Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Senin, 30 September 2024

Hai Super Parents

Yuk, kita berbincang seru lagi tentang permasalahan seputar anak. Kali ini saya ingin mengajak super parents  berdiskusi tentang perkembangan moral anak usia dini. Sharing pengalaman yuk. Kira-kira super parents pernah tidak diberi pertanyaan seperti ini oleh si kecil. 


perkembangan moral anak usia dini



"Kenapa orang dewasa boleh makan permen banyak-banyak, sedangkan aku tidak?"


"Ayah bilang aku harus sabar, tapi kenapa ayah suka marah-marah kalau sedang macet?"


"Kenapa aku tidak boleh marah saat temanku nakal? Padahal aku kan merasa terganggu!"


"Kenapa aku harus salaman sama orang yang nggak aku kenal? aku kan nggak nyaman."

 

"Ibu bilang anak baik tidak boleh berbohong, tapi kennapa ibu suka bilang 'nanti, ya' padahal maksudnya 'enggak' ?"


Pertanyaan unik ini terkadang membuat kita tersenyum sendiri atau malah takjub dan bahkan bingung untuk memberikan jawaban yang bijak kepada ananda.Tentu saja kita harus berpikir bagaimana cara menyampaikan jawaban yang pas agar mengena di hati si kecil tanpa harus melukai hatinya. Masih ada lagi pertanyaan unik yang ditanyakan oleh ananda yang pernah super parents dapatkan? Share ya di kolom komen.


Konon, dikutip dari pendapat para ahli berhasil atau tidaknya moral baik yang terbentuk pada diri ananda  sangat bergantung pada bagaimana cara super parents bersikap dan memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ananda hadapi. 


Pertanyaan-pertanyaan tersebut menandakan bahwa pemikiran ananda tentang sebuah nilai moral sangatlah beragam. Apa yang mereka lakukan biasanya merupakan hasil capture dari pola asuh yang didapatkan dari orang tua atau orang-orang di lingkungan terdekat ananda. 


Ananda akan terbiasa dengan aturan yang dibuat dalam keluarga tersebut, dan akan sangat membekas pada perilaku dan pola pikirnya. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Montessori seorang dokter neurologi yang memiliki perhatian terhadap pendidikan anak usia dini bahwa pikiran anak-anak seperti spons, sangat mudah menyerap, atau terkenal dengan istilah absorbent mind. Pikiran menyerap ananda akan mudah terbentuk dari keteraturan yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekat mereka yaitu keluarga.


Mereka harus banyak bertanya agar mudah memaknai segala peristiwa yang mereka alami. Pikiran dan pengetahuan mereka masih sangat sederhana. Keterbatasan anak dalam berpikir mendorong anak untuk banyak melakukan eksplorasi agar mampu memaknai kejadian di sekitarnya. Peran orang dewasa sangat penting dan akan sangat berpengaruh pada proses perkembangan moral anak.



Anak usia dini, sesuai dengan tahap perkembangan mereka, mulai menunjukkan kesadaran akan pentingnya mematuhi aturan, kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah, serta kemampuan untuk menunjukkan empati kepada orang lain. Mereka juga mulai merasakan rasa bersalah dan menunjukkan ketidaknyamanan saat melanggar peraturan, baik saat melakukannya maupun setelahnya (Kochanska & Aksan, 2006).


Untuk itu apapun permasalahan dan rasa ingin tahu yang mereka sampaikan kepada kita selaku pendidik maupun orang tua kuncinya adalah kesabaran,  kejujuran, ketulusan, dan sikap toleransi, karena hakikat toleransi adalah konsep hidup di mana kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.


Nah, super parents, sedari tadi kita sudah menyinggung banyak istilah tentang perkembangan moral anak.  Perlu juga kiranya kita pahami apa rti dari moral itu sendiri. Moral  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti akhlak dan tingkah laku yang susila. Moral sendiri sering dikaitkan dengan permasalahan etika yang merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai perilaku manusia.

Setelah kita paham makna dari kata moral, perlu sekali sebagai orang tua dan pendidik memahami tahapan perkembangan moral anak, agar kita bisa lebih memahami watak dan perilaku sesuai dengan usianya.

Bagaimana tahapan perkembangan tingkah laku  susila dari seorang anak usia dini sesuai dengan pendapat dan pandangan para ahli? Lanjut yuk kita perdalam pengetahuan kita tentang hal ini.


Tahapan Perkembangan Moral Anak Usia Dini



Seorang pakar psikologi perkembangan anak Fawzia Aswin Hadis memaparkan bahwasannya setiap anak yang baru dilahirkan tidak memiliki hati nurani atau skala nilai. Untuk itu mereka dianggap sebagai sosok yang amoral atau non moral. Peran orang dewasa di sekitar anak sangat menentukan perkembangan moral seorang anak. Dalam artian akhlak moral seseorang ketika dewasa sangat ditentukan dari peran andil orang dewasa serta lingkungan sekitarnya. 

