Mengenal dan Menangani Temper Tantrum pada Anak Usia Dini

Rabu, 30 April 2025
Terlihat seorang mamah muda dengan kemeja hijau dan rok senada di Minimarket Sejahtera sedang berdiskusi dengan bocah yang usianya kira-kira sudah menginjak 4 tahun, keduanya saling adu pendapat. Kalau disuguhkan pemandangan seperti ini bisanya cuma senyum kecil dan juga sedikit menahan rasa gemas. Dari percakapan yang kutangkap nampaknya sang mamah hanya ingin berbelanja keperluan rumah dengan cepat. Tapi apa daya, putranya yang berusia 4 tahun, punya rencana lain. Begitu melihat rak mainan, matanya langsung berbinar dan berseloroh.

"Mama, aku mau robot itu!" teriaknya sambil menunjuk robot transformer berwarna biru.

"Sayang, kita sedang tidak beli mainan hari ini ya. Kita hanya beli susu dan sayuran," jawab sang mamah dengan nada lembut.

Tanpa diduga, Rafaka (sepertinya nama anaknya adalah Rafaka dari percakapan yang kudengar) langsung melemparkan diri ke lantai, menangis meraung-raung, berguling-guling, dan menjerit kencang. "Mau robot! Mau robot!" teriaknya berulang kali. Seluruh pengunjung minimarket menoleh ke arah mereka.

Sang mamah panik. Dia mencoba membujuk, memarahi, bahkan mengancam akan meninggalkan Rafaka. Tapi ayal, ternyata alih-alih bisa tenang Rafaka malah semakin histeris.

permasalahan anak usia dini

 

Whoaaa, pernahkah teman-teman menjumpai situasi serupa? Situasi rasa-rasanya terasa familiar ya bagi banyak orangtua. Perilaku Rafaka adalah contoh klasik dari apa yang disebut para ahli sebagai "temper tantrum". Pernah dengar istilah temper tantrum? Ini masuk ke dalam permasalahan umum pada anak. Fenomena ini sering banget lho membuat orangtua dan pendidik kewalahan merasa kewalahan. Yuk sama-sama kita luaskan pengetahuan kita tentang hal ini.

Apa Itu Temper Tantrum?


Temper tantrum dimaknai sebagai wujud ledakan emosi yang intens pada anak, biasanya muncul saat anak-anak mengalami penolakan atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Walaupun terlihat sangat mengkhawatirkan dan merisaukan para orang tua dan juga guru, temper tantrum sebenarnya merupakan hal yang wajar dan normal dialami oleh anak usia dini dalam masa perkembangannya, terutama di usia 2-4 tahun.

Coba kita bayangkan ketika seorang anak sedang merasakan luapan emosi yang sangat kuat entah dari rasa gundah yang mereka rasakan atau dari keinginan yang tidak mampu dia dapatkan, namun mereka memiliki keterbatasan dalam kata-kata ketika ingin mengungkapkannya. Jadilah mereka "berbicara" dengan cara yang paling primitive yaitu dengan cara menangis, menjerit, berguling-guling, melempar barang, memukul, bahkan terkadang sampai muntah atau ngompol saking intensnya emosi yang dirasakan. Hmm…lumayan memusingkan dan membingungkan, ya!! Sekarang kit acari tahu yuk kenapa ini bisa terjadi?

Kenapa Anak Bisa Tantrum?


Sebenarnya masalah temper tantrum ini merupakan masalah yang multifaktor atau banyak penyebab pemicunyanya. Apakah anak yang sering tantrum akan tumbuh menjadi anak yang anti sosial? Coba kita kuak satu persatu ya melalui pemaparan ini.

Rasa Kelelahan


Pernahkah parents merasa super sensitif ketika dalam kondisi sangat lelah? Nah begitu juga pada anak-anak, tapi reaksi mereka jauh lebih ekstrem. Karena biasanya aktivitas fisik yang berlebihan tanpa istirahat cukup bisa membuat anak mudah meledak emosinya.


Rasa Frustrasi


Biasanya anak kecil memiliki banyak keinginan namun kemampuan yang terbatas. Cob akita bayangkan bagaimana rasanya ketika ingin membangun menara balok setinggi langit tapi motorik halusmu belum cukup terampil. Frustrasi kan? Nah begitulah yang dialami sang anak. Keinginan yang tinggi namun kemampuan belum memadai.

Keadaan Lapar


Istilah "hangry" (hungry + angry) merupakan istilah yang acap kali menjadi predikat bagi anak-anak yang mengalami kemarahan dalam keadaan lapar. Perut kosong menyebabkan toleransi rendah dan biasanya hal ini bisa memicu tantrum pada anak.

Kondisi Sakit atau Tidak Enak Badan


Anak kecil belum bisa mengatakan "Mama, kepalaku pusing" atau "Papa, perutku tidak enak." Sebagai gantinya, mereka mengekspresikan ketidaknyamanan fisik melalui perilaku tantrum.

Rasa Marah


Keinginan tidak terpenuhi, mainan direbut teman, atau dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukai adalah pemicu umum rasa marah pada anak.

Rasa cemburu


Anak usia dini biasanya sangat ingin memiliki barang yang serupa dengan teman-temannya, misalnya ketika melihat temannya punya sepatu baru, tas bagus, atau mainan yang bagus bisa memicu rasa cemburu yang berujung pada tantrum.

Perubahan Rutinitas


Kebiasaan yang teratur pada kegiatan harian anak jika berubah biasanya akan menimbulkan kekacauan juga pada diri anak, karena anak kecil menyukai keteraturan dan prediktabilitas. Perubahan yang mendadak pada rutinitas harian mereka biasanya bisa membuat mereka merasa tidak aman dan cemas.

Tekanan di Rumah dan Sekolah


Anak usia dini sedang masa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan juga keinginan mengeksplorasi hal-hal baru bagi mereka. Ketika keinginan ini dibatasi terlalu ketat, maka akan menimbulkan rasa frustasi yang menumpuk dan akhirnya bisa meledak dalam bentuk tantrum.

Bagaimana Mengenali Anak dengan Kecenderungan Tantrum?


Tidak semua anak usia dini mengalami fase tantrum jika keinginannya tidak terpenuhi atau dalam kondisi yang telah diterangkan di atas, namun memang pada beberapa anak lebih rentan mengalami tantrum dibanding yang lain. Untuk itu parents harus peka terhadap kebutuhan anak yang harus dicukupi dan dipenuhi untuk menghindari tantrum pada anak. Apa saja yang harus diperhatikan? Yuk kita kupas satu persatu.

  1. Pola Tidur. Pola tidur dan makan yang tidak teratur juga bisa menjadi penyebab anak menjadi tantrum. Biasanya anak yang tidak memiliki jadwal makan dan tidur yang konsisten cenderung lebih mudah gelisah dan marah.
  2. Sulit beradaptasi. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru, makanan berbeda, atau pada orang asing bisa menjadi tanda anak rentan tantrum.
  3. Lambat Menerima Perubahan. Anak yang butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan perubahan rutinitas harian mungkin lebih sering mengalami tantrum.
  4. Mood Cenderung Negatif. Tidak semua anak memiliki kecenderungan mood yang negative namun biasanya memang secara alami beberapa anak lebih sering berada dalam suasana hati negatif dan lebih sering menolak daripada menerima.
  5. Mudah Terpengaruh. Sensitif ketika menghadapi rangsangan dari luar juga bisa membuat anak tantrum. Pada anak yang sensitif ketika menghadapi hal yang tidak dia sukai mudah merasa kesal atau marah.
  6. Sulit Mengalihkan Perhatian. Ada beberapa anak jika sudah fokus pada sesuatu maka tidak mau diganggu sehingga sangat sulit untuk mengalihkan perhatian mereka ke hal lain.

