Coba bayangkan jika kita hidup di masa awal lahirnya Islam, setelah era para sahabat besar. Kota-kota besar seperti Kufah dan Basrah bukan lagi tempat damai, melainkan kancah debat panas dan bahkan pertumpahan darah. Umat Islam terpecah menjadi faksi-faksi yang saling mengkafirkan. Ada yang sangat keras menghakimi penguasa seperti Khawarij, ada juga yang fanatik membela keluarga tertentu seperti Syi'ah, dan ada pula yang memegang kendali kekuasaan.
Argumentasi mereka sederhana. Murji'ah menganggap bahwa Muslim yang melakukan dosa besar masih tetap mengakui syahadat yang berbunyi Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir (wahyuni, Santalia, 2024).
Kata arja’ atau irja’ yang melandasi nama Murji’ah memiliki dua makna utama, sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani:
1. Penundaan (Irja’ sebagai Penundaan). Makna yang bernuansa politis, karena menunjukkan penangguhan keputusan terhadap orang Muslim yang berdosa besar, termasuk di dalamnya penguasa yang bertikai pada pengadilan di akhirat nanti.
2. Pengharapan (Irja’ sebagai Pengharapan). Makna ini muncul setelahnya dan bernuansa teologis. Orang yang berpendapat bahwa Muslim pendosa besar tetap mukmin dan tidak akan kekal di neraka, memang memberikan pengharapan bagi mereka untuk mendapatkan ampunan dari Allah Azza wa Jalla (Hafiza, Mutrofin, 2023)
Makna kedua ini juga mengimplikasikan bahwa segala perbuatan ditempatkan sebagai unsur sekunder dan bukan esensial dalam struktur iman. Dengan demikian, muncul harapan bagi pelaku dosa besar untuk masuk surga, baik secara langsung maupun setelah menerima hukuman di neraka.
Seiring waktu, Murji’ah terpecah menjadi berbagai sekte kecil. Para ahli mengklasifikasikannya berdasarkan berbagai parameter. Menurut kategorisasi Harun Nasution, Murji’ah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
Doktrin esensial kelompok Murji'ah moderat adalah menganggap Muslim yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka akan dihukum di neraka sesuai kadar dosanya, namun ada kemungkinan Tuhan mengampuni dosanya sehingga langsung masuk surga.
Tokoh-tokoh yang termasuk golongan moderat ini antara lain: al-Hassan Ibn Muhamad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, Abu Yusuf, beberapa ahli hadis, dan yang paling terkenal adalah Imam Abu Hanifah. (Al-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal, 146).
Imam Abu Hanifah mendefinisikan iman sebagai pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan bukan hal yang terbagi seperti iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.” (Al-Baghdadi, Al-Farq bain al-Firaq, 203).
Definisi ini bisa diinterpretasikan bahwa iman semua orang Islam adalah sama, tidak ada perbedaan antara iman pendosa besar dan iman orang yang taat. Meskipun demikian, sulit diterima bahwa Abu Hanifah menganggap amal (perbuatan) tidak penting, mengingat beliau adalah seorang imam mazhab yang dikenal berpegang pada logika dan merupakan ahli fikih yang sangat menghargai amal perbuatan.
Kelompok ini memiliki pandangan yang lebih jauh, yang tidak secara rinci disebutkan dalam teks ini, namun umumnya ditandai dengan penekanan yang lebih ekstrem pada iman tanpa mempertimbangkan amal sebagai bagian dari iman.
Penisbahan Abu Hanifah sebagai salah seorang tokoh Murji’ah kerap menimbulkan kontroversi dan pertanyaan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Al-Syahrastani yang mencatat adanya ulama’ yang tidak menyetujui dimasukkannya Abu Hanifah ke dalam golongan Murji’ah. (Harun Nasution, Teologi Islam, 25).
Demikian halnya dengan Abu Zahrah yang berpandangan bahwa karena tidak adanya kesatuan pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan kaum Murji’ah (ekstrem atau moderat), sebaiknya Abu Hanifah dan imam-imam lainnya janganlah dimasukkan ke dalam golongan Murji’ah.