Ketinggian akhlak yang dimiliki oleh seorang manusia menandakan kemuliaan dirinya di atas makhluk lain. Ini yang membuat perbedaan antara manusia dengan hewan. Fawzia juga menambahkan, mengembangkan moral anak memiliki arti bahwa kita sedang berupaya membentuk moral dan perilaku anak agar sesuai dengan keinginan dan harapan lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu seseorang dibentuk karakternya bukan saja dalam rangka memenuhi standar sosial yang ada di lingkungannya namun mengarahkan anak agar mampu secara sadar melakukan hal susila tanpa paksaan dan pengawasan. Diharapkan mereka secara sadar mampu melakukan hal yang diinginkan oleh standar sosial di tempat mereka tinggal. 

Lalu bagaimana tahap perkembangan moral anak menurut para pakar? Yuk, sama-sama kita telusuri.

Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget


Bapak Piaget memiliki ide menarik tentang bagaimana anak-anak belajar perihal baik dan buruk. Menurutnya, perkembangan moral anak itu seperti anak tangga, memiliki tahapannya.

1. Tahap Heteronomous (sekitar umur 4-7 tahun)

Di tahap ini, anak-anak masih memiliki pola pikir "yes-man" terhadap aturan. Mereka menganggap aturan itu sakral, tidak boleh dilanggar. Pikiran mereka masih hitam-putih. Maksudnya bagaimana?

Menurut anak usia 4-7 tahun, aturan itu datangnya dari orang dewasa atau figur otoritas, jadi harus dipatuhi. Mereka belum bisa membedakan niat baik dan konsekuensi. Contohnya, bagi mereka, memecahkan 10 gelas karena kecelakaan dan tidak disengaja lebih parah daripada secara sengaja memecahkan 1 gelas. Hukuman dianggap otomatis mengikuti pelanggaran yang dibuat. Seperti halnya "kalau nakal, pasti dihukum".

Contoh yang lain lagi Jika ada aturan untuk anak usia dini agar tidak boleh berlari di jalan bebatuan, maka ketika ada temannya yang terjatuh di depannya maka sang anak akan mempertahankan dirinya untuk tetap tidak berlari. Dalam benak anak usia dini aturan tetap aturan.

2. Tahap Autonomous (mulai umur 7-11 tahun)


Di tahap ini, anak mulai lebih fleksibel dalam berpikir tentang konsep sebuah aturan. Mereka udah mulai ngerti bahwa aturan itu bisa diubah kalo semua setuju. Pola pikirnya sudah lebih kompleks. Mereka mulai mengerti tentang konsep keadilan dan bisa melihat dari sudut pandang orang lain.
Anak usia ini juga sudah bisa membedakan antara niat dan konsekuensi. 

Anak sudah bisa mempertimbangkan niat di balik tindakan seseorang. Contohnya, jika ada teman yang tidak sengaja menjatuhkan dan merusak proyek kelompok, mereka cenderung lebih memaafkan dibandingkan jika ada yang sengaja merusaknya karena iri. Pada tahap ini anak mulai paham bahwa hukuman tidak selalu harus ada, seandainya ada pun, harus sesuai dengan pelanggarannya.

Piaget mengatakan bahwa anak-anak berkembang dari tahap pertama ke tahap kedua seiring bertambahnya pengalaman mereka berinteraksi dengan teman sebayanya. Ketika bermain bersama, mereka belajar bernegosiasi, membuat aturan sendiri, dan mulai memahami arti pentingnya kerja sama.

Namun yang harus diingat meski Piaget membagi tahapan perkembangan moral pada anak, kita harus tetap memiliki prinsip bahwa setiap anak itu unik, ada anak yang memiliki tahapan perkembangan melampaui umur seharusnya, atau sebaliknya belum sesuai standar.

Intinya, menurut Piaget, moral anak itu berkembang dari "aturan itu mutlak" ke "aturan itu bisa dibicarakan dan disesuaikan". untuk itu penting sekali buat kita sebagai orang dewasa memberikan contoh yang baik dan membantu anak-anak belajar berpikir kritis tentang persoalan baik dan buruk.

Tahapan Perkembangan Moral Menurut Kohlberg


1. Level 1: Moralitas Prakonvensional (Usia 2-7 tahun)

Anak pada tahap ini melihat baik-buruknya suatu perilaku berdasarkan hukuman atau hadiah. Mereka belum sepenuhnya memahami alasan di balik aturan atau nilai moral.

Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan

Contoh: Seorang anak berumur 3 tahun sedang bermain bersama di sebuah ruangan. Dia melihat ada mainan dan menginginkannya. Namun, ia teringat ucapan ibunya bahwa jika ia mengambil barang milik orang lain tanpa izin, ia akan dihukum. Maka, anak tersebut mengurungkan niatnya bukan karena ia tahu mencuri itu salah, tetapi karena ia takut dimarahi atau dihukum.