Perilaku khas saat tantrum biasanya ditunjukkan dengan cara menangis keras, menjerit, merengek, menghentakan kaki, membanting pintu, memukul, memecahkan benda, mengancam, meludah dan perilaku-perilaku meledak lainnya.

Apa yang Terjadi Jika Tantrum Tidak Ditangani dengan Baik?


Tantrum merupakan gejala normal yang terjad pada anak usai dini, namun tetap saja harus segera ditangani. Sebagai orang tua dan pendidik harus sigap dan tanggapndalam mengatasi masalah ini, karena jika setiap kali anak tantrum tidak diatasi atau diatasi dengan cara yang salah semisal menuruti segala keinginannya maka akan mengakibatkan beberapa hal seperti ini:

Tantrum menjadi "senjata" anak untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Anak menjadi sulit untuk menunda kepuasan (poor delayed gratification). Selain itu kemampuan anak dalam mengontrol diri juga rendah. Biasanya anak akan memiliki kepribadian temperamen atau mudah tersulut amarahnya dan cenderung suka ngambek pada hal-hal kecil.

Perkembangan intelektual dan sosial anak yang seringkali menangani tantrum berkepanjangan cenderung tidak seimbang. Mereka mungkin pintar secara akademis tapi akan mengalami kekurangan dalam keterampilan sosial dan pengendalian emosi. Kita coba urai yuk dengan beberapa kasus nyata yang terjadi di sekitar kita. Kita ambil contoh kejadian di sekolah, ya.

Bu Dewi, seorang guru TK B di TK Anak Ceria, baru saja selesai menjelaskan kegiatan hari itu ketika terdengar jeritan keras dari sudut kelas. Dafa, murid yang biasanya tenang, tiba-tiba menangis, berteriak, dan berguling-guling di lantai.

"Puzzle kereta apiku! Kereta apiku!" teriaknya sambil terisak.

Ternyata, Dafa sudah susah payah menyusun puzzle berbentuk kereta api selama hampir 30 menit. Dia sangat bangga dengan hasil karyanya. Tapi tiba-tiba, Rafi, teman sekelasnya, datang dan merusak puzzle tersebut karena ingin memakainya.

Dafa melaporkan kejadian ini pada Bu Dewi, tetapi karena sedang menjelaskan kegiatan, Bu Dewi hanya berkata, "Sebentar ya, Dafa. Ibu sedang bicara."

Merasa tidak didengarkan dan kecewa berat, Dafa akhirnya meledakkan emosinya dalam bentuk tantrum hebat yang sulit diredakan. Bagaimana? Pernahkah teman-teman mengalami hal ini?

Bagaimana Cara Menangani Temper Tantrum pada Anak?


Menghadapi anak yang sedang tantrum membutuhkan kesabaran luar biasa. Yang paling penting adalah orang dewasa harus tetap tenang, lemah lembut, dan tidak ikut terpancing emosi. Ada 2 cara dalam melakukan intervensi ketika anak tantrum yaitu penganganan secara umum dan secara khususs. Berikut ini beberapa strategi penanganan tantrum yang bis akita terapkan dari sisi umum dan khusus.

Intervensi atau Penanganan Umum


Dalam mengatasi permasalahan tantrum pada anak secara umum bisa ditangani dengan cara melakukan pencegahan, karena pencegahan merupakan kunci dalam menghindari tantrum pada anak. Kenali kebiasaan anak dan situasi yang biasanya memicu tantrum. Misalnya, jika anak mudah tantrum saat lelah, hindari kegiatan belanja panjang menjelang jam tidur siang.

Pastikan lingkungan sekitar anak aman dan terkendali ketika anak mengalami tantrum. Pastikan untuk tetap tenang dan kendalikan emosi sendiri meskipun ini adalah hal yang tersulit!

Jangan terlalu menanggapi tantrum namun harus tetap diingat tetap awasi anak dan pastikan dalam keadaan aman. Jika tantrum berlangsung lama dan semakin parah, peluk anak dengan penuh kasih sayang jika anak sudah bisa menerima sentuhan.

Setelah tantrum berlalu, hindari memberi hukuman, ceramah panjang, atau sindiran. Jangan dibiasakan memberi hadiah karena hal ini bisa memperkuat dan menambah perilaku tantrum pada anak. Ciptakan rasa aman dan kasih sayang. Setelah semuanya terkondisikan evaluasi apa pemicu tantrum dan bagaimana pencegahan ke depan.

Intervensi dan Penanganan secara Khusus


Pencegahan secara khusus bisa dilakukan dengan cara menyediakan saluran ekspresif positif untuk anak ketika sedang mengungkapkan emosinya dengan cara seperti menggambar, bermain drama, atau bercerita. Kurangi rasa frustrasi pada anak dengan memberikan banyak pilihan aktivitas. Orang tua harus pandai mengamati secara teliti tanda-tanda awal frustasi dan bantu anak sebelum emosinya meledak

Lalu bagaimana penanganan saat anak mengalami tantrum tantrum hebat dan berpotensi melukai dirinya atau orang lain? Parents bisa mencoba untuk mengaak anak ke tempat yang lebih aman tapi tetap dalam pengawasan. Beri tahu bahwa dia bisa bergabung kembali setelah tenang. Jika ada risiko anak melukai diri, tetaplah di dekatnya dan tetap tenang, jika anak sudah bisa menerima sentuhan, pegang dengan lembut dan yakinkan bahwa dia aman. Bantu anak menemukan cara menenangkan diri misalnya dengan cara mendengarkan musik, melihat buku dengan gambar menarik, bernyanyi, menggambar, bermain dengan pasir, air, atau plastisin atau bola remas sebagai alat bantu menyalurkan emosi.

Setelah anak tenang bantu anak mengidentifikasi masalah yang membuatnya marah. Latih anak mengucapkan keinginannya dengan cara yang lebih tepat dengan memberi contoh kalimat-kalimat yang bisa digunakan, misalnya "Bolehkah aku main ayunan setelah ini?"

Mengatasi Masalah yang Ada


Berikan perhatian minimal pada ledakan amarah, kecuali untuk memastikan keamanan. Ingat, tujuan tantrum seringkali untuk mendapatkan perhatian atau keinginan. Jika tantrum menyebabkan kekacauan, pindahkan anak ke area yang aman jauh dari anak-anak lain. Katakan dengan tenang: "Tidak apa-apa kalau kamu kesal dan marah, tapi tidak bagus kalau mengganggu orang lain. Jika kamu sudah tenang, kamu bisa bergabung dengan kami."

Amati dengan teliti pola terjadinya tantrum dengan memperhatikan kapan sering terjadi, apa pemicunya, dan bagaimana bisa mencegahnya di masa depan.

Kembali pada kisah awal yang terjadi pada Rafaka


Setelah kita memahami strategi dalam mengatasi tantrum pada anak, maka bagaimana seharusnya seorang mamah ketika menangani tantrum pada anak? Tentu saja penganganan di awali dengan sikap tenang, alih-alih panik dan membujuk yang justru memberi perhatian pada perilaku tantrum lebih baik tenang dan tidak ikut emosi. Namun sang mamah harus memastikan Rafaka aman meski berguling di lantai. Sang mamah usahakan bicara dengan suara lembut tapi tegas, "Mama mengerti kamu ingin robot itu, tapi hari ini kita tidak beli mainan. Mama akan menunggu sampai kamu tenang."

Jika tantrum berlanjut dan mengganggu pengunjung lain, mamah bisa mengangkat Rafaka dengan lembut ke luar minimarket sampai dia lebih tenang setelah Rafaka tenang, mamah bisa memeluknya dan mengatakan, "Mama tahu kamu kecewa. Lain kali kalau mau mainan, kita bisa bicarakan dulu sebelum ke toko ya."