Tokoh ulama besar Abdul Yazid Abu Zaid al-’Ajami secara tegas menolak keras tuduhan tersebut.. Menurut Al-’Ajami, tuduhan terhadap Abu Hanifah ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu:
1. Tidak adanya definisi irja’ secara spesifik dan adanya berbagai kelompok dengan pandangan berbeda di seputar pelaku dosa besar.
2. Adanya kegemaran sejumlah kelompok dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran tercela dan menolak yang disebut-sebut bersumber dari mayoritas fuqaha’ (ahli fikih).
Al-’Ajami juga menyajikan beberapa alasan yang membenarkan penolakan tuduhan ini, diantaranya diambil dari pernyataan Ghassan yang mengatakan faham irja’ yang dianutnya bersumber dari Abu Hanifah hanyalah kebohongan yang bertujuan menyebarluaskan fahamnya dengan mengaitkannya pada imam terkenal.
Begitu pula dari pernyataan Al-Amidi yang berpendapat bahwa Mu’tazilah di masa awal Islam sering menyebut pihak yang tidak sefaham dengannya sebagai Murji’ah. Hal ini sudah menjadi sebuah tuduhan umum.
Alasan lainnya datang dari penjelasan Ibn Abdil Barr yang memaparkan bahwa Abu Hanifah membuat banyak orang iri hingga hal-hal yang tidak benar dikaitkan dengannya.
Secara substantif, para ulama tersebut berpendapat bahwa penisbahan Abu Hanifah sebagai Murji’ah hanyalah tuduhan dan kebohongan, mengingat posisi beliau sebagai seorang fuqaha yang sangat gigih dalam hal beramal dan mengapresiasi perbuatan. (Abdiha, 2024)
Murji'ah lahir sebagai respons politik yang kemudian berkembang menjadi doktrin teologi yang menekankan penundaan (irja’) hukuman bagi pendosa besar kepada Allah di akhirat, dan memberikan pengharapan bagi mereka untuk diampuni, dengan menempatkan iman sebagai unsur yang lebih esensial daripada amal dalam keselamatan. Walaupun demikian, pemisahan yang jelas antara kelompok moderat dan ekstrem, serta kontroversi seputar tokoh-tokoh besar seperti Imam Abu Hanifah, menunjukkan betapa kompleksnya dinamika teologi Islam di masa-masa awal.
Kisah Murji'ah mengajarkan kita sebuah pelajaran abadi, betapa berbahayanya perpecahan dan betapa mudahnya perdebatan teologis berubah menjadi jurang pemisah. Di tengah sejarah kelam yang diwarnai oleh vonis kafir dan pertumpahan darah, Murji'ah muncul membawa pesan pengharapan dan penundaan penghakiman kepada Sang Pencipta.
Namun, semangat irja' sejati bukanlah hanya tentang menunda hukuman, melainkan tentang menunda kebencian. Saat ini, tantangan kebangkitan Islam bukan hanya perihal perang bersenjata namun perihal ideologi. Lebih baik kita fokus pada hal besar agar kita menjadi kuat dan menyatukan visi kita untuk menjadi umat terdepan.
Marilah kita ambil pelajaran terbaik dari Murji'ah Moderat: menolak mengkafirkan saudara seiman, sambil tetap mencontoh ketegasan fuqaha' seperti Imam Abu Hanifah dalam menghargai amal dan kerja keras. Kebangkitan Islam yang sesungguhnya tidak akan terjadi di tengah saling vonis dan saling hujat. Ia akan bersemi ketika kita, sebagai umat, memilih persatuan dalam prinsip tauhid, menangguhkan penghakiman kepada Allah, dan fokus untuk membangun peradaban yang berlandaskan amal saleh, kasih sayang, dan harapan yang tak pernah padam.