Tahap 2: Orientasi Kepentingan Pribadi

Contoh: Seorang anak usia 6 tahun ingin berbagi coklat dengan temannya, ia percaya bahwa temannya nanti akan berbagi mainan yang ia sukai. Jadi, keinginannya berbagi bukan didasari oleh niat baik, tetapi karena mengharapkan imbalan yang lain.


2. Level II: Moralitas Konvensional (Usia 7-11 tahun)


Pada Level ini, anak mulai menaati aturan karena ingin diterima oleh lingkungan atau ingin dianggap sebagai anak yang baik. Mereka mulai memiliki kesadaran tentang peran sosial.

Tahap 3: Orientasi Anak Baik

Contoh: Andi berusia 8 tahun di sekolah melihat sampah di lantai. Ia memungut sampah tersebut dan membuangnya di tempat sampah bukan karena ia memahami pentingnya menjaga kebersihan, tetapi karena ia ingin dianggap sebagai anak baik oleh gurunya.

Tahap 4: Orientasi Hukum dan Ketertiban

Contoh: Salsa berusia 10 tahun di rumah sedang bermain dengan adiknya. Ketika adiknya ingin menonton TV pada jam belajar, Salsa berkata, “Peraturan di rumah kita kita tidak boleh menonton TV saat jam belajar, adik.” Ini menunjukkan Salsa mulai memahami bahwa peraturan itu ada untuk menjaga keteraturan dalam keluarga.

3. Level III: Moralitas Pascakonvensional (Remaja Awal dan Dewasa)


Biasanya, anak usia dini belum mencapai tahap ini. Pemahaman moralitas pascakonvensional lebih berkembang pada usia remaja dan dewasa karena memerlukan pemikiran abstrak dan kemampuan refleksi diri.

Tahap 5: Orientasi Kontrak Sosial

Contoh untuk Remaja Awal: Wawan berusia 14 tahun menolak merokok di sekolah, meski teman-temannya melakukan hal itu. Wawan memiliki prinsip Tidak akan mau merokok karena paham bahwa merokok tidak baik untuk Kesehatan.

Tahap 6: Prinsip Etika Universal
 
Fathur mendapatkan dua tawaran pekerjaan, yang satu gajinya besar tetapi di perusahaan rokok, sedangkan yang lainnya gajinya biasa saja tetapi di yayasan pendidikan anak. Fathur bingung, soalnya lagi butuh duit untuk membayar utang. Dia berpikir dan teringat, "Hm... bukankah aku dari dulu ingin sekali menjadi guru. Masa iya kerja di tempat yang tidak sesuai passion?" Akhirnya dia menjatuhkan pilihan kerja di yayasan, meski gajinya lebih kecil. Buat Fathur, mengejar passion dan membantu anak-anak lebih penting daripada sekedar mendapat uang yang banyak.

Intinya, pemaparan Kohlberg tentang perkembangan moral adalah bermula dari kita tumbuh dari hanya memikirkan diri sendiri, kemudian menjadi peduli dengan aturan dan penerimaan sosial, sampai akhirnya pola pikir lebih meningkat lebih dalam pada soal etika dan keadilan yang lebih luas. 

Namun perlu diingat bahwa tidak semua orang akan sampai pada level terakhir. Banyak yang 'mandek' di level dua, dan itu normal-normal saja. Teori ini menjelaskan kenapa orang bisa punya pandangan moral yang beda-beda. 

Pendapat Kohlberg ini tidak semua mendapat pandangn yang positif, ada kalangan yang memberikan kritik tajam untuk teorinya,  karena dianggap terlalu fokus pada cara berpikir Barat dan kurang mempertimbangkan perbedaan budaya. Jadi, intinya, moral kita berkembang seiring waktu. Dari cuma takut dihukum, sampai akhirnya bisa memikirkan prinsip-prinsip yang lebih besar dari sekedar aturan. 

Tahapan Perkembangan Moral menurut Thomas Lickona



Bagi orang-orang yang memiliki perhatian terhadap perkembangan karakter anak, nama Thomas Lickona sudah tidak asing lagi didengar. Julukan bapak karakter dunia tersemat pada namanya. Kenapa? Karena beliaulah yang merumuskan bahwa ada tiga komponen penting dalam membentuk moral pada anak, yaitu anak harus memiliki pengetahuan moral dengan baik, anak harus memiliki keinginan secara sadar untuk melakukannya dan akhirnya anak benar-benar secara sadar melakukannya. 

Rumusan ini terkenal dengan konsep "moral knowing, moral feeling dan moral action." Secara mudah kita bisa memberikan istilah “Pikir, Rasa, dan Aksi.” Sangat mudah dicerna bukan? MAri kita jabarkan tahapannya agar mendapatkain pemahaman lebih lanjut.