Pelajaran untuk Orangtua dan Pendidik


Temper tantrum adalah bagian normal dari perkembangan anak, tapi bukan berarti harus dibiarkan tanpa penanganan yang tepat. Beberapa pelajaran penting. Konsistensi adalah Kunci. Anak perlu tahu bahwa tantrum bukan cara efektif untuk mendapatkan keinginan. Jika sekali tantrum berhasil membuat orangtua menyerah, anak akan mengulanginya lagi dan lagi.

Kenali pemicunya dan lakukan pencegahan. Perilaku tantrum bisa dihindari dengan mengenali tanda-tanda awal dan mencegahnya dengan cara memastikan anak cukup tidur, makan teratur, dan punya ekspektasi yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Biasakan anak untuk berkomunikasi efektif. Bantulah anak mengungkapkan keinginan dan perasaannya dengan kata-kata, bukan dengan tantrum.

Berikan perhatian pada perilaku positif dengan cara memberikan pujian dan perhatian ekstra saat anak menunjukkan pengendalian diri yang baik dan mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat. Menghadapi tantrum memang tidak mudah, tetapi dengan kesabaran, konsistensi, dan kasih sayang, fase ini akan berlalu. 

Hal terpenting adalah tidak membiarkan tantrum menjadi alat komunikasi utama anak untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ingatlah bahwa saat menghadapi tantrum, kita tidak hanya menangani masalah perilaku saat itu, tapi juga mengajarkan keterampilan penting yang akan dibawa anak hingga dewasa yaitu mengajarkan anak mengekspresikan apa yang dia inginkan dengan membimbing anak mengelola emosi dengan sehat dan berkomunikasi dengan efektif. Yuk jadi orang tua bijak dan banyak mempersiapkan diri agar punya stok sabar yang berlimpah. Salam pengasuhan. Happy parenting.

Memahami Perilaku Anti Sosial pada Anak Usia Dini: Pengenalan, Penyebab, dan Penanganannya

Suasana pagi di TK Insan Cendekia diisi dengan pemandangan seorang anak lelaki kecil Bernama Faqih yang sedang duduk seorang diri. Faqih sedang melamun dengan raut wajah yang terlihat sedih . Bu Nawal, guru kelas Faqih masuk ke kelas dan melihat Faqih seorang diri. Bu Sinta mengernyitkan dahinya mengamati Faqih. Dia merasa ada perubahan pada perilaku Faqih, siswa berusia 5 tahun itu. Seingatnya dulu Faqih adalah anak yang ceria dan sangat senang bergaul, tetapi sejak mungkin hampir sebulan ini, Faqih sering menyendiri, enggan mengikuti pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, dan bahkan beberapa kali kepergok sedang mendorong dan juga memukul temannya saat mainannya hendak dipinjam.


"Hmm,… kira-kira ada apa ya dengan Faqih?" Bu Nawal bertanya pada dirinya sendiri.

Situasi yang dialami Faqih bisa jadi menunjukkan tanda perilaku anti sosial yang acap dijumpai pada anak usia dini. Jika tidak dilakukan penanganan dengan tepat, perilaku ini bisa mempengaruhi perkembangan anak di masa depan. Yuk, kita telusuri bersama apa itu sikap anti sosial pada anak, apakah sama dengan anak yang suka tantrum? Bagaimana cara mengatasinya agar anak terbebas dari masalah perilaku yang tidak menguntungkan ini.


mengatasi perilaku anti sosial pada anak usia dini

 

Apa Itu Perilaku Anti Sosial?


Menurut Hurlock (1978), anti sosial adalah sebuah keadaan ketika seseorang mengetahui aturan dan tuntutan kelompok, tetapi karena situasi yang tidak mengenakkan dengan orang lain sedang terjadi, maka seseorang tersebut akan melawan norma kelompok yang ada. Dampaknya, mereka sering diabaikan dan ditolak oleh kelompok sosialnya.

Kondisi ini berbeda dengan anak yang "non sosial". Biasanya ini terjadi dikarenakan mungkin hanya kurang keterampil dalam bersosialisasi, sedangkan anak dengan perilaku anti sosial biasanya sangat sering menentang aturan sosial yang ada.


Bentuk-Bentuk Perilaku Anti Sosial pada Anak


Perilaku anti sosial pada anak bisa diidentifikasi dalam berbagai bentuk. Orang tua dan pendidik harus mampu mengidentifikasi perilaku yang terjadi pada anak. Ciri-ciri umum yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

Negativisme


Negativisme biasanya ditandai dengan perilaku menolak dan melawan instruksi atau aturan yang ditunjukkan oleh anak. Misalnya pada situasi ketika Faqih selalu menjawab "tidak mau!" saat diminta bergabung dalam permainan kelompok. Perilaku seperti ini biasanya mulai muncul ketika anak memasuki usia 2 tahun dan lebih sering terjadi lagi ketika anak memasuki usia 3-6 tahun.

Agresi


Agresi atau dikenal juga dengan istilah agresif merupakan sikap yang menunjukkan permusuhan yang nyata, bisa juga berupa ancaman, yang biasanya tidak dipicu oleh orang lain. Seperti misalnya yang ditunjukkan pada sikap Faqih yang tiba-tiba mendorong temannya tanpa adanya sebab yang jelas.

Pertengkaran


Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang disertai kemarahan. Jika agresi terjadi karena sikap tunggal, pertengkaran melibatkan dua orang atau lebih, dan salah satu pihak memainkan peran bertahan sedangkan pihak lainnya menyerang.

Mengejek dan Menggertak


Perilaku Mengejek ditandai dengan serangan secara lisan atau berupa ucapan, sedangkan menggertak bersifat fisik. Biasanya ditandai dengan sang pelaku yang akan merasa puas ketika melihat korbannya merasa tidak nyaman.


Perilaku Sok Kuasa.


Perilaku sok kuasa seringkali ditandai dengan keinginan untuk menguasai orang lain. Jika diarahkan dengan tepat, ini bisa menjadi sifat kepemimpinan, tetapi sayangnya keumuman yang terjadi anak dengan perilaku sok berkuasa biasanya ditolak dalam kelompok sosial dan cenderung dijauhi oleh temannya.

Egosentrisme


Perilaku egosentris biasanya ditandai melalui sikap anak yang cenderung berpikir dan berbicara hanya seputar perihal dirinya sendiri, tanpa memperhatikan kebutuhan atau keinginan orang lain.

Prasangka


Prasangka biasanya terbentuk ketika anak menyadari perbedaan penampilan dan perilaku orang lain, yang dianggap rendah atau salah oleh orang-oang di sekitarnya.

Antagonisme Jenis Kelamin


Antagonisme jenis kelamin biasanya terjadi pada anak laki-laki. Sesama kawan laki-laki biasanya ada yang seolah mengintimidasi agar tidak main dengan anak-anak perempuan, terutama jika ikut dalam permainan yang biasanyanya cenderung dipakai permainan oleh anak perempuan.


Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak


Sebagai orang tua tentu saja kita tidak ingin memiliki putra-putri yang terlibat dalam permasalahan anti sosial. Jika pun terjadi pada anak kita tentu saja harus segera ditangani dan dicari solusinya. Nah, parents, kita kaji lebih lanjut lagi yuk, bagaimana menurut pendapat ahli tentang hal ini? Apakah seorang anak akan berkembang menjadi pribadi yang memiliki keterampilan sosial secara baik atau malah justru menjadi pribadi yang anti sosial menurut Hurlock (1978) bergantung pada empat faktor utama ini:


Kesempatan untuk Bersosialisasi


Anak perlu memiliki waktu dan ruang yang cukup untuk berinteraksi dengan orang lain, baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa. Tanpa kesempatan ini, anak tidak mampu beradaptasi untuk belajar hidup berbaur dengan bermasyarakat.