Suasana saat itu benar-benar mencekam. Di tengah hiruk pikuk kebencian politik, muncullah sekelompok orang yang merasa jenuh dan lelah. Mereka tidak ingin memilih salah satunya, apalagi ikut-ikutan menunjuk hidung dan memvonis sesama Muslim sebagai kafir. Kelompok inilah yang dikenal sebagai Murji'ah.
Gerakan mereka dimulai bukan dari teologi, melainkan dari teriakan hati yang ingin mencari kedamaian dan persatuan. Mari kita telusuri bagaimana sikap netral kelompok ini yang akhirnya melahirkan salah satu doktrin teologi paling kontroversial dalam sejarah Islam.
Perpecahan umat Islam di masa lalu bukanlah isu baru. Sama halnya seperti kelompok Khawarij, kemunculan Murji'ah juga berakar kuat dari persoalan politik dan keprihatinan mendalam terhadap skisma (perpecahan) yang melanda.
Pada masa itu, dunia Islam diwarnai oleh permusuhan antara tiga kekuatan politik utama yaitu Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Muawiyah yang selanjutnya mendirikan Dinasti Umawi.
Kelompok Khawarij adalah penentang keras Ali bin Abi Thalib dan kemudian memusuhi Dinasti Umawi karena dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sedangkan Syi’ah merupakan pendukung fanatik Ali. Mereka menentang Dinasti Umawi karena menilai dinasti ini telah merampas kekuasaan yang sah dari Ali dan keturunannya.
Dalam suasana konflik yang memanas, lahirlah sebuah komunitas baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Rasa trauma karena munculnya pertentangan politik di kalangan internal umat muslim yang notabene sebagai kelompok mayoritas menjadikan mereka memiliki rencana untuk mempersatukan kembali perpecahan ini.
Perpecahan umat Islam di masa lalu bukanlah isu baru. Sama halnya seperti kelompok Khawarij, kemunculan Murji'ah juga berakar kuat dari persoalan politik dan keprihatinan mendalam terhadap skisma (perpecahan) yang melanda.
Pada masa itu, dunia Islam diwarnai oleh permusuhan antara tiga kekuatan politik utama yaitu Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Muawiyah yang selanjutnya mendirikan Dinasti Umawi.
Kelompok Khawarij adalah penentang keras Ali bin Abi Thalib dan kemudian memusuhi Dinasti Umawi karena dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sedangkan Syi’ah merupakan pendukung fanatik Ali. Mereka menentang Dinasti Umawi karena menilai dinasti ini telah merampas kekuasaan yang sah dari Ali dan keturunannya.
Murji'ah: Kelompok Netral yang Mendamba Persatuan
Dalam suasana konflik yang memanas, lahirlah sebuah komunitas baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Rasa trauma karena munculnya pertentangan politik di kalangan internal umat muslim yang notabene sebagai kelompok mayoritas menjadikan mereka memiliki rencana untuk mempersatukan kembali perpecahan ini.
Untuk mencapai tujuan ini, mereka mengambil sikap netral. Mereka menolak ikut serta dalam praktik saling mengkafirkan yang dilakukan oleh golongan yang bertikai. Menurut pandangan mereka, para sahabat yang terlibat dalam pertikaian itu adalah orang-orang yang baik dan tidak keluar dari ajaran Islam.
Sikap netral ini diwujudkan dengan sikap diam dan menunda (arja’) penyelesaian persoalan siapa yang benar dan salah dalam pertikaian tersebut ke hari perhitungan di hadapan Tuhan kelak. Dengan kata lain, Murji’ah pada mulanya mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertikai itu kepada Tuhan semata di akhirat. (Ramzan, Rahman, 2024)
Menurut pakar sejarah Islam Azyumardi Azra, perpecahan politik ini menjadi latar belakang penting kemunculan Murji'ah. Pernyataan ini tercantum dalam bukunya yang berjudul pergolakan Politik Islam
Dari ranah politik, Murji’ah segera merambah ke ranah teologi. Pernyataan hukum seorang pendosa besar yang sebelumnya hangat dibahas oleh Khawarij, menjadi fokus pembahasan di kalangan murjiah.