1. Pikir (Moral Knowing)


Konsep ini berkaitan dengan persoalan bagaimana cara menanamkan pengetahuan pada anak tentang mana hal yang benar dan mana hal yang salah. Anak dibuat paham akan sebuah nilai baik. Bagaimana penerapannya? Berikut ini contoh kegiatan yang bisa diterapkan pada anak.

Membuat "Pohon Aturan" di kelas. Bisa dengan cara menggambar pohon besar di karton. Ajak anak-anak membuat aturan kelas bersama-sama. Tulis aturannya di daun-daun kertas, bisa dilengkapi dengan gambar ilustrasi biar anak lebih paham, tempel di pohon. Ketika ada yang bertanya "Kenapa kita tidak boleh memukul?" Kita orang dewasa atau pendidik hendaknya menjelaskan dengan Bahasa yang mudah dipahami anak dan tentu saja harus sabar.

2. Rasa (Moral Feeling)


Nah, pada bagian ini, kita harus mampu menanamkan pada anak bahwa bebrbuat baik itu penting dan mengembangkan anak menjadi sosok yang memiliki hati nurani. Bagaimana aplikasinya? Misalnya kitab isa membuat "Kotak Perasaan". Sediakan kotak dengan gambar ekspresi wajah (senang, sedih, marah, takut). Setiap hari ajak anak untuk memasukan stick es krim ke kotak yang cocok dengan perasaan mereka. Buka forum diskusi, lakukan ngobrol bareng. "Kenapa kamu sedih? Gimana rasanya kalo ada yang bantuin kamu?" Bla…blaa…blaa…Lakukan diskusi dengan sabar dan selipkan nilai-nilai baik yang menggugah perasaan anak.

3. Aksi (Moral Action)


Setelah diberi pemahaman, disentuh hatinya maka pada tahapan terakhir yaitu aksi atau moral action anak diharapkan sudah masuk pada tahap mau melakukan secara sukarela hal-hal baik, entah itu dalam konsep berbagi, memberi pertolongan atau hal positif lainnya. Bagaimanna caranya? Pendidik atau orang tua bisa membuat kegiatan "Tantangan Kebaikan Harian", caranya dengan membuat daftar kebaikan sederhana, seperti "membantu teman merapihkan mainan" atau "mengucapkan terima kasih". Setiap pagi, anak-anak bisa diajukan pilihan sebuah tantangan. Siang harinya, bercerita tentang bagaimana mereka melakukan tantangan tersebut.

Kesimpulan


Dari pemaparan di atas kita mendapatkan gambaran bahwa tahapan perkembangan moral anak usia dini yang telah dijelaskan oleh piaget masuk dalam tahap heterenomous, yaitu masa di mana anak masih menilai segala hal dalam wujud yang saklek. Pikirannya masih hitam putih. Aturan itu adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh dilanggar.

Sedangkan Kohlberg menjelaskan bahwa tahapan perkembangan moral anak usia dini  berada dalam tahap  prakonvensional. Anak pada tahap ini melihat baik-buruknya suatu perilaku berdasarkan hukuman atau hadiah. Mereka belum sepenuhnya memahami alasan di balik aturan atau nilai moral.

Sementara Thomas Lickona merumuskan tahapan perkembangan moral anak usia dini pada tiga komponen penting dalam membentuk moral  anak, yaitu anak harus memiliki pengetahuan moral dengan baik, anak harus memiliki keinginan secara sadar untuk melakukannya dan akhirnya anak benar-benar secara sadar melakukannya. 


Dari ketiga pemaparan para ahli tentang perkembangan moral anak, sebagai pendidik kita bisa melakukan  pengembangan moral melalui nilai sebagai berikut:

1) konsekuensi yang jelas, misalnya: Jika anak tidak membereskan mainan, ia tidak mendapatkan waktu bermain tambahan. Tujuan utamanya adalah membentuk kebiasaan yang nantinya berkembang menjadi pemahaman moral.

2) Modeling atau memberikan contoh perilaku baik. Misalnya: Anak-anak di usia dini sering meniru apa yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh. Jika mereka melihat orang tua berbagi makanan dengan tetangga, mereka akan lebih mudah memahami konsep berbagi tanpa pamrih.

3) Menggunakan cerita dan dongeng yang mengandung unsur nilai kebaikan, Misalnya: Membacakan cerita tentang karakter yang jujur dan membantu temannya, lalu mendiskusikan perasaan karakter tersebut. Ini membantu mereka memahami nilai moral dengan cara yang lebih konkret.