Kemampuan Komunikasi


Kemampuan berkomunikasi pada anak biasanya ditunjukkan dengan kemampuan anak membicarakan atau mengutarakan isi pikirannya melalui susunan kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti. Jika diibaratkan dengan sebuah bunga yang sedang mekar, kita sebagai orang tua dan juga pendidik perlu "menyirami bunga tersebut agar terus bertumbuh".

Kemampuan komunikasi anak akan terus bertumbuh memalui stimulasi yang didapatkan dari lingkungan sosialnya. Anak yang mudah bergaul, ketika mereka membicarakan hal-hal yang menarik dengan teman-temannya, biasanya mereka seperti "magnet kecil" yang menarik perhatian. Jika merasa nyaman dan diterima di lingkunagnnya, maka anak akan termotivasi untuk bergaul dengan lingkungan sosialnya. Ketika anak merasa senang ketika bermain dan berinteraksi dengan temannya, biasanya  anak akan sangat ingin mengulangi momen dan kegiatan bermain tersebut.

Metode Belajar yang Efektif


Anak belajar perilaku sosial melalui trial and error atau coba-ralat dan dari proses meniru orang yang ada di sekitarnya yang bisa dijadikan contoh (role model). Namun, mereka akan belajar lebih cepat dan lebih baik jika ada seseorang yang membimbing dan mengarahkan proses belajar tersebut. JAdi bukan hanya sekedar mencontoh tetapi diiringi bimbinbgan yang intensif.


Pengaruh Pengalaman Sosial Terhadap Perkembangan Anak


Masih menurut Hurlock (1978) seorang psikolog perkembangan yang sangat berpengaruh dalam bidang psikologi perkembangan anak dan remaja asal Amerika menuturkan bahwa pengalaman sosial awal memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan sosial anak di masa depan. Untuk itu beberapa hal yang sangat berpengaruh ditunjukkan pada aspek berikut ini:

Perilaku Sosial yang Menetap


Pengalaman bersosialisasi pada awal kehidupan anak akan membentuk pola perilaku yang sesuai dengan pengalaman yang dia dapatkan dan akan berlaku hingga dewasa. Untuk itu tugas orang dewasa untuk mengarahkan anak pada pola sosialisasi yang baik dari lingkungannya. Kemampuan beradaptasi yang dimiliki anak akan membawa keuntungan besar bagi perkembangan anak, jika tidak maka akan menjadi hambatan dalam perkembangan.


Sikap Sosial yang Menetap


Sikap sosial yang menetap pada anak yang didapatkan anak dari masa awal kehidupannya akan sangat berbekas ketika dia dewasa dan akan sulit dirubah. Untuk itu dorong anak untuk bersosialisasi dengan lingkungan pertemanannya agar anak tidak hanya senang berinteraksi dengan mainannya yang nota bene adalah benda mati, karena sikap akan lebih sulit  diubah dibandingkan perilaku.

Pengaruh Terhadap Partisipasi Sosial


Pengalaman sosial di kehidupan awal sang anak akan sangat mempengaruhi perkembangan anak. Partisipasi yang dilakukan akan menjadi penentu bagi kemampuan anak melalui seberapa aktif seorang anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial, baik di masa kanak-kanak maupun dewasa kelak.

Pengaruh Terhadap Penerimaan Sosial


Kemampuan anak dalam bersosialisasi akan sangat berdampak pada kepopuleran diri anak di kalangan teman-temannya, karena semakin si anak menunjukkan hal-hal yang menyenangkan maka akan semakin positif dan mudah diterima teman dan lingkungannya, karena dia adalah orang yang mudah bergaul dan sangat menyenangkan bagi teman dan lingkungannya. Biasanya anak semodel ini juga dikenal di lingkungannya.

Pengaruh Terhadap Pola Perilaku


Secara keumuman pengalaman sosial yang didapatkan di awal pada masa kanak-kanak akan sangat menentukan gaya sosialisasi anak apakah akan cenderung memiliki perilaku sosial yang baik sosial, tidak mampu bersosialisasi, atau malah anti sosial. Kemampuan bersosialisasi anak juga akan menentukan gaya bersosialisasi anak apakah dia akan menjadi seorang pemimpin atau sekedar pengikut.


Pengaruh Terhadap Kepribadian


Pengalaman sosial awal akan meninggalkan kesan pada kepribadian anak dan mungkin akan bertahan seumur hidup. Sikap positif takan terbentuk pada jiwa seseorang jika dia mengalami masa kecil yang indah dan bahagia, dan hal ini terbentuk melalui pengalaman sosial pada awal masa kanak-kanaknya.


Bagaimanan Menangani Masalah Anti Sosial pada Anak Usia Dini?


Sekarang kita coba telaah kembali keadaan yang sedang dialami oleh Faqih. Ketika mendapati perubahan perilaku pada Faqih Bu Nawal akhirnya memutuskan untuk melakukan komunikasi dengan orang tua Faqih setelah melewati observasi intensif yang dia lakukan. Akhirnya Bu Nawal mendapatkan keterangan dari orang tua Faqih, bahwa sejak adiknya lahir Faqih memang mengalami perubahan perilaku yang kurang menyenangkan, yang ternyata itu dilakukan juga ketika di rumah. 

Melalui keterangan yang didapatkan dari orang tua Faqih akhirnya Bu Nawal memahami bahwasannya perilaku anti sosial pada Faqih terbentuk sebagai wujud dari kurang perhatian atau perhatian yang dialihkan lebih kepada adiknya yang baru lahir. Tentu saja untuk sementara waktu Faqih agak sedikit terabaikan oleh orang tuanya. Hal ini menyebabkan Faqih menjadi tersisih dan tidak disayang lagi.

Keadaan ini tentu saja jangan dibiarkan berlarut dan harus segera diatasi.  Bagaimana cara mengatasi hal ini? Parents dan pendidik bisa mencoba hal-hal berikut jika menemukan masalah anti sosial pada anak usia dini:

Hindari Hukuman untuk Mengontrol Perilaku


Anak yang terlalu sering dihukum bisa menjadi "kebal" terhadap hukuman, sehingga perilaku anti sosial justru meningkat. Para pendidik ataupun orang tua hendaknya tetap memberikan dukungan yang positif agar perilaku baik pada anak tetap terjaga.

Tegaskan Aturan dan Terapkan Disiplin


Buat aturan yang jelas dan konsisten. Di sekolah sebagai seorang pendidik kita bisa membuat "Peraturan Kelas" dengan menggunakan gambar-gambar sederhana agar menarik dan juga mudah dipahami anak-anak. Demikian pun bagi orang tua di rumah, parents juga bisa menuliskan peraturan di dinding kamar anak dengan gambar atau ilustrasi yang menarik.

Ajarkan Konsep Sosial


Jangan lupa untuk memberikan penjelasan kepada anak tentang sebab dan akibat dari perilaku mereka. Bu Nawal mempraktikan metode bercerita dengan boneka tangan ketika menjelaskan tentang konsep "menyakiti teman membuat teman sedih" pada Faqih.

Berikan Stimulasi Kecerdasan Interpersonal


Secara konsisten berikan kegiatan yang bisa mengembangkan kemampuan sosial emosional anak yang bertujuan agar anak mampu memahami perasaan orang lain. Dalam hal ini Bu Nawal mengajak anak-anak bermain "Tebak Perasaan" dengan kartu emosi. Anak-anak diajak bicara dari hati ke hati tentang situasi perasaannya hari ini dan meminta memilih kartu emosi yang sesuai dengan kondisi hatinya.

Bersikap Konsisten dengan Konsekuensi


Jika sudah menetapkan konsekuensi untuk suatu perilaku, terapkan dengan konsisten. Bu Nawal dan orang tua Faqih ketika mencoba menghilangkan sikap anti sosial pada Faqih bersepakat untuk konsisten dalam menerapkan konsekuensi yang sama di rumah dan di sekolah.

Ajarkan Cara Menghormati Perbedaan


Bantu anak memahami dan menghargai segala bentuk perbedaan baik dari sisi etnis, budaya, agama, bahkan bangsa. Bu nawal mengadakan kegiatan "Hari Keberagaman" di kelas. Kegiatan tersebut dilakukan dengan saling berbagi cerita tentang tradisi atau kebiasaan pada keluarga masing-masing.


Kembalinya Keceriaan Faqih


Setelah Bu Nawal menerapkan strategi-strategi di atas selama beberapa minggu, akhirnya mulai terlihat perubahan sikap yang positif pada Faqih. Faqih mulai mau bergabung Kembali dalam kegiatan kelompok, senyumannya lebih sering terlihat, dan sudah mampu menunjukkan empati ketika ada teman yang menangis.

Bu Nawal pun menunjukkan sikap yang mendukung ketika Faqih melakukan kebaikan "Faqih, ibu senang sekali melihat kamu membantu Damar menyusun balok tadi," puji Bu Nawal.

Faqih tersipu malu ketika mendapat pujian dari Bu Nawal dia menjelaskan. "Damar tidak bisa Menyusun balok lebih tinggi, Bu. Jadi Aku ajari dia."

Dari kasus Faqih kita jadi mengerti, bahwasannya perubahan perubahan perilaku Faqih Kembali positif tidak mungkin terjadi dalam semalam. Dibutuhkan kesabaran, konsistensi, dan kerjasama yang baik antara guru dan orang tua.

Di rumahpun,  orang tua Faqih harus memberikan perhatian khusus untuknya dengan cara melibatkan Faqih dalam peran sebagai "kakak yang membantu", sehingga Faqih merasa dihargai dan diakui keberadaannya, hal ini menyebabkan keyakinan pada diri anak bahwa dia tidak perlu mencari perhatian kedua orang tuanya melalui perilaku negative yang malah akan merugikan.

Kesimpulan


Perilaku anti sosial pada anak usia dini bukanlah masalah sepele yang akan hilang dengan sendirinya. Seperti yang dikatakan Hurlock, pengalaman sosial awal sangat menentukan perkembangan anak di masa depan. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk mengenali gejala perilaku anti sosial, memahami penyebabnya, dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasinya.

Dengan pendekatan yang tepat, kesabaran, dan cinta, anak-anak seperti Faqih atau yang mengalami kasus serupa akan tetap bisa mengembangkan keterampilan sosialnya secara sehat, yang akan memberi mereka fondasi kuat untuk menjalin hubungan positif sepanjang hidup mereka.

Sebagai orang dewasa kita harus memahami bahwa setiap anak memiliki kepribadian yang unik dan mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda. Lakukan observasi untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam menangani permasalahan pada anak. Jangan lupa untuk terus menjadi orang dewasa yang siap siaga dalam memberi pertolongan pada anak dengan terus mampu memahami dan merespon kebutuhan anak-anak dengan penuh kasih saying dan terus konsisten. Salam pengasuhan. Happy parenting.




Mengatasi Rasa Ketidakpercayaan Diri pada Anak. Orang Tua dan Pendidik Wajib Tahu!

Rabu, 23 April 2025

Permasalahan Ketidakpercayaan diri pada anak merupakan fenomena yang acap kali dihadapi banyak orang tua dan pendidik. Menurut Dr. Erikson, seorang pakar psikolog perkembangan anak, hal ini timbul pada tahap perkembangan "inisiatif vs rasa bersalah" yaitu pada kisaran usia 3-5 tahun dan "kerajinan vs inferioritas" pada kisaran usia anak 6-12 tahun.


masalah ketidakpercayaan diri pada anak



Profesor Robert Brooks, seorang psikolog yang juga berdedikasi di Harvard Medical School, dalam bukunya "Raising Resilient Children" menjelaskan tentang berbagai manifestasi rasa ketidakpercayaan dalam diri anak menjadi beberapa pembagian utama, diantaranya yaitu:

  1. Pemalu (Social Shyness). Rasa malu pada diri anak biasanya dikarenakan mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lain, terutama terhadap orang lain yang baru dikenal. Anak-anak sering menghindari kontak mata, berbicara dengan suara sangat pelan, atau bersembunyi di belakang orang tuanya.
  2. Pencemas (Anxiety). Rasa cemas pada diri anak biasanya timbul karena dipengaruhi kekhawatiran yang berlebihan terhadap situasi baru atau tantangan, biasanya disertai dengangejala fisik seperti sakit perut, sakit kepala, atau gangguan tidur sebelum menghadapi situasi tersebut.
  3. Penakut (Risk-Aversion). Rasa takut pada anak biasanyha ditunjukkan dengan cara menolak aktivitas yang dia anggap baru karena takut gagal atau terluka, meskipun aktivitasnya sesuai dengan usia dan kemampuan mereka.
  4. Pembohong (Fabricator). Kasus berbohong pada anak biasanya diekspresikan oleh anak melalui kisah khayalan yang mereka ciptakan namun mereka buat seolah-olah itu adalah kenyataan. Hal ini biasanya menutupi rasa tidak mampu yang ia miliki
  5. Tidak Mandiri (Dependency). Ketidakmandirian pada anak biasanya ditandai dengan rasa ketergantungan mereka yang berlebihan pada orang dewasa, meskipun hal itu sebenarnya mampu mereka lakukan sendiri.

Seorang penulis buku dengan judul "Raising Your Spirited Child", Dr. Mary Sheedy Kurcinka, memaparkan bahwa perilaku rasa tidak percaya diri pada anak merupakan mekanisme perlindungan diri yang ditampakkan oleh anak ketika mereka merasa dirinya tidak aman atau tidak yakin dengan kemampuan yang mereka miliki. Menurut Dr. Mary anak-anak tidak dilahirkan dengan bawaan rasa ketidakpercayaan diri, hal tersebut adalah respons yang dipelajari dari pengalaman hidup yang mereka jumpai.

Hasil penelitian yang diterbitkan oleh National Institute of Child Health and Human Development menggambarkan bahwa sekitar 20-40% anak usia sekolah mengalami salah satu bentuk ketidakpercayaan diri di atas, dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Permasalahan yang sering ditemui pada anak ini harus segera ditangani, karena jika tidak ditangani dengan tepat, hal ini bisa terus berlanjut sampai dewasa dan akan berdampak pada kualitas hidup seseorang secara keseluruhan.

Untuk itu sangat dianjurkan bagi orang tua dan pendidik dalam memahami fenomena ketidakpercayaan diri pada anak bukanlah tanda kelemahan karakter atau kegagalan pengasuhan. Namun, jadikan hal ini menjadi kesempatan untuk memberikan dukungan yang tepat dan membantu anak mengembangkan resiliensi serta keterampilan mengatasi masalah yang akan bermanfaat seumur hidup mereka.

Untuk itu yuk bagi para orang tua dan pendidik kita coba telusuri lebih mendalam lagi tentang permasalahan ini melalui gambaran kasus yang biasanya sering terjadi pada anak. Saya akan memaparkan lebih dalam lagi tentang tiga permasalahan ketidakpercayaan diri pada anak dalam kasus Pemalu, Pencemas dan Berbohong melalui kisah beberapa anak yang menghadapi permasalahan ini.