Berbeda dengan Khawarij yang memvonis pendosa besar sebagai kafir, Murji’ah tetap memandang mereka sebagai Mukmin. Berbeda dengan Khawarij yang memvonis pendosa besar sebagai kafir, Murji’ah tetap memandang mereka sebagai mukmin. Pandangan ini diuji dalam studi teologis kontemporer yang menunjukkan bahwa Murji’ah menekankan iman atas perbuatan atau amal.(Ramzan, Rahman, 2024). Penyelesaian perihal dosa besarnya itu, menurut Murji’ah, ditunda (arja’) hingga hari pengadilan akhirat nanti.
Sikap netral ini diwujudkan dengan sikap diam dan menunda (arja’) penyelesaian persoalan siapa yang benar dan salah dalam pertikaian tersebut ke hari perhitungan di hadapan Tuhan kelak. Dengan kata lain, Murji’ah pada mulanya mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertikai itu kepada Tuhan semata di akhirat. (Ramzan, Rahman, 2024)
Menurut pakar sejarah Islam Azyumardi Azra, perpecahan politik ini menjadi latar belakang penting kemunculan Murji'ah. Pernyataan ini tercantum dalam bukunya yang berjudul pergolakan Politik Islam
Hukum Pendosa Besar: Kenapa Murji'ah Berbeda dari Khawarij?
Dari ranah politik, Murji’ah segera merambah ke ranah teologi. Pernyataan hukum seorang pendosa besar yang sebelumnya hangat dibahas oleh Khawarij, menjadi fokus pembahasan di kalangan murjiah.
Berbeda dengan Khawarij yang memvonis pendosa besar sebagai kafir, Murji’ah tetap memandang mereka sebagai Mukmin. Berbeda dengan Khawarij yang memvonis pendosa besar sebagai kafir, Murji’ah tetap memandang mereka sebagai mukmin. Pandangan ini diuji dalam studi teologis kontemporer yang menunjukkan bahwa Murji’ah menekankan iman atas perbuatan atau amal.(Ramzan, Rahman, 2024). Penyelesaian perihal dosa besarnya itu, menurut Murji’ah, ditunda (arja’) hingga hari pengadilan akhirat nanti.
Argumentasi mereka sederhana. Murji'ah menganggap bahwa Muslim yang melakukan dosa besar masih tetap mengakui syahadat yang berbunyi Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir (wahyuni, Santalia, 2024).
Arti Kata Arja’ / Irja’
Kata arja’ atau irja’ yang melandasi nama Murji’ah memiliki dua makna utama, sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani:
1. Penundaan (Irja’ sebagai Penundaan). Makna yang bernuansa politis, karena menunjukkan penangguhan keputusan terhadap orang Muslim yang berdosa besar, termasuk di dalamnya penguasa yang bertikai pada pengadilan di akhirat nanti.
2. Pengharapan (Irja’ sebagai Pengharapan). Makna ini muncul setelahnya dan bernuansa teologis. Orang yang berpendapat bahwa Muslim pendosa besar tetap mukmin dan tidak akan kekal di neraka, memang memberikan pengharapan bagi mereka untuk mendapatkan ampunan dari Allah Azza wa Jalla (Hafiza, Mutrofin, 2023)
Makna kedua ini juga mengimplikasikan bahwa segala perbuatan ditempatkan sebagai unsur sekunder dan bukan esensial dalam struktur iman. Dengan demikian, muncul harapan bagi pelaku dosa besar untuk masuk surga, baik secara langsung maupun setelah menerima hukuman di neraka.
Klasifikasi Murji'ah: Moderat dan Ekstrem
Seiring waktu, Murji’ah terpecah menjadi berbagai sekte kecil. Para ahli mengklasifikasikannya berdasarkan berbagai parameter. Menurut kategorisasi Harun Nasution, Murji’ah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Murji'ah Moderat
Doktrin esensial kelompok Murji'ah moderat adalah menganggap Muslim yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka akan dihukum di neraka sesuai kadar dosanya, namun ada kemungkinan Tuhan mengampuni dosanya sehingga langsung masuk surga.
Tokoh-tokoh yang termasuk golongan moderat ini antara lain: al-Hassan Ibn Muhamad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, Abu Yusuf, beberapa ahli hadis, dan yang paling terkenal adalah Imam Abu Hanifah. (Al-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal, 146).
Imam Abu Hanifah mendefinisikan iman sebagai pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan bukan hal yang terbagi seperti iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.” (Al-Baghdadi, Al-Farq bain al-Firaq, 203).
Definisi ini bisa diinterpretasikan bahwa iman semua orang Islam adalah sama, tidak ada perbedaan antara iman pendosa besar dan iman orang yang taat. Meskipun demikian, sulit diterima bahwa Abu Hanifah menganggap amal (perbuatan) tidak penting, mengingat beliau adalah seorang imam mazhab yang dikenal berpegang pada logika dan merupakan ahli fikih yang sangat menghargai amal perbuatan.
2. Murji'ah Ekstrem
Kelompok ini memiliki pandangan yang lebih jauh, yang tidak secara rinci disebutkan dalam teks ini, namun umumnya ditandai dengan penekanan yang lebih ekstrem pada iman tanpa mempertimbangkan amal sebagai bagian dari iman.
Kontroversi Penisbahan Abu Hanifah sebagai Murji'ah
Penisbahan Abu Hanifah sebagai salah seorang tokoh Murji’ah kerap menimbulkan kontroversi dan pertanyaan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Al-Syahrastani yang mencatat adanya ulama’ yang tidak menyetujui dimasukkannya Abu Hanifah ke dalam golongan Murji’ah. (Harun Nasution, Teologi Islam, 25).
Demikian halnya dengan Abu Zahrah yang berpandangan bahwa karena tidak adanya kesatuan pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan kaum Murji’ah (ekstrem atau moderat), sebaiknya Abu Hanifah dan imam-imam lainnya janganlah dimasukkan ke dalam golongan Murji’ah.
Tokoh ulama besar Abdul Yazid Abu Zaid al-’Ajami secara tegas menolak keras tuduhan tersebut.. Menurut Al-’Ajami, tuduhan terhadap Abu Hanifah ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu:
1. Tidak adanya definisi irja’ secara spesifik dan adanya berbagai kelompok dengan pandangan berbeda di seputar pelaku dosa besar.
2. Adanya kegemaran sejumlah kelompok dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran tercela dan menolak yang disebut-sebut bersumber dari mayoritas fuqaha’ (ahli fikih).
Al-’Ajami juga menyajikan beberapa alasan yang membenarkan penolakan tuduhan ini, diantaranya diambil dari pernyataan Ghassan yang mengatakan faham irja’ yang dianutnya bersumber dari Abu Hanifah hanyalah kebohongan yang bertujuan menyebarluaskan fahamnya dengan mengaitkannya pada imam terkenal.
Begitu pula dari pernyataan Al-Amidi yang berpendapat bahwa Mu’tazilah di masa awal Islam sering menyebut pihak yang tidak sefaham dengannya sebagai Murji’ah. Hal ini sudah menjadi sebuah tuduhan umum.
Alasan lainnya datang dari penjelasan Ibn Abdil Barr yang memaparkan bahwa Abu Hanifah membuat banyak orang iri hingga hal-hal yang tidak benar dikaitkan dengannya.
Secara substantif, para ulama tersebut berpendapat bahwa penisbahan Abu Hanifah sebagai Murji’ah hanyalah tuduhan dan kebohongan, mengingat posisi beliau sebagai seorang fuqaha yang sangat gigih dalam hal beramal dan mengapresiasi perbuatan. (Abdiha, 2024)
Kesimpulan
Murji'ah lahir sebagai respons politik yang kemudian berkembang menjadi doktrin teologi yang menekankan penundaan (irja’) hukuman bagi pendosa besar kepada Allah di akhirat, dan memberikan pengharapan bagi mereka untuk diampuni, dengan menempatkan iman sebagai unsur yang lebih esensial daripada amal dalam keselamatan. Walaupun demikian, pemisahan yang jelas antara kelompok moderat dan ekstrem, serta kontroversi seputar tokoh-tokoh besar seperti Imam Abu Hanifah, menunjukkan betapa kompleksnya dinamika teologi Islam di masa-masa awal.
Belajar dari Sejarah, Merajut Kembali Harapan
Kisah Murji'ah mengajarkan kita sebuah pelajaran abadi, betapa berbahayanya perpecahan dan betapa mudahnya perdebatan teologis berubah menjadi jurang pemisah. Di tengah sejarah kelam yang diwarnai oleh vonis kafir dan pertumpahan darah, Murji'ah muncul membawa pesan pengharapan dan penundaan penghakiman kepada Sang Pencipta.
Namun, semangat irja' sejati bukanlah hanya tentang menunda hukuman, melainkan tentang menunda kebencian. Saat ini, tantangan kebangkitan Islam bukan hanya perihal perang bersenjata namun perihal ideologi. Lebih baik kita fokus pada hal besar agar kita menjadi kuat dan menyatukan visi kita untuk menjadi umat terdepan.
Marilah kita ambil pelajaran terbaik dari Murji'ah Moderat: menolak mengkafirkan saudara seiman, sambil tetap mencontoh ketegasan fuqaha' seperti Imam Abu Hanifah dalam menghargai amal dan kerja keras. Kebangkitan Islam yang sesungguhnya tidak akan terjadi di tengah saling vonis dan saling hujat. Ia akan bersemi ketika kita, sebagai umat, memilih persatuan dalam prinsip tauhid, menangguhkan penghakiman kepada Allah, dan fokus untuk membangun peradaban yang berlandaskan amal saleh, kasih sayang, dan harapan yang tak pernah padam.
Ini adalah warisan sejati yang harus kita bawa menuju masa depan. Semoga Allah senantiasa menyatukan hati kita di atas kebenaran dan amal yang diridai-Nya.
REFERENSI
Hasbi, Muhammad. (2015). Ilmu Kalam: Memotret Berbagai Aliran Teologi dalam Islam. Yogyakarta: Trust Media.
Muthahhari, M. (2002). Mengenal Ilmu Kalam (Cet. I). Pustaka Zahra.
Nasir, H. S. A. (1996). Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ramzan, H. M., & Rahman, M. u. (2024). Theological Issues According to the Murji’ah: An Investigation Study. Al-Mithāq: Research Journal of Islamic Theology, 3(2), 1–10. https://almithaqjournal.org/index.php/home/article/view/144
Abdillah, R. (2024). Aliran Kalam Murji’ah. Maliki Interdisciplinary Journal (MIJ), 2(12), 439–444. https://urj.uin-malang.ac.id/index.php/mij/article/view/8730
Parhan, M., Nuraini, A. S., Harianti, A., Rahman, D. S., Kurniawan, I. H., & Qinthara, M. A. (2024). Sejarah Kemunculan dan Konsep Pemikiran Aliran Murjiah Serta Pengaruhnya pada Masyarakat Islam Zaman Sekarang. IHSANIKA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 49–63. https://doi.org/10.59841/ihsanika.v2i2.1083
Hafiza, J. D., & Mutrofin. (2023). Dampak Murji’ah pada Generasi Terkini. Celestial Law Journal, 1(2), 149–157. https://journal.unsuri.ac.id/index.php/clj/article/view/380
Wahyuni, F., & Santalia, I. (2024). The Background and Core Doctrines of the Khawarij and Murji’ah. Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(1), 256–263. https://jurnal.penerbitdaarulhuda.my.id/index.php/MAJIM/article/view/4628









Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Trimakasih sudah berkunjung ke ruang narasi Inspirasi Nita, semoga artikel yang disuguhkan bisa memberikan manfaat.