirkan sahabat utama seperti Ali dan Utsman, Khawarij dinilai sebagai kelompok yang pandangan teologisnya kurang tepat dan terlalu berlebihan, sehingga wajar disebut ekstremis.

Nurcholish Madjid menegaskan bahwa karena sikap kaum Khawarij yang sangat ekstrem dan eksklusif. Beliau juga menyebutkan bahwa Khawarij pada level kredo, Khawarij memiliki karakter intoleran, fanatik, dan eksklusif, yang pada level operasional terepresentasi atau perwujudan nyata diaplikasikan dalam gerakan takfir atau pengkafiran, hijrah dan memisahkan diri, serta jihad dengan melakukan perlawanan bersenjata.

Meskipun secara sosial-politik Khawarij tidak sukses dan terus-menerus mengalami perpecahan, pandangan mereka yang memunculkan persoalan teologis tentang status Muslim pelaku dosa besar telah membekas kuat dalam sejarah intelektual Islam dan menjadi pokok problema pemikiran Islam hingga kini.

Memahami sejarah Khawarij mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan dalam beragama. Kisah mereka adalah pengingat bahwa penafsiran yang terlalu keras dan minimnya toleransi dapat melahirkan perpecahan. Mari kita jadikan pelajaran sejarah ini sebagai dasar untuk membangun komunitas Muslim yang lebih inklusif dan moderat. 

Yuk, bagikan artikel ini untuk mengajak lebih banyak orang mendiskusikan pentingnya Islam wasathiyah (moderat) atau moderasi dalam beragama serta bagaimana kita dapat menjaga persatuan umat dari ekstremisme ideologi.


REFERENSI 


Hasbi, Muhammad. (2015). Ilmu Kalam: Memotret Berbagai Aliran Teologi dalam Islam. Yogyakarta: Trust Media.

Muthahhari, M. (2002). Mengenal Ilmu Kalam (Cet. I). Pustaka Zahra.

Nasir, H. S. A. (1996). Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


Mengupas Tuntas Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Utama dalam Ilmu Kalam

Rabu, 19 November 2025
Memahami Ilmu Kalam atau istilah lainnya Teologi Islam bukan hanya  menghafal nama-nama aliran, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana  menyelami kerangka berpikir dan metode pengambilan keputusan para ulama dalam menentukan hukum di dalamnya. 

Kita harus memahami cara mereka merumjuskan sebuah hukum. Mengapa mereka berbeda pendapat? Bagaimana cara mereka menggunakan akal dan wahyu? Inilah inti dari apa yang kita sebut sebagai perbedaan metodologi berpikir dalam Ilmu Kalam.


kerangka berpikir aliran kalam



Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Teologi?


Sebelum masuk ke metode, penting sekali kita mengetahui bahwa perbedaan dalam teologi adalah hal yang wajar dan alamiyah. Para ulama seperti Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi dan Imam Munawir menyoroti aspek Subyek atau kapasitas dan kredibilitas ulama sebagai pemicu. Sementara itu, Umar Sulaiman Asy-Syaqar menekankan aspek Obyek persoalan yang dikaji  mencakup persoalan keyakinan (Akidah), persoalan syari’ah (Hukum) dan persoalan politik.

Perbedaan kajian inilah yang kemudian melahirkan dua kategori besar dalam metodologi berpikir: yang terbagi menjadi metodologi berpikir rasional dan metodologi tradisional. Lalu bagaimana kerangka berpikir utama rasional dan tradisional? Mari kita coba kaji!

Antara Akal dan Wahyu: Dua Kutub Metode Berpikir dalam Ilmu Kalam


Memahami aliran-aliran teologi Islam yang dikenal juga sebagai Ilmu Kalam pada dasarnya adalah memahami cara mereka menimbang dua sumber kebenaran fundamental yaitu berdasarkan akal atau Rasionalitas dan Wahyu atau Teks Suci yang lebih cenderung ke metode tradisional.

Secara garis besar, polarisasi dalam Ilmu Kalam menghasilkan dua kutub metodologi berpikir yang sangat kontras, yang menentukan arah dan hasil kesimpulan mereka terhadap isu-isu keilahian, keadilan Tuhan, dan kebebasan manusia. Kedua kutub tersebut adalah Metode Berpikir Rasional dan Metode Berpikir Tradisional. Artikel kontemporer menegaskan pentingnya integrasi wahyu dan akal dalam teologi kalam sebagai pendekatan epistemologis utama (Nuha, 2025).

Kutub ini bukan sekadar perbedaan interpretasi, melainkan perbedaan mendasar dalam prioritas epistemologis atau cara memperoleh dan memvalidasi pengetahuan. Di satu sisi, ada kelompok yang meletakkan akal sebagai hakim tertinggi (Rasional), sementara di sisi lain, ada kelompok yang menjadikan teks wahyu sebagai otoritas tak tergugat (Tradisional). Pola ini telah diulas dalam studi perbandingan teologi Islam modern (Firman & Yahya, 2024).

Polaritas inilah yang menjadi kunci untuk membuka pemahaman mengapa aliran seperti Mu'tazilah dan Asy'ariyah dapat sampai pada kesimpulan yang begitu berlawanan mengenai isu takdir dan kehendak bebas. Mari kita selami lebih lanjut prinsip-prinsip spesifik dari masing-masing metode ini.

1. Metode Berpikir Rasional (Kelompok Liberal)


Metode ini sangat mengedepankan peran akal dalam memahami teks agama. Aliran yang paling terkenal menganut kerangka ini adalah Mu'tazilah. Prinsip utama yang dipegang pada metode ini adalah fokus pada dalil Qath'iyyah yaitu hanya berpegang teguh pada dogma-dogma yang secara jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka cenderung menolak interpretasi yang bersifat dzonni atau perkiraan jika bertentangan dengan akal.

Kebebasan manusia atau diistilahkan juga dengan Free Will, memberikan daya yang sangat kuat kepada akal dan memberikan kebebasan penuh kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat. Manusia dianggap pencipta perbuatannya sendiri. Sebuah pandangan yang telah menjadi ciri khas teologi Mu‘tazilah (Ulandari & Burhanuddin, 2025).

2. Metode Berpikir Tradisional (Kelompok Konservatif)


Metode ini, yang dianut oleh aliran seperti Asy'ariyah, lebih mengutamakan teks dan wahyu, serta membatasi peran akal agar tidak melampaui batas yang ditetapkan agama. Prinsip utama dalam metode berpikir tradisional memiliki kecenderungan setia pada dogma dan teks dzonni atau teks yang bisa mengandung arti selain arti harfiah, namun tetap menghargai peran akal sebagai alat pendukung (Muchasan, Syarif & Naufal, 2023).

Metode tradisional juga membatasi peran akal karena fungsi akal hanya membenarkan wahyu buan mendahuluinya. Untuk itu tidak memberikan kebebasan penuh kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat, karena segala sesuatu kembali pada kehendak mutlak Allah Swt. (Muchasan, Syarif & Naufal, 2023).

Memahami kerangka berpikir ini adalah kunci untuk memecahkan misteri di balik perbedaan teologis. Aliran-aliran ini pada dasarnya hanya berbeda cara dalam menimbang bobot antara Akal dan Wahyu sebagai sumber kebenaran.



Tuhan Sebagai Pusat atau Manusia Sebagai Pusat? Menguak Istilah Filosofis dalam Teologi Islam


Selain pembagian Rasional dan Tradisional, Ilmu Kalam juga dikategorikan berdasarkan cara aliran-aliran tersebut melihat hubungan antara Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta. Pengkategorian ini sering dikaitkan dengan analisis kontemporer teologi Islam modern (Putra, Amri & Mahmuddin, 2023), yang mengidentifikasi empat “kutub pemikiran”: Antroposentris, Teosentris, Sintesis (Harmoni), dan Nihilis.

Seperti yang disoroti oleh Fazlur Rahman Anshari, menghasilkan empat istilah unik yang mencerminkan kerangka berpikir masing-masing aliran yang diantaranya yaitu:

1. Aliran Antroposentris (Manusia Sebagai Pusat Kekuatan)


Istilah Antroposentris diartikan sebagai aliran berpikir yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Aliran ini melihat hakikat Realitas Transenden atau sifat Tuhan bersifat intrakosmos atau di dalam kosmos dan impersonal, yang artinya kekuatan Tuhan telah tersemat dalam diri manusia sejak lahir.

Inti pemikiran dalam aliran antroposentris memusatkan manusia sebagai pemilik  daya mutlak untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. Keselamatan atau kerugian yang terjadi di dunia dan diri manusia itu sendiri sepenuhnya merupakan kuasa  manusia, tanpa campur tangan Realitas Transenden atau Tuhan. Penganut pemikiran ini bersifat dinamis karena percaya pada kebebasan mutlak dalam berbuat.

Aliran teologi yang termasuk dalam pemikiran antroposentris adalah aliran Qodariyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. (Putra, Amri & Mahmuddin, 2023). Fazlur Rahman Anshari berpendapat bahwa ia mengaitkan pandangan ini dengan sufi yang dianggap statis, Anshari mengakui bahwa manusia Antroposentris sesungguhnya sangat dinamis karena percaya pada kekuatan yang menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan.

2. Aliran Teosentris (Tuhan Sebagai Pusat Mutlak)


Kebalikan dari Antroposentris adalah Teosentris. Aliran ini menempatkan Tuhan sebagai pusat dan penguasa mutlak atau istilahnya disebut supra kosmos dan personal. Tuhan adalah pencipta yang Mahakuasa dan dapat berbuat apa saja, bahkan memasukkan orang jahat ke surga atau orang taat ke neraka.

Dalam paham aliran ini manusia bersifat statis dan tidak memiliki kekuatan sama sekali. Manusia tidak mempunyai pilihan, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Segala perbuatan manusia hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. perbuatan manusia ketika dia berbuat baik atau jahat berasal dari kekuatan dari Tuhan. Untuk itu aliran ini menetapkan dalam kepasrahan mutlak (fatalisme) yang menghilangkan pilihan manusia. (Muchasan, Syarif & Naufal, 2023)

Aliran Teologi yang termasuk dalam aliran ini diantarnya Jabariyah.


3. Aliran Konvergensi atau Sintesis (Harmoni Antara Keduanya)


Aliran Sintesis mencoba menjembatani dua ekstrim di atas dengan melihat Realitas Transenden atau ke-Tuhanan bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan impersonal. Hakikat alam dan manusia adalah tajalli atau cerminan dari asma dan sifat-sifat Tuhan.

Inti pemikiran aliran ini memaparkan bahwa perbuatan manusia adalah hasil kerja sama yang seimbang dan  harmonis antara kekuatan transendental atau Tuhan dalam bentuk kebijaksanaan dan kekuatan temporal atau manusia dalam bentuk teknis dan usaha.

Aliran pemikiran ini mengusung prinsip keseimbangan. Tujuan para penganut aliran konvergensi adalah menjaga keseimbangan. Manusia adalah sekutu Tuhan, dan makhluk adalah sekutu Penciptanya. Konsep ini bisa dilihat dalam kajian teologis modern sebagai upaya menyeimbangkan kehendak manusia dan ketetapan Ilahi (Muchasan, Syarif & Naufal, 2023).

Meskipun Tuhan telah menetapkan dan menciptakan segalanya (Determinisme Sakral), manusia diberi kemampuan dan kebebasan untuk memilih dan mengupayakan perbuatan tersebut (Kebebasan Profan). Kita berusaha memilih jalan, tetapi Tuhan-lah yang memberikan daya dan menciptakan perwujudan dari pilihan tersebut. Dengan kata lain, manusia bertanggung jawab atas usahanya (kasb), namun realisasi akhir tetap dalam genggaman dan ketetapan Tuhan.

Aliran teologi pemikiran konvergensi adalah  Asy’ariyah. Konsep aliran konvergensi yang memiliki sifat ganda (dikotomik) ini dijelaskan oleh  Ibnu Arabi  sebagai insijam al-azali  sebagai sebuah keharmonisan yang ditetapkan. 

MAksud dari Insijam al-azali adalah segala sesuatu di alam semesta termasuk manusia, alam, kebaikan, dan kejahatan pada dasarnya adalah cerminan dari sifat-sifat Tuhan. Meskipun hal-hal ini tampak saling bertentangan misalnya, Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai makhluk, Ibnu Arabi mengatakan bahwa sejak awal (azali), Tuhan telah menetapkan sebuah keharmonisan secara sempurna (insijam).

Ini berarti segala dualitas dan keragaman di dunia ini sebenarnya sudah direncanakan dan terpadu dalam satu kesatuan Ilahi yang tidak terpisahkan. Baik kehendak Tuhan yang mutlak maupun usaha terbatas manusia, keduanya bergerak dalam alur yang sudah ditetapkan dan harmonis, dalam tatanan alam semesta yang sudah diatur dengan sangat rapi sejak dahulu kala.

Ini berarti segala dualitas dan keragaman di dunia hakikatnya sudah direncanakan dan terpadu dalam satu kesatuan Ilahi. Semuanya bergerak dalam alur yang sudah ditetapkan dan harmonis, seolah-olah itu adalah sebuah rencana besar kehidupan yang sudah serasi sejak awal mula.


4. Aliran Nihilis (Menolak Realitas Transenden)


Aliran nihilisme  mewakili pandangan yang paling ekstrem dalam menolak konsep teologi tradisional. Inti pemikiran nihilisme menjelaskan tentang hakikat realitas Transenden atau kekuatan Tuhan yang mutlak hanyalah ilusi. 

Kelompok ini memiliki pandangan yang sangat radikal dan pesimis. Mereka menolak adanya Tuhan Yang Maha Mutlak yang menciptakan dan mengatur segalanya. Alih-alih Tuhan tunggal, mereka mungkin hanya menerima berbagai "dewa" atau kekuatan alam yang tidak saling berhubungan (Tuhan kosmos).

Dalam pandangan mereka, kehidupan manusia adalah serba kebetulan, manusia hanya seperti bintik kecil yang tak berarti dalam mekanisme masyarakat yang terjadi begitu saja.

Karena tidak ada Tuhan yang menetapkan nasib, kekuatan utama terletak pada kecerdikan dan kemampuan manusia itu sendiri. Kebahagiaan sejati bagi mereka adalah hal yang bersifat nyata dan dapat dirasakan, yaitu pemenuhan kebutuhan fisik dan kenikmatan duniawi, bukan janji surga atau pahala spiritual.




Kesimpulan: Peta Jalan Pemikiran dalam Ilmu Kalam


Inti dari perbedaan aliran-aliran dalam Ilmu Kalam terletak pada metodologi pemikiran dalam menyeimbangkan peran Akal dan Wahyu. Perbedaan ini berasal dari  kapasitas ulama maupun kompleksitas persoalan akidah. Konsep aliran dalam kerangka pemikiran kalam terbagi menjadi dua garis besar.

Metode Rasional dan Antroposentris: Diwakili oleh Mu'tazilah, pemikiran ini menempatkan manusia sebagai pusat (Antroposentris). Mereka mengedepankan akal dan hanya menerima dalil qath'iyyah (pasti), serta meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan perbuatannya.

Metode Tradisional dan Teosentris: Diwakili oleh Jabariyah, pemikiran ini cenderung Teosentris (Tuhan sebagai pusat mutlak). Mereka membatasi peran akal, setia pada dogma, dan berpandangan bahwa manusia bersifat fatalis karena segala perbuatannya adalah aktivitas Tuhan.

Di antara dua kutub ekstrem ini, lahirlah Aliran Konvergensi (Sintesis) yang dianut oleh Asy'ariyah. Aliran ini berupaya mencapai harmoni dengan memandang perbuatan manusia sebagai bentuk kerja sama antara daya transendental Tuhan dan kekuatan sementara manusia. Dengan demikian, Asy'ariyah mencari keseimbangan yang moderat antara kehendak bebas manusia dan determinisme Ilahi. Sementara itu, pandangan paling ekstrem adalah Nihilis yang menolak Realitas Transenden mutlak dan hanya berfokus pada kekuatan kecerdikan fisik manusia.

Mari Kita Pahami Akidah Lebih Dalam!


Konsep-konsep seperti Antroposentris, Teosentris, dan Insijam al-Azali bukanlah sekadar istilah akademik, melainkan kunci untuk memahami akar perbedaan dalam teologi Islam. Biarkan hal ini membentuk dasar pemikiran kita agar lebih memiliki dasar yang kuat dan tidak hanya sekedar dogma. 

Jangan puas dengan hanya membaca dari satu referensi. Lanjutkan Eksplorasi kita! lalu tanyakan pada diri kita, dimanakah posisi pemikiran kita. Apakah lebih condong pada usaha mutlak (Antroposentris) atau pasrah mutlak (Teosentris)?

Pelajari Lebih Lanjut tentang Jalan Tengah: Selidiki bagaimana Aliran Asy'ariyah atau Konvergensi berhasil merumuskan keseimbangan antara kehendak manusia dan ketetapan Tuhan. Ini adalah inti dari moderasi beragama!

Jangan biarkan akidah kita hanya datang dari sebuah warisan yang tanpa didasari pemahaman ilmunya. Pahami kerangka berpikirnya dan kuatkan fondasi keimanan kita hari ini! Bagaimana pendapat Sainers semua? Yuk, tulis di kolom koment!


REFERENSI


Firman, F., & Yahya, M. (2024). Perbandingan aliran Mu’tazilah, Murjiah, dan Asy’ariyah tentang posisi akal dan wahyu. Al-Gazali Journal of Islamic Education, 1(1), 13–28. https://staialgazalibulukumba.ac.id/jurnal/index.php/AJIE/article/view/2

Nuha, A. U. (2025). Integrasi wahyu dan akal untuk membangun argumen yang kokoh dalam Ilmu Kalam. Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah, 11(1). https://doi.org/10.24252/aqidahta.v11i1.57832

Yesi, U., & Burhanuddin, N. (2025). Hubungan Mu’tazilah dengan kalam dan perannya dalam sejarah pemikiran Islam. Mushaf Journal: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, 5(1), 175–181. https://www.mushafjournal.com/index.php/mj/article/view/307

Muchasan, A., Syarif, M., & Naufal, M. (2023). Metodologi teologi Al-Asy’ary dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Inovatif: Jurnal Penelitian Pendidikan, Agama, dan Kebudayaan, 9(2), 163–183. https://doi.org/10.55148/inovatif.v9i2.760

Putra, S. K., Amri, M., & Mahmuddin. (2023). Aspek-aspek ketuhanan dalam teologi Islam: Analisis tiga mazhab (Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah). Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 1(3), 180–186. https://doi.org/10.58540/isihumor.v1i3.239






Menggali Akar Teologi Islam: Apa Itu Ilmu Kalam, Sejarah, dan Relevansinya Hari Ini

Selasa, 18 November 2025

ruang lingkup ilmu kalam



Hakikat Ilmu Kalam


Secara harfiah atau etimologis Kalam berarti perkataan atau percakapan. Namun, dalam tradisi keilmuan Islam, ia jauh lebih dalam dari sekadar ucapan sehari-hari. Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang fundamental, sering disebut sebagai jantung akidah, karena fungsinya adalah membahas dan menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (Islam) dengan bukti-bukti yang kokoh dan meyakinkan.

Jika kita buat pengibaratan bahwa Ilmu Kalam sebagai "Pengacara Akidah" kita, maka Ilmu Kalam adalah sebagai pembela keyakinan kita di pengadilan logika. Ia tidak hanya mengatakan "Saya percaya," tetapi juga menyediakan bukti, saksi, dan argumentasi filosofis mengapa keyakinan itu benar.

Para ulama secara terminologis mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang membicarakan tentang Wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang pasti ada (wajib), mustahil ada (mustahil), dan mungkin ada (jaiz). Selain itu, ia membahas tentang kebenaran kerasulan dan sifat-sifat para Rasul. Singkatnya, Ilmu Kalam bertugas menyediakan argumentasi rasional untuk membela akidah dan menolak keraguan.


Nama Lain Ilmu Kalam Beserta Makna 


Sesuai dengan fokus kajiannya, Ilmu Kalam dikenal dengan beberapa sebutan yang biasa lazim menyertainya, yaitu:

  1. Ilmu Tauhid: ILmu Kalam dalam kajian Ilmu Tauhid lebih menekankan pada esensi pokoknya, yaitu membahas tentang keesaan Allah, baik Esa dalam pembahasan dalam makna Zat, Sifat, maupun perbuatan.
  2. Ilmu Ushuluddin: Disebut Ilmu Ushuluddin karena ia membicarakan tentang pokok-pokok atau prinsip dasar agama.
  3. Ilmu Akidah (Aqa'id): Dasar ini merujuk pada simpul-simpul atau ikatan kepercayaan yang diyakini (Al-Jazairi, t.t.).
  4. Teologia Dialektis/Rasional: Disebut sebagai Teologi Dialektis, karena metode pembahasannya yang mengedepankan logika dan nalar atau aqliyah dari pada  dalil tekstual atau naqliyah.

Ilmu ini dinamakan “Kalam” karena salah satu persoalan terpenting yang menjadi perdebatan sengit di masa awal kedatangan Islam adalah status dari kitab Al-Qur'an yang disebut juga Kalamullah. Dan menjadi sebuah pertanyaan besar  apakah ia Qadim atau kekal atau Hadis yang mengandung makna makhluk atau ciptaan. 

Saking besarnya permasalahan ini mengakibatkan seluruh ilmu yang dikaji disebut sebagai Ilmu Kalam atau berdasarkan objek utama dari topik perdebatan tersebut.


Sejarah Munculnya Pemikiran Kalam


Ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, melainkan baru muncul dan berkembang pesat pada masa Bani Abbasiyah, terutama di bawah Khalifah al-Ma'mun (813-833 M).


JIka diibaratkan dengan ilmu keislaman, akidah itu sudah ada sejak zaman Nabi, dan diobaratkan seperti pondasi rumah. Tapi Ilmu Kalam berfungsi sebagai alat untuk menganalisis pondasi dari sebuah rumah tersebut. Ilmu kalam disebut juga fiqh al-akbar karena muncul ketika sebuah hukum dalam Islam terdapat pertentangan dan konflik di dalamnya. 


1. Faktor Internal (Konflik Politik dan Tekstual)


Konflik Politik atau fitnah kubra yang terjadi pada saat itu berupa peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, menjadi pemicu perpecahan umat dan peperangan yang dikenal dengan Perang Jamal dan Perang Shiffin. Hal ini menimbulkan isu teologis besar yang menjadi dasar penilaian terhadap pelaku dosa besar.


Pertanyaan Inti yang Muncul yang berawal dari peristiwa besar ini membuat pertanyaan besar di kalangan muslim bahwa apakah seorang Muslim yang berbuat dosa besar seperti membunuh Khalifah yang sah masih dianggap Mukmin?


Pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab teologi awal seperti Khawarij yang memiliki makna mengkafirkan, Murji'ah yang memiliki pemahaman menangguhkan penilaian atau mengajak untuk jangan terburu-buru melakukan penilaian terhadap pemikiran yang ada, biarlah Allah yang maha adil yang memberikan keputusan, pembahasan lebih lengkapnya akan kita kaji pada artikel selanjutnya.  Jabariyah yang berpendapta bahwa semua ketentuan berasal dari Tuhan, dan Qadariyah yang memiliki pemahaman bahwa manusia bebas berkehendak atau kehendak manusia memiliki ketentuan lebih besar dari penentuan jalan hidupnya.


Selain itu munculnya Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh Nas-Nas Al-Qur'an yang dirasa saling bertentangan atau kontradiktif  seperti misalnya mengenai konsep takdir dan kehendak bebas, hal ini  mendorong para ulama untuk mencari pemahaman filosofis yang mendalam.


Hal ini yang melatarbelakangi untuk menemukan titik tengah yang bisa menjaga keadilan Allah sekaligus mempertahankan kemahakuasaan-Nya. Untuk itu para ulama yang memiliki latar belakang pemikiran berbeda seperti Mu'tazilah dan Asy'ariyah berinisiatif untuk menyusun argumentasi logis (Kalam) yang sistematis.

2. Faktor Eksternal atau Pengaruh Intelektual Asing


Adanya asimilasi budaya menyebabkan banyaknya para pemeluk Islam baru yang sebelumnya beragama lain yaitu Yahudi, Nasrani, dan lainnya membawa pemikiran teologis berdasarkan latar  belakang yang berbeda sesuai dengan apa yang dipahami oleh mereka.


Sehingga harus ada pembelaan akidah agar tetap dipahami secara murni. HAl ini menjadi hal yang harus segera dipikirkan dan dibenahi agar ada pencerahan dalam pemahaman akidah. Ini menjadi kebutuhan mendesak untuk membantah kritikan dan serangan dari musuh-musuh Islam yang menggunakan senjata filsafat dan logika. 


Untuk mengimbangi lawan-lawannya, kaum Mutakallimin (ahli Kalam), khususnya Mu'tazilah, terpaksa mempelajari filsafat dan logika Yunani (Ibnu Khaldun dalam Nasir, 1996) sebagai senjata untuk mempertahankan akidah yang menjadi landasan mereka.


Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Kalam 



Kajian Ilmu Kalam, secara praktis, terbagi menjadi tiga fokus utama (Qismul) yang mencakup seluruh spektrum Rukun Iman. Pembagian ini memudahkan para teolog untuk menyusun argumentasi yang sistematis dan menyeluruh. 3 fokus utama tersebut diantaranya adalah:

1. Qismul Ilahiyat (Fokus pada Konsep Ke-Tuhanan)


Pilar ini merupakan fondasi utama, karena membahas segala sesuatu tentang Allah SWT yaitu Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya berupa pertanyaan Inti  "Siapa Tuhan itu, dan bagaimana Dia bertindak?"

Fokus pembahasan kajian adalah berupaya untuk membuktikan eksistensi Allah secara rasional (aqliyah) dan merinci sifat-sifat-Nya yang wajib (pasti ada), mustahil (tidak mungkin ada), dan jaiz (mungkin atau boleh dilakukan).

Perdebatan paling terkenal tentang permasalahan ini adalah mengenai sifat-sifat Allah yang sekilas menyerupai makhluk (Tasybih), seperti Tangan Allah atau Bersemayam di Arsy. Aliran seperti Asy'ariyah dan Mu'tazilah berselisih tentang apakah sifat ini harus diartikan secara harfiah atau ditafsirkan (ta'wil) agar tidak merusak konsep keesaan Allah. Selain itu, debat tentang Takdir atau Jabr dengan kehendak bebas atau ikhtiyar juga termasuk dalam pilar ini, karena berkaitan erat dengan Iradat atau kehendak dan Qudrah atau kekuasaanAllah.


2. Qismul Nubuwiyah (Fokus pada Komunikasi)


Pilar ini bergeser dari Dzat Tuhan menuju hubungan dan komunikasi antara Tuhan sang Khaliq dengan ciptaan-Nya atau makhluk-Nya

Pertanyaan yang biasanya terlontarkan berupa, "Bagaimana Tuhan menyampaikan pesan-Nya, dan bagaimana kita tahu pesan itu asli?"

Pilar ini membahas semua perantara pesan, yaitu Nabi, Rasul, dan Malaikat, serta segala hal yang menjadi media komunikasi itu sendiri atau istilah lainnya dengan cara bagaimana wahyu itu tersamoaikan. Ilmu Kalam bertugas memberikan argumentasi rasional untuk menetapkan kebenaran dan kejujuran para utusan, khususnya melalui pembahasan mukjizat yang membuktikan bahwa mereka benar-benar mendapat mandat dari Tuhan.

Contohnya Ilmu Kalam merumuskan sifat-sifat wajib bagi Rasul, seperti Siddiq / Jujur, Amanah / Dapat Dipercaya dan membahas mekanisme turunnya Wahyu. Tanpa pilar ini, keyakinan terhadap Syariat atau hukum yang dibawa oleh para Rasul  akan kehilangan legitimasinya.


3. Qismul Al-Sam’iyat (Fokus pada Kabar Gaib)


Pilar terakhir ini mencakup semua hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal dan panca indera di dunia ini, melainkan harus diimani berdasarkan informasi yang terdengar atau sam'iyat yang datang dari Wahyu berupa Al-Qur'an dan Hadis. Sepert pertanyaan yang berkaitan dengan, "Apa yang terjadi setelah kehidupan ini, dan bagaimana wujud alam gaib?"

Untuk itu pembahasan utama dalam pilar ini adalah tentang alam akhirat. Ilmu Kalam di sini tidak berupaya membuktikan hal-hal gaib ini dari nol, melainkan memberikan argumentasi logis bahwa hal-hal gaib tersebut mungkin terjadi, dan meyakinkan bahwa sumber informasinya (Wahyu) adalah benar.

Perdebatan yang terjadi dalam permasalahan ini biasanya perdebatan sengit tantang hakikat Kebangkitan atau Ba'ats, keadaan di alam kubur, Surga, Neraka, hingga Hari Perhitungan. Meskipun sumbernya adalah teks, Ilmu Kalam berupaya meyakinkan akal bahwa Kemahakuasaan Tuhan mampu mewujudkan semua itu, bahkan apa yang tidak mungkin bagi manusia bagi Allah merupakan hal yang mudah dan sangat mungkin, misalnya kemampuan Allah untuk membangkitkan tulang belulang yang telah hancur menjadi utuh kembali.

Dengan membagi kajian menjadi tiga pilar ini, Ilmu Kalam berhasil memberikan kerangka logis yang kokoh untuk membela dan memperkuat seluruh aspek keyakinan dalam Rukun Iman.

Hubungan Ilmu Kalam dengan Kajian Ilmu Lainnya Sebagai Fondasi Agama


Ilmu Kalam tidak berdiri sendiri. Ia adalah fondasi spiritual dan rasional yang menghubungkan disiplin ilmu keislaman lainnya. Ilmu Kalam memiliki hubungan yang erat, namun juga memiliki perbedaan dengan disiplin ilmu keislaman lainnya. Mari kita bahas satu persatu hubungan ilmu kalam dengan beberapa kajian ilmu lain yang diataranya yaitu:


1. Ilmu Kalam dengan Filsafat Islam


Hubungan Ilmu Kalam dan Filsafat Islam seringkali diperdebatkan karena keduanya sama-sama menggunakan akal rasio sebagai metode pembuktian. Obyek kajian Ilmu Kalam lebih condong pada konsep dasar ketuhanan yaitu Allah SWT, sifat-sifat-Nya, dan hubungannya dengan alam yang berada di bawah syariat-Nya. 

Sementara obyek Filsafat Islam lebih luas, meliputi alam, manusia, dan perenungan tentang prinsip wujud serta penyebabnya. Misalnya seperti upaya Aristoteles dalam membuktikan Sebab Pertama, yaitu yang diterjemahkan dari istilah Yunani, Prima Causa yang artinya rantai sebab akibat atau Unmoved Mover yang artinya Penggerak yang tak menggerakkan.

Filsafat Aristoteles menjabarkan bahwa konsep Sebab Pertama dicapai melalui logika, observasi alam, dan akal tanpa mengacu pada kitab suci. lmu Kalam menyambut baik konsep ini. Mereka melihat "Sebab Pertama" versi Aristoteles sebagai konfirmasi rasional terhadap konsep Allah Tuhan Yang Maha Esa dalam Islam, yang merupakan Pencipta dan Sumber Wujud Mutlak.

Jadi, penjelasan Aristoteles dimaknai Ilmu Kalam sebagai upaya filosofis untuk membuktikan Tuhan menggunakan akal murni dan dijadikan sebagai salah satu dalil rasional mereka. Filsafat sering dianggap sebagai pembuktian intelektual yang lebih bebas, sedangkan Ilmu Kalam adalah ilmu keagamaan yang menggunakan rasio untuk membela akidah dan tunduk pada syariat (Al-Ahwani). Meskipun demikian, aliran-aliran teologi Islam semuanya memakai akal dalam menyelesaikan persoalan, yang membedakannya hanyalah derajat kekuatan yang diberikan kepada akal tersebut.


2. Ilmu Kalam dengan Ilmu Tasawuf


Ilmu Kalam dan Tasawuf layaknya seperti dua sisi uang koin. Kalam adalah sisi rasional yang mengupas tuntas teori, sedangkan Tasawuf adalah sisi rohaniah atau praktik.

Ilmu Kalam membahas persoalan teologis dengan argumentasi rasional (aqliyah) dan tekstual (naqliyah), misalnya menerangkan bahwa Allah memiliki sifat Sama’, Bashar, dan Qudrah. Namun, pembahasan ini sering terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah, sedangkan fungsi Ilmu Tasawuf menyempurnakan maknanya agar lebih menyentuh, untuk itu ilmu tasawuf dinobatkan sebagai penyempurna Ilmu Kalam. Mengapa Ilmu Tasawuf dikatakan sebagai penyempurna Ilmu Kalam? Hal ini berdasarkan 2 alasan ini, yaitu:

Pemberi Wawasan Spiritual
. Hal ini memiliki arti bahwa Tasawuf memberikan penghayatan mendalam lewat hati terhadap ilmu Kalam. Hal ini menjadikan ilmu Kalam lebih bisa dipahami dan dihayati serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemberi Kesadaran Rohaniah. Hal ini memiliki makna bahwa Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah pada perdebatan Kalam, sehingga Ilmu Kalam tidak hanya menjadi dialektika keislaman yang kering dari sentuhan hati, tetapi juga menjadi jalan praktis untuk merasakan keyakinan dan ketenteraman.

Jika diibaratkan sebuah rumah, Ilmu Tasawuf dipahami sebagai interior dan dekorasi yang ada di dalamnya, sebagai bentuk perumpamaan dari aspek batiniah atau rohaniah.


Tasawuf memastikan bahwa ketaatan Fiqh dilakukan dengan hati yang ikhlas, bukan sekadar gerakan fisik. Tasawuf memberikan pemaknaan tentang bagaimana kita merasakan kehadiran Tuhan dalam sebuah ketaatan.

Ilmu Kalam (keyakinan) adalah dasar moral yang mendorong ketaatan pada Fiqh (aturan hukum). Sementara Tasawuf menyempurnakan keduanya dengan memberikan kesadaran rohaniah agar akidah tidak kering dan amalan tidak hanya bersifat lahiriah.

3. Ilmu Kalam dengan Syariat, Fiqh, dan Ushul Fiqih


Dalam Islam, Ilmu Kalam jika diibaratkan sebuah bangunan rumah memiliki peran sebagai dasar atau fondasi, untuk itu Ilmu Kalam pun berkedudukan sebagai Fondasi bagi Syariat Islam, Fiqih atau pemahaman mendalam tentang sebuah hukum.

Ilmu Syariat, Fiqh dan Ushul Fiqh diibaratkan sebagai dinding serta atap dari sebuah bangunan rumah atau Struktur Lahiriah, yang memiliki fungsi menyediakan aturan praktis mengenai ibadah dan muamalah seperti menjelaskan tentang tata cara shalat, puasa, jual beli dan lainnya.
 
Kalam dipahami sebagai dasar moral yaitu Akidah (Kalam) yang merupakan pokok dan pendorong bagi Syariat. Syariat tanpa Ilmu Kalam diibaratkan bangunan yang tergantung tanpa sandaran kekuatan moral yang dapat menginspirasi ketaatan. Syariat menjadi jawaban dan sambutan dari panggilan jiwa yang ditimbulkan karena adanya akidah yang kuat.

Secara kajian Fiqh, Abu Hanifah membagi hukum Islam menjadi Fiqih Al-Akbar atau keyakinan yang kajiannya ada dalam pembahasan  Ilmu Kalam/Tauhid dan Fiqih Al-Asghar yang terdiri dari cabang agama, yaitu Fiqih ibadah dan muamalah. Ini menunjukkan bahwa Kalam membahas soal-soal pokok atau dasar yang menjadi pondasi agama, sementara Fiqh membahas soal furu’ atau cabang dengan tinjauan yang lebih detail.

Peran Akal atau Ushul Fiqih sangat diperlukan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat hukum melalui ijtihad yang penjabarannya tentu saja menggunakan akal dan prinsip kelogisan (misalnya dalam menentukan illat pada qiyas). Ini sejalan dengan Ilmu Kalam, di mana perbedaan madzhab fiqih juga dipengaruhi oleh perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan akal dalam menginterpretasikan teks.


4. Ilmu Kalam dengan Al-Qur’an, Tauhid, dan Ushuluddin


Hubungan Ilmu Kalam dengan Al-Qur’an adalah  Al-Qur’an merupakan sumber utama Ilmu Kalam. Banyak ayat (misalnya QS. Al-Ikhlas) yang menyinggung hal-hal berkaitan dengan ketuhanan yang berkaitan dengan Zat, Sifat, Asma, dan Perbuatan. Ilmu Kalam berfungsi menyistematisasikan dan merincikan penjelasan yang bersifat umum dalam Al-Qur'an dan Hadits melalui penalaran rasional untuk mempertahankan akidah.

Hubungan dengan Tauhid dan Ushuluddin karena ketiganya memiliki  istilah yang saling berkaitan dan sering dipertukarkan. Ilmu Kalam membahas keesaan Allah atau Tauhid, dan karena ia membahas pokok-pokok agama yaitu rukun Iman yang enam, maka ia juga disebut Ilmu Ushuluddin. Ilmu Kalam adalah nama yang populer karena menggunakan metode logika atau mantiq, yang secara etimologi bersinonim dengan Kalam.

Kesimpulan


Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang sangat vital dan tak tergantikan bagi setiap Muslim. Ia melampaui sekadar ritual atau hukum praktis, ia adalah jantung teologi dialektis Islam yang memberikan kedalaman intelektual pada keyakinan.


Fungsi utamanya adalah memperkuat dan mempertahankan akidah dengan landasan rasional yang kokoh, menjadikannya benteng pertahanan dari segala bentuk keraguan filosofis, ateisme, atau penyimpangan teologis yang marak di era modern.

Ilmu Kalam memungkinkan seorang Muslim untuk menghubungkan akal (rasionalitas) dengan hati (spiritualitas). Akal digunakan untuk memverifikasi kebenaran Allah dan Rasul-Nya, sedangkan hasil keyakinan tersebut kemudian dihayati dan diterapkan dalam bentuk Syariat (Hukum) dan dimurnikan melalui Tasawuf (Spiritualitas). Dengan demikian, Ilmu Kalam menjadi fondasi utama yang menyokong seluruh bangunan keislaman.



Referensi

Hasbi, Muhammad. (2015). Ilmu Kalam: Memotret Berbagai Aliran Teologi dalam Islam. Yogyakarta: Trust Media.

Muthahhari, M. (2002). Mengenal Ilmu Kalam (Cet. I). Pustaka Zahra.

Nasir, H. S. A. (1996). Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




Custom Post Signature

Custom Post  Signature
Educating, Parenting and Life Style Blogger