Mengenal Anak Pemalu dan Cara Mengatasinya


Pagi itu, di ruang kelas Kartini TK Cendrawasih sedang heboh mempersiapkan pentas seni tahunan. Bu Nina wali kelas mereka, sibuk membagi-bagi peran untuk drama kecil yang akan anak-anak tampilkan.

"Farhan, kamu jadi raja ya!" kata Bu Nina dengan semangat.

Farhan, yang sedang berdiri dipojokan, langsung menunduk. Wajahnya terlihat memucat, dan terlihat ketakutan "eng…eng…ga mau Bu, Farhan enggak bisa..." ucapnya hampir tidak terdengar. Terlihat sangat cemas.

Bu Nina menghela napas. Sudah dua tahun ia membersamai Farhan, Sikapnya selalu saja sama, meringkuk seperti keong yang ketakutan setiap kali diminta tampil di depan kelas.

Kisah Farhan mungkin tidak asing ya bagi sebagian orang tua dan pendidik. Sikap yang ditunjukkan oleh Farhan merupakan gambaran Ketidakpercayaan diri pada seorang anak. Tentu saja ini bukan hal yang aneh, tapi dampaknya bisa sangat mengkhawatirkan jika tidak segera ditangani.

Aku jadi teringat dengan Lala, putri tetanggaku yang acap menyembunyikan dirinya di balik baju mamanya ketika bertemu dengan orang asing. Di usianya yang sudah lima tahun, Lala masih sulit ketika diminata untuk menyapa, tersenyum, atau sekadar menatap mata orang yang mengajaknya berbicara.

Melalui rasa malunya lala sebenarnya sedang melawan rasa ketakutan yang dimilikinya. Takut akan penilaian orang. Dalam benak si kecil, setiap interaksi sosial adalah potensi kegagalan atau penolakan. Maka, dia akan mengambil jalan aman yaitu dengan bersembunyi.

Apa sih definisi pemalu dan bagaimana cara mengatasinya? Yuk kita lanjut pembahasan kita.

Apa itu Anak Pemalu?


Menurut Suyanto (2005), anak pemalu adalah anak yang kurang memiliki keterampilan sosial ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Jika didiamkan berlarut maka anak akan terus merasa kesulitan dalam bergaul. Anak-anak pemalu biasanya punya percaya diri dan self-esteem yang rendah. Mereka tidak berani tampil ekspresif dan lebih suka menarik diri dari teman-temannya. Kalau dibiarkan terus, mereka bisa jadi anak yang introvert (suka memendam perasaan sendiri) dan susah bergaul dengan orang lain. Tapi apakah anak pemalu merupakan anak dengan problem anti sosial? Mari kita telusuri lebih lanjut.

Kenapa Anak Bisa Jadi Pemalu?


Biasanya rasa malu disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini:
  1. Merasa tidak aman ketika mengekspresikan diri dikarenakan pernah memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti dikritik atau diledek.
  2. Orang tua yang overprotektif. Hal ini membuat anak menjadi pasif dan jadi tergantung pada orang lain.
  3. Adanya perhatian yang kurang dari orang tua, hal ini membuat anak merasa tidak berharga
  4. Mengalami kritikan yang diungkapkan di depan umum.
  5. Banyak mengalami hukuman. Hal ini juga membuat anak dibalut perasaan takut dan ragu
  6. Pola asuh yang salah sejak kecil atau karena anak memiliki cacat fisik yang membuatnya merasa rendah diri.

pemalu pada anak usia dini



Karakteristik Anak Pemalu


Anak-anak yang pemalu biasanya ditandai dengan sikap atau hal di bawah ini:
  1. Anak selalu menghindar ketika harus berhubungan dengan orang lain.
  2. Anak merasa enggan dan ragu ketika diajak terlibat dengan orang lain.
  3.  Anak pemalu biasanya Tidak berani mengambil risiko.
  4. Cenderung pendiam dan jika berbicara suaranya pelan.
  5. Memiliki rasa kurang percaya diri.
  6. Tidak menyenangi permainan yang butuh Kerjasama.
  7. Sulit memutuskan pilihan untuk dirinya sendiri.

Dampak Rasa Malu Berlebihan bagi Perkembangan Anak


Jika dibiarkan berlarut, rasa pemalu yang berlebihan pada anak akan menimbulkan hal yang tidak diinginkan, seperti mengalami kendala dalam pergaulan karena terbiasa menarik diri karena terhambat perkembangan emosi dan sosialnya. Selain itu anak pemalu juga akan terbentuk jiwa yang tidak memiliki keterampilan komunikasi yang baik karena tidak mampu mengekspresikan diri secara nyaman dan santai.

Bagaimana Tips Jitu Menangani Anak Pemalu?


Tentu saja kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi anak ini harus segera diatasi dan dicari solusinya. Para pendidik dan orang tua bisa menerapkan hal-hal berikut ini:

  1. Orang tua dan pendidik harus mampu membangkitkan keyakinan bisa pada diri anak dengan menerima dan memuji apapun hasil kerja anak. Misalnya, "Wah, gambarnya bagus sekali anak sholeh! Pasti bisa lebih bagus lagi jika ingin berlatih terus!"
  2. Usahakan Jangan memaksa anak untuk tampil jika dia belum siap, tapi tetap tawarkan kesempatan itu dengan menggunakan kata-kata positif seperti "Kamu pasti bisa, semangat ya!"
  3. Beri anak kesempatan untuk Latihan bekerja dalam kelompok kecil yang berjumlah 2 orang, supaya anak lebih mudah berkomunikasi dan bekerjasama.
  4. Upayakan agar anak tidak bermain sendirian terlalu lama. Beri peran kecil dalam kegiatan kelompok, meski hanya sebagai "pendengar".
  5. Pendidik maupun orang tua harus mampu menciptakan suasana yang dekat dan hangat setiap harinya melalui sapaan lewat kontak mata dan senyuman.
  6. Memberikan pertolongan pada anak dan menanyakan dengan lembut saat anak butuh bantuan mengerjakan tugas tapi tidak mau bicara.
  7. Ciptakan permainan atau nyanyian yang melibatkan nama semua anak di kelas untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

Dengan pendekatan yang tepat dan penuh kesabaran, anak pemalu bisa bertransformasi menjadi anak yang lebih percaya diri dan mampu bersosialisasi dengan baik.


Mengenal Anak Pencemas dan cara Mengatasinya


Gelisah dan khawatir, mungkin ini ya gambaran perasaan cemas yang hinggap pada diri anak. Aku punya cerita, nih tentang seorang anak yang bernama Ramadhan, salah satu anak kenalanku yang berusia 5 tahun. Menurut cerita mamanya sebenarnya Ramadhan adalah anak yang cerdas, tapi sering merasa cemas berlebihan ketika hendak menghadapi hal yang baru buat dia. Dia bisa muntah, sakit perut, atau bahkan demam hanya karena besok harus tampil di sebuah pertunjukan. Padahal jika dia sudah larut dan beradaptasi dengan situasi yang dia hadapi dia akan merasa bahagia.

Kecemasan berlebihan seperti yang dialami Ramadhan menunjukkan rasa ketidakpercayaan diri yang mendalam. Meskipun sang anak memiliki kemampuan dalam hal yang dia cemaskan. Dia akan merasa tidak mampu, tidak cukup, dan takut gagal.

Apa sih definisi pencemas pada anak dan bagaimana cara mengatasinya? Yuk kita lanjutkan pembahasan kita dengan mengusung pendapat para ahli biar lebih kuat nih pemahaman kita.

Apa itu Kecemasan pada Anak?


Menurut Hurlock (1978), kecemasan adalah kondisi mental yang tidak nyaman berkaitan dengan rasa sakit yang mengancam atau yang dibayangkan. Berbeda dengan rasa takut yang disebabkan situasi nyata, kecemasan lebih samar dan dipicu oleh situasi yang dibayangkan.

Sundari (2005) menambahkan bahwa kecemasan melibatkan gejala fisik seperti jari-jari dingin, jantung berdebar, berkeringat dingin, pusing, nafsu makan berkurang, dan sesak napas. Sedangkan gejala mentalnya meliputi ketakutan, merasa terancam bahaya, sulit konsentrasi, gelisah, dan ingin lari dari kenyataan.

Mengapa Anak Bisa Cemas?


Ada beberapa penyebab kecemasan yang terjadi pada diri anak yang bisa diidentifikasi. Anak pencemas biasanya dibangun dari pola asuh orang tua dengan gaya pengasuhan yang dianut seperti di bawah ini: n

  1. Gaya pengasuhan yang terlalu protektif. Hal ini membuat anak jadi merasa was-was bahkan merasa bersalah jika tidak ada orang tua di sampingnya.
  2. Peraturan yang dibuat terlalu ketat sehingga anak merasa takut dihukum jikamengalami kegagalan.
  3. Anak tidak dibiasakan untuk berperilaku mandiri. Hal ini akan membuat anak takut sendirian dan selalu ingin ditemani.
  4. Orang tua tidak membiarkan anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal ini akan membuat anak kesulitan dalam bergaul dan cenderung takut jika bertemu dengan orang baru.
  5. Takut pada perubahan cuaca atau gejala alam seperti petir dan suasana gelap.

Tanda-tanda Anak Mengalami Kecemasan


Sebenarnya apa saja sih tanda-tanda jika anak sedang mengalami rasa cemas? Menurut para ahli, kecemasan ini dibagi menjadi kecemasan dalam tingkat yang masih ringan dan kuat. Kecemasan tingkatan ringan ditandai dengan murung dan gugup, mudah tersinggung atau marah, tidak bisa tidur nyenyak dan juga sangat sensitif dengan perkataan orang lain.

Sedangkan Kecemasan yang lebih kuat bisa diidentifikasi dalam sikap yang biasanya ditunjukkan dengan berlaga menjadi sok jagoan sebagai bentuk menutupi rasa ketidakpercayaan pada diri. Bisa juga ditandai dengan cepat bosan dan sulit fokus pada satu hal, gelisah dan kesulitan berbicara dengan lancar, menghindar dari situasi yang menyebabkan ketakutan seperti tidur walaupun tidak lelah, menyibukkan diri, atau malah dengan melamun.

Kecemasan yang lebih kuat juga bisa ditandai dengan memberikan reaksi berlebihan atau malah terlalu diam ketika dikritik. Adanya perubahan drastis dalam perilaku misalnya yang biasanya ramah anak berubah menjadi kasar, makan berlebihan, terutama makanan manis. Terlalu banyak menonton TV atau bermain gadget dan berkegiatan yang cenderung menghibur, bahkan sering menyalahkan orang lain ketika menutupi ketidakmampuan yang dimiliki.

mengatasi rasa cemas pada anak



Dampak Kecemasan pada Perkembangan Anak


Setelah kita mengetahui tanda-tanda anak yang mengalami kecemasan, tentunya sebagai pendidik dan orang tua akan segera mencari tahu bagaimana cara mengatasinya, solusi apa yang tepat agar rasa cemas pada anak bisa diminimalisisr atau bahkan dihilangkan, karena jika dibiarkan, kecemasan yang terus menerus dialami bisa membuat anak mejadi pribadi yang kurang percaya diri, tidak mandiri, tidak bisa memecahkan masalah dan selalu ingin bergantung pada orang lain.

Contoh kecemasan yang sering muncul pada Anak Usia TK


Biasanya kecemasan yang ditunjukkan oleh anak di tingkat taman kanak-kanak berkisar pada rasa cemas ketika bertemu dengan orang baru dan meminta orang tua untuk terus menunggunya ketika di sekolah. Kecemasan yang lainnya juga ditandai dengan perasaan tidak aman jika jauh dari guru, menangis ketika belum ada yang jemput, takut pada sosok tertentu, bisa teman atau individu yang berada di lingkungan sekolah, tidak berani beraktivitas karena tidak percaya diri.

Tips Menangani Anak yang Cemas


Bingung ya parents jika kita menghadapi atau bahkan memiliki anak yang cenderung pencemas. Lagi-lai sebagai orang tua kita ingin memberikan yang terbaik pastinya untuk buah hati tercinta. Begitu pula sebagai pendidik, tentu saja kita ingin ha yang terbaik bagi anak didik kita. Bahagia tentunya jika bisa membimbing mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menjadi problem solver bagi masalah yang mereka hadapi.

Apa saja nih yang harus dilakukan oleh orang tua dan pendidik ketika ingin berupaya mengatasi kecemasan yang terjadi pada diri anak?Hal-hal berikut ini bisa dicoba ya:

  1. Temukan penyebab kecemasan anak.
  2. Alihkan perhatian ke hal-hal yang disukainya saat mulai cemas.
  3. Orang tua dan pendidik hendaknya jangan memaksa anak untuk membicarakan kecemasannya ketika sedang sangat cemas.
  4. Berikan kasih sayang fisik seperti pelukan atau elusan di kepala.
  5. Menjaga situasi tetap kondusif, pastikan anak cemas tidak menjadi bahan ejekan orang lain.
  6. Upayakan untuk mengajak anak berbicara dengan kata-kata menenangkan dan membuatnya merasa aman.
  7. Lakukan kegiatan yang bisa menyenangkan dan membuat anak nyaman seperti bercerita, mendengarkan musik, atau menggambar.
  8. Ajak anak untuk anak mengekspresikan perasaan dalam bentuk kata-kata.
  9. Ungkapkan pujian saat anak berhasil mengungkapkan kecemasannya.
Dengan pendekatan yang tepat dan penuh kesabaran, anak-anak bisa belajar mengelola kecemasan mereka dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih tenang dan percaya diri.

Mengenal Rasa Takut pada Anak USia Dini dan Cara Mengatasinya


Anak yang penakut biasanya ragu untuk mencoba hal yang belum dia lakukan. Biasanya argumentasi yang dia lontarkan adalah "Tidak mau, Ma! Kalau jatuh gimana?"

Kalimat ini biasanya terlontar dari anak dengan ketidakpercayaan diri yang diwujudkan sebagai rasa ketakutan berlebihan ketika mencoba hal-hal baru. Baginya, setiap tantangan baru adalah potensi kegagalan yang menakutkan, bukan petualangan yang menyenangkan. Apa sih sebenarnya makna dari rasa takut yang dimiliki anak?


Pengertian Takut


Rasa takut muncul ketika seseorang merasa lemah dan terancam. Meski terdengar negatif, Sundari (2005) berpendapat bahwa takut sebenarnya punya nilai positif untuk kesehatan mental kita. Takut membuat kita lebih berhati-hati, jadi rasa takut sebaiknya jangan dihilangkan, namun harus tetap dikontrol.

Ketakutan paling mendasar pada anak adalah ketakutan kehilangan orangtua. Anak-anak juga sering takut pada orang asing, binatang, dan gelap. Watson dalam Crain (2007) menjelaskan bahwa anak sulit membedakan antara hal nyata dan imajinasi mereka sendiri.

Ketika anak memasuki usia 4 tahun anak masuk pada fase anak mulai berpikir intuitif. Mereka punya jawaban tentang dunia tapi belum bisa menjelaskannya dengan baik. Anak menggunakan intuisi untuk menjelaskan ketakutan mereka, misalnya dengan menganggap bayangan sebagai monster.

Perlu diketahui ya, bahwa ketakutan berbeda dengan kecemasan. Ketakutan biasanya muncul karena ada stimulus tertentu, misalnya jika anak takut anjing karena pernah digigit, sedangkan kecemasan tidak selalu punya pemicu yang jelas.

Ketakutan bisa jadi masalah jika muncul berulang dan mengganggu aktivitas sehari-hari, bahkan bisa berkembang menjadi fobia (Murphy dalam Crosser, 2004).

Percobaan dalam mengatasi rasa takut seorang bocah berusia 3 tahun bernama Peter terhadap kelinci pernah dilakukan oleh Mary Cover Jones dengan cara pembiasaan yang dilakukan secara bertahap dan akhirnya berhasil menghilangkan ketakutan terhadap kelinci dan benda serupa. Awalnya Peter hanya dibiarkan melihat kelinci dari kejauhan, selanjutnya mulai didekatkan sampai jarak dimana Peter merasa terganggu. Hari berikutnya dilakukan lagi dengan mendekatkan jarak lebih dekat secara perlahan sampai Peter merasa tidak terganggu, dan hari selanjuynya Peter sudah menunjukkan keberaniannya bermain bersama kelinci.


Penyebab Rasa Takut pada Anak


Beberapa faktor yang mempengaruhi rasa takut pada anak biasanya disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini:

  1. Faktor Intelegensi. Anak yang cepat dewasa biasanya cenderung punya rasa ketakutan seperti anak dengan usia yang lebih tua.
  2. Jenis kelamin. Biasanya anak perempuan menunjukkan lebih banyak ketakutan.
  3. Status sosial ekonomi. Keumumannya anak dari keluarga ekonomi rendah punya lebih banyak ketakutan, terutama pada kekerasan. Ini dipicu dari lingkungan tempat tinggal yang biasanya tidak aman.
  4. Kondisi fisik anak. Biasanya anak yang sedang dalam kondisi letih, lapar, atau kurang sehat lebih mudah merasa takut.
  5. Faktor hubungan sosial. Berada di antara anak lain yang ketakutan bisa menular.
  6. Faktor urutan kelahiran. Biasanya anak pertama cenderung lebih penakut karena pola asuh orang tua yang overprotektif.
  7. Faktor Kepribadian. Biasanya anak dengan emosi tidak stabil lebih mudah menjadi pribadi yang penakut.

Gejala yang Muncul Jika Anak Takut


Smith (dalam Crosser, 2004) menyebutkan gejala ketakutan pada anak ditunjukkan dengan beberapa perilaku diantaranya dengan perilaku agresif misalnya dengan cara mengamuk dan memukul. Biasanya anak seringkali menarik diri untuk mencari perlindungan dari orang dewasa atau dengan mengekspresikan rasa takut dengan melarikan diri dan bersembunyi.

Pengaruh Rasa Takut pada Perkembangan


Rasa takut yang dialami oleh anak jika dibiarkan dan tidak dikontrol maka akan menyebabkan anak terlalu bergantung pada orang lain karena merasa tidak aman di lingkungan yang baru. Selain itu anak juga mudah gugup dalam merespons situasi dan sulit dalam mengambil keputusan.


Tips Mengatasi Ketakutan pada Anak


Ada beberapa cara yang bisa dicoba oleh para orang tua dan juga pendidik ketika mengatasi anak yang penakut, diantaranya yaitu dengan langkah mengidentifikasi ketakutannya dan berbagi pengalaman dengan menerangkan pada anak bahwa semua orang punya rasa takut dan ini merupakan hal yang wajar.

Langkah selanjutnya dukung kemandirian anak dengan menghargai pilihan mereka. Jangan lupa untuk mempersiapkan anak ketika menghadapi situasi yang akan menimbulkan ketakutan pada anak. Selain itu orang tua harus menjaga lingkungan tetap nyaman dan aman. Untuk para pendidik upayakan untuk menggunakan strategi modeling atau dengan cara mencontohkan yang diterapkan dalam kurikulum pembelajaran.

Cara menerapkan strategi modeling dalam kurikulum


  1. Demonstrasi Langsung: Guru atau orang dewasa mencontohkan cara menghadapi objek atau situasi yang menakutkan dengan tenang. Misalnya, jika anak takut pada serangga, guru dapat menunjukkan cara memegang atau mengamati serangga dengan sikap tenang dan tertarik.
  2.  Peer Modeling: Melibatkan teman sebaya yang tidak memiliki ketakutan serupa untuk mencontohkan perilaku berani. Seperti pada kasus Peter yang disebutkan dalam teks, di mana dia belajar mengatasi ketakutannya terhadap kelinci dengan mengamati anak-anak lain yang bermain dengan kelinci.
  3.  Cerita dan Buku: Menggunakan cerita yang menampilkan karakter yang berhasil mengatasi ketakutannya. Guru bisa membacakan buku tentang anak yang awalnya takut gelap namun akhirnya belajar mengatasinya.
  4. Role-Play: Menciptakan permainan peran di mana anak-anak dapat mempraktikkan perilaku berani dalam situasi yang aman dan terkontrol.
  5. Video Modeling: Menunjukkan video tentang anak-anak atau karakter yang menghadapi dan mengatasi ketakutan mereka.
  6. Pendekatan Bertahap: Seperti dalam kasus Peter yang disebutkan dalam teks, pendekatan bertahap dimulai dengan melihat objek yang ditakuti dari jarak yang aman, kemudian secara bertahap mendekat seiring waktu.

Strategi modeling ini efektif karena membantu anak melihat bahwa situasi yang mereka takuti sebenarnya tidak berbahaya dan bahwa ada cara untuk menghadapinya dengan tenang. Ketika dimasukkan ke dalam kurikulum secara terstruktur, ini membantu anak-anak membangun kepercayaan diri mereka dan mengembangkan keterampilan mengatasi ketakutan mereka secara positif.


Perjalanan Panjang Membentuk Kepercayaan Diri pada Anak



Seorang Psikolog perkembangan anak, Dr. Amalia, menjelaskan, bahwasannya ketidakpercayaan diri yang terjadi pada anak biasanya berakar dari tiga hal yaitu pengalaman kegagalan yang tidak ditangani dengan baik, pola asuh yang terlalu kritis atau overprotektif, dan perbandingan yang tidak sehat dengan anak lainnya.

Membantu anak mengatasi ketidakpercayaan diri bukanlah proses yang mudah yang bisa terjadi hanya semalam. Keberhasilan untuk membangun rasa percaya diri pada anak merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan banyak cinta serta usaha yang gigih dari kita para orang dewasa.

"Percaya diri itu seperti otot," kata Dr. Amalia. "Semakin sering dilatih, semakin kuat. Dan latihannya dimulai dari hal-hal kecil."

Membangun kepercayaan diri pada anak bukan juga bukan berarti tentang menciptakan sebuah transformasi besar yang bisa dilakukan secara instan, tapi lebih ditekankan kepada bahwasannya kita orang tua dan pendidik bisa merayakan kemajuan kecil yang dialami oleh anak setiap harinya.

Dan mungkin inilah pesan terpenting untuk kita semua, bahwa dalam membantu anak mengatasi ketidakpercayaan diri, kita perlu belajar menghargai proses lebih dari pada hasil. karena proses pembelajaran pada anak usia dini lebih menekankan pada proses ketimbang pada hasil. Yuk belajar menjadi orang tua dan pendidik yang bijak. Happy parenting dan salam pengasuhan.

Custom Post Signature

Custom Post  Signature
Educating, Parenting and Life Style Blogger