Tahap perkembangan moral anak membutuhkan waktu, pengulangan, dan pemahaman yang disesuaikan dengan usianya. pendekatan terbaik bukanlah "membiarkan saja" atau "meluruskan secara langsung", melainkan membimbing dengan sabar dan bertahap. Kita membantu anak-anak membangun pemahaman moral yang lebih kompleks seiring waktu, sambil tetap menghargai tahap perkembangan mereka saat ini.

Sebagai pendidik kita harus mendukung dan mengupayakan perkembangan alami anak menuju pemahaman moral yang lebih matang, tanpa memaksa mereka melompati tahapan penting dalam proses belajar mereka. MAri kita sama-sama belajar menjadi orang dewasa dan pendidik yang mampu memfasilitasi kebutuhan anak secara bijak dan menyenangkan. Salam pengasuhan.

Menggali Mutiara dalam Diri Anak Melalui Kegiatan Mendongeng

Kamis, 26 September 2024

Hai, SuperParents!

Siap-siap ya, kita mau ngobrol seru nih! Duduk yang nyaman, ambil secangkir kopi atau teh favorit kalian, karena kita akan membahas sesuatu yang bikin mata anak-anak berbinar dan hati kita meleleh: yup, kegiatan bercerita!

Ingat nggak sih, saat terakhir kali kalian membacakan dongeng dan si kecil menatap dengan penuh takjub? Atau mungkin saat mereka tertawa terbahak-bahak mendengar suara-suara lucu yang super parents buat? Nah, momen-momen ajaib seperti itulah yang akan kita bahas hari ini.

Jadi, siapkan imajinasi kalian, karena kita akan menjelajahi dunia penuh keajaiban yang tercipta setiap kali kita membuka buku cerita atau mulai mendongeng. Dari "Pada zaman dahulu kala..." hingga "...dan mereka hidup bahagia selamanya", kita akan mengupas mengapa kegiatan sederhana ini bisa jadi sangat istimewa.
Super parents perlu ketahui bahwa di balik momen-momen manis itu, ada sesuatu yang ajaib sedang terjadi dalam otak mereka yang mungil.
Penasaran? Yuk, kita mulai petualangan kita di negeri dongeng! Siapa tahu, setelah ini super parents akan jadi pendongeng handal yang bikin anak-anak ketagihan cerita. Ready? Let's go!

manfaat mendongeng bagi anak

Jika sebuah cerita atau dongeng diibaratkan sebuah kunci, dia merupakan kunci ajaib yang bisa membuka banyak pintu yang berisi wawasan dan pengetahuan. Setiap kata yang parents ucapkan, setiap karakter yang digambarkan, seolah-olah menciptakan dunia baru dalam imajinasi ananda. 

"Pada zaman dahulu kala..." dan boom! 


Tiba-tiba si kecil sudah terbang ke negeri antah berantah, bertemu naga, atau mungkin menjadi superhero cilik! Mereka membayangkan seolah-olah mereka berperan sebagai tokoh yang ada dalam buku cerita dongeng yang mereka dengar.

Banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan oleh si kecil dari kegiatan bercerita atau mendongeng ini. Saat si kecil asyik mendengarkan, tanpa sadar mereka sedang mengumpulkan "harta karun" berupa kosakata baru. Banyak pertanyaan yang berseliweran dalam benak mereka tentang apa yang mereka peroleh dari isi buku yang diceritakan oleh para orang dewasa. 

"Wah, apa itu 'perkasa'?" tanya mereka penasaran. "Apa itu hening?" "Apa itu malam mencekam?" Sebuah kata yang memang masih terasa asing di telinga anak berusia 4 tahun atau umumnya anak-anak yang masih dalam usia dini. Melalui momen inilah, sedikit demi sedikit, mereka memperkaya bahasa mereka. 


Alam bawah sadar mereka merekam banyak momen, yang nantinya akan menjadi ledakan yang sangat luar biasa, hal ini mampu membuat orang tuanya terkejut dan terpana ketika sang buah hati tiba-tiba mampu memaparkan peristiwa dengan gamlang dan dengan bahasa yang terstruktur! Semua itu dampak yang diperoleh dari momen bercerita yang dibawakan oleh para orang dewasa kepada anak-anaknya.


Kegiatan bercerita atau mendongeng ibarat "pembelajaran terselubung". Banyak pelajaran yang didapat dari sebuah cerita. Saat tokoh utama dalam dongeng belajar untuk berbagi atau meminta maaf, si kecil pun diam-diam menyerap nilai-nilai itu. Mereka belajar tentang kebaikan, keberanian, dan persahabatan tanpa merasa sedang "diceramahi". Luar biasa, kan?


Apakah super parents pernah beranggapan bahwa cerita bukan hanya sangat berpengaruh untuk anak-anak? Saat super parents memeluk si kecil dan mulai bercerita, ada ikatan spesial yang terjalin. Momen-momen seperti ini yang akan dikenang si kecil sampai mereka besar nanti. Dan mereka akan sangat berterima kasih karena memiliki orang tua seperti anda.

Kegiatan bercerita juga bisa menjadi "vitamin" untuk otak si kecil. Mereka belajar fokus, mengingat detail, dan bahkan memecahkan masalah. 


"Hmm, kalau aku jadi Cinderella, aku akan pakai sepatu karet biar nggak hilang!" Nah, imajinasi yang kreatif, bukan?


Wow, siapa sangka ya? Ternyata cerita itu bukan cuma hiburan, tapi juga "suplemen multivitamin" buat tumbuh kembang si kecil! Yup, betul sekali!

Coba super parents bayangkan, setiap kali kita bercerita, kita sebenarnya sedang menyalakan kembang api di otak si kecil. Keren kan? Tiap 'dor' nya itu menstimulasi berbagai aspek perkembangan mereka. Apa saja nih, yuk kita ungkap apa saja keajaibannya:

1. Nilai agama dan moral: Cerita kita bisa jadi 'guru spiritual' yang seru lho! Lewat kisah-kisah inspiratif, si kecil belajar tentang baik dan buruk tanpa merasa digurui.

2. Kognitif: Tiap alur cerita itu seperti gym buat otak mereka. Makin rumit plotnya, makin terbentuk deh otak si kecil!

3. Psikomotorik: Lho, kok bisa? Iya dong! Coba deh ajak si kecil menirukan gerakan tokoh cerita. Dijamin, motorik halus dan kasarnya ikut terlatih!

4. Seni: Setiap deskripsi dalam cerita itu seperti melukis dalam imajinasi mereka. Siapa tahu, besok-besok ada Picasso cilik di rumah!

5. Kemampuan berbahasa: Nah, ini nih yang paling kentara. Makin banyak cerita, makin kaya perbendaharaan kata si kecil. Bisa jadi calon penyair nih!

6. Sosialisasi dan pengendalian emosi: Lewat karakter dalam cerita, si kecil belajar berempati dan mengelola emosi. Jadi, pas ketemu teman baru, rasa percaya diri mereka mulai tumbuh dan siap berteman!

Bercerita atau mendongeng ini memiliki seni. Seni bercerita perlu kita perhatikan agar apa yang kita harapkan dalam upaya mengembangkan kemampuan ananda bisa terealisir secara optimal. Ayo ... ayo kita anjut lagi diskusinya.


Pengertian Seni Bercerita atau Mendongeng


Dalam cerita ada beberapa kaidah yang harus kita perhatikan. Hal ini akan kita bahas bersama pada tulisan selanjutnya. Sekarang mari kita berdiskusi tentang makna dari seni bercerita. Apa makna dari seni bercerita? 


Makna Seni


Arti kata seni sebagaimana yang sudah saya paparkan pada artikel mengenal konsep seni, bahwasannya dikutip dari buku Pekerti DKK, pengertian seni diterjemahkan dari berbagai kata dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Itali seni dikenal dengan istilah I’arte. Bahasa Prancis menyebut seni dengan l’art. Penyebutan el arte digunakan dalam bahasa Spanyol. 

Sedangkan dalam bahasa Inggris seni memiliki istilah "art". Semua istilah tersebut diambil dari bahasa Roma atau populernya dikenal dengan bahasa Latin ars yang berarti keterampilan, keahlian dan ketangkasan. Sedangkan orang yang memiliki keahlian disebut sebagai artes (Pekerti, 2018:1.5).

Nah, bagaimana tentang kata 'Seni' dalam bahasa Indonesia? Asal-usul kata 'seni' itu ternyata cukup menarik lho! Konon, kata ini berasal dari bahasa Sansekerta, tepatnya dari kata 'sani'. Nah, 'sani' ini punya banyak arti, mulai dari 'pemujaan', 'pelayanan', sampai 'donasi'. Bahkan bisa juga berarti 'permintaan' atau 'pencarian yang dilakukan dengan hormat dan jujur'. Menarik ya?


Tapi tunggu dulu, ada lagi nih! Seni juga bisa disebut 'cilpa'. Kata ini punya dua makna: bisa berarti 'berwarna' kalau dipakai sebagai kata sifat, atau 'pewarna' kalau jadi kata benda. Nah, lama-kelamaan, 'cilpa' ini berkembang jadi 'cilpacastra'. Apa itu? Menurut pak Soedarso dalam bukunya yang terbit tahun 1988, 'cilpacastra' ini mencakup segala macam kekriyaan yang artistik. Maksudnya adalah bahwa setiap hasil karya tangan memiliki nilai seni!

Jadi, dari 'pemujaan' sampai 'pewarnaan', ternyata konsep seni sudah ada sejak zaman dahulu kala dan terus berkembang sampai sekarang. Ternyata penuh sejarah ya?

Jadi, jika kita tarik kesimpulan seni  bisa diartikan menjadi beberapa makna seperti ini:

  1. seni itu adalah karya seni itu sendiri. Jadi, lukisan, patung, atau lagu yang keren-keren itu, ya itulah seni!
  2. Kedua, seni bisa juga berarti kemahiran atau keahlian. Misalnya, kemampuan seseorang dalam melukis atau menyanyi yang bikin kita terkagum-kagum.
  3. Ketiga, ada juga yang melihat seni sebagai kegiatan manusia. Jadi, proses berkreasi itu sendiri sudah bisa disebut seni.

Nah, dalam konteks obrolan kita kali ini, kita lebih fokus ke pengertian seni sebagai kemahiran atau keahlian nih. Kenapa? Karena kita sedang membicarakan tentang seni bercerita kan?

Jika kita hendak mengikuti pemikiran Aristoteles (yup, filsuf Yunani yang terkenal itu!), seni itu adalah kemampuan untuk membuat sesuatu dengan tujuan tertentu. Tentu saja tujuan yang disusun secara sistematis berdasarkan logika atau gagasan yang matang.

Jadi, kalau kita aplikasikan ke seni bercerita, bisa dikatakan bahwa kemampuan kita untuk menyampaikan cerita dengan cara yang menarik, menghibur, dan punya tujuan (misalnya untuk mengajarkan nilai moral), itulah yang disebut seni bercerita!

Banyak pelajaran bukan? Ternyata di balik kegiatan bercerita yang sepertinya sederhana, ada konsep seni yang dalam. Jadi, ketika kita bercerita untuk si kecil, perlu dipahami bahwa kita sebenarnya sedang mempraktekkan seni nih!


Makna Bercerita


Dunia cerita itu ternyata tidak sesederhana yang kita kira! Cerita menyimpan banyak makna. Apa makna dari bercerita itu sendiri? Menurut KBBI, cerita itu bisa tentang kejadian yang sesungguhnya terjadi atau hanya karangan saja. 

Menurut Ibu Riris K. Toha-Sarumpaet (2002), seorang ahli sastra anak memaparkan bahwa cerita itu lebih dari sekadar dari sebuah definisi kaku. Cerita merupakan bagian dari hidup kita, dan tidak bisa dipisahin begitu saja.

Dalam pelaksanaan kegiatan bercerita sangat erat kaitannya dengan kerja sistem otak, untuk itu dalam pelaksanaan kegiatan bercerita  otak kita itu layaknya mesin pembuat cerita! Bu Riris (2002) menjelaskan bahwa para ahli mengatakan otak manusia merupakan alat narasi yang jago banget bikin cerita." Untuk itu pantas saja jika kita lebih gampang ingat dengan sebuah cerita daripada penjelasan teori dari sebuah fakta yang seringkali pemaparannya membuat mata kita mengantuk.

Bu Nurbiana Dhieni (2008), ahli pendidikan anak di Indonesia memaparkan bahwa bercerita itu merupakan kegiatan menyampaikan pesan atau info kepada orang lain dengan cara yang sangat seru. seolah-olah  setiap kata yang kita ucapka layaknya kuas yang menari ngelukis di imajinasi pendengarnya. Menakjubkan.


Nah, terkadang kita dibingungkan dengan istilah dongeng dengan cerita. Agar tidak bingung ada baiknya kita dengarkan pemaparan dari Pak Heru Kurniawan Santoso (2008), seorang peneliti sastra anak, beliau menjelaskan bahwa dongeng berasal dari sastra Melayu lama, sementara cerita lebih ke sastra Indonesia modern.

Sementara Bu Mira Roysa (2013), seorang pendidik menambahkan bahwasannya dongeng titik tekannya  lebih kepada berupa  khayalan, sedangkan cerita bisa diambil dari  kejadian sehari-hari. Bisa diartikan bahwa dongeng merupakan sebuah cerita namun  cerita belum tentu sebuah dongeng.

Meskipun antara cerita dan dongeng memiliki perbedaan yang substansial, namun keduanya memiliki kesamaan di dalam teknik menyampaikan, sama-sama diperlukan kemahiran. Kemahiran apa saja yang diperlukan dalam kegiatan bercerita dan mendongeng? untuk pemaparan lengkapnya kita lanjutkan pada pembahasan berikutnya, ya.

Pengaruh Kegiatan Bercerita atau Mendongeng pada Anak USia Dini dalam Kajian Literatur Para Peneliti


Yuk kita simak beberapa cerita menarik dari teman-teman yang telah melakukan penelitian terhadap hasil kegiatan bercerita atau mendongeng yang dilakukan bersama anak usia dini di beberapa Taman kanak-kanak.

Penelitian N Sardi

N. Sardi dan teman-temannya memulai sebuah eksperimen ajaib di TK Kunti II Dalung. Mereka membagi anak-anak menjadi dua kelompok: satu kelompok mendengarkan dongeng, satu lagi belajar seperti biasa. Tebak apa yang terjadi? Anak-anak yang mendengarkan dongeng tiba-tiba jadi lebih komunikatif dan lebih terbuka dalam menyampaikan pikiran kepada guru atau pun temannya. Hal ini terlihat dalam beberapa aspek:

  1. Anak yang belajar dengan teknik bercerita dongeng menunjukkan kemampuan berbahasa yang lebih baik. Terdapat perbedaan signifikan dibandingkan dengan anak yang belajar dengan teknik konvensional
  2. Teknik bercerita dongeng meningkatkan motivasi belajar anak. Motivasi anak yang belajar dengan dongeng lebih tinggi dibanding teknik konvensional.
  3. Terdapat perbedaan positif secara bersamaan pada kemampuan berbahasa dan motivasi. Anak yang belajar dengan teknik bercerita dongeng menunjukkan peningkatan dalam kedua aspek ini.

Artinya ini adalah sebuah hal yang sangat positif dalam perkembangan bahasa apada anak. Ternyata dengan metode bercerita atau mendongeng mereka lebih semangat dalam belajar. Ternyata bercerita dan mendongeng benar-benar bisa menjadi penyemangat dan suplemen otak yang sangat manjur.

Penelitian Luh Putu


Nah, di tempat lain, Luh Putu Ayu Sumartini punya ide brilian. Dia menggunakan dongeng interaktif di TK Kuncup Harapan. Efeknya luar biasa sekali, anak-anak yang tadinya susah diatur, perlahan-lahan berubah. Mereka jadi rajin berdoa. Menjadi terbiasa bermain bersama tanpa pilih-pilih teman. Karakternya makin terbentuk dengan baik terutama karakter sopan santun.  Seolah-olah dongeng itu punya kekuatan magis untuk mengubah perilaku!

Penelitian Septyani Windi 



Sementara itu, Septyani Windi Utami menemukan rahasia kecil di PAUD Sariharjo. Ternyata, kegiatan yang disertai dengan media gambar bisa menjadi kunci ajaib untuk membuka jendela kemampuan bahasa anak-anak di rentang usia 3-5 tahun. Jadi, kalau anak-anak kita masih cadel, mungkin sudah saatnya kita menjadi ilustrator dadakan!


Penelitian Eva Nur Izzah


Eva Nur Izza punya cerita yang nggak kalah seru. Di TK Dharma Wanita, dia melihat bagaimana dongeng bisa jadi guru emosi yang handal. Dari kesadaran diri sampai kemampuan memecahkan masalah, semuanya bisa dilatih lewat dongeng. 

Dia menemukan kalau dongeng itu bukan cuma cerita biasa, tapi layaknya penakluk untuk emosi anak-anak. Coba deh kita intip hasil temuannya:

1. Ranah Intrapribadi: Ini seperti "ngaca" buat diri sendiri. Dongeng bisa bikin anak-anak lebih sadar diri, berani mengunkapkan apa yang mereka mau (asertif), menjadi pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, dan bisa jadi diri sendiri dengan versi terbaik sang anak.

2. Ranah Antarpribadi: Nah, ini soal gimana anak-anak bergaul. Ternyata, dongeng bisa bikin mereka lebih empati, ngerti tanggung jawab ke orang lain, dan jago bergaul.

3. Ranah Penyesuaian Diri: Ini kayak kemampuan "adaptasi" gitu. Anak-anak jadi lebih ngerti realita, bisa fleksibel, dan jago mecahin masalah. Keren kan?

4. Ranah Pengendalian Stress: Siapa bilang anak kecil nggak stress? Dongeng ternyata bisa bikin mereka lebih tahan banting dan bisa nahan diri. Jadi kayak punya "tameng" gitu deh!

5. Ranah Suasana Hati: Yang ini paling seru! Dongeng bisa bikin anak-anak jadi lebih optimis dan happy. Siapa sih yang nggak mau anak-anaknya ceria terus?

Penelitian Eka Cahya


Terakhir, Eka Cahya Maulidiyah membagikan tips jitu dari TK Al-Hikmah. Dalam penelitian dia menjelaskan keterkaitan antara mendongeng dengan kemampuan matematika anak. Mau anak jago matematika? Coba dongeng 7-15 menit, menggunakan kata-kata yang mudah, intonasi yang pas, dan kalau bisa, tambahkan sedikit "sihir" dengan alat peraga yang menarik. Siapa tahu, Einstein cilik akan lahir dari sana!

Nah, teman-teman, itulah kisah-kisah ajaib dari dunia cerita dan dongeng. Ternyata, di balik "Pada zaman dahulu kala..." ada kekuatan besar yang bisa mengubah masa depan anak-anak kita. Jadi, sudah siap untuk jadi penyihir cerita di rumah? Yuk, mulai petualangan cerita kita hari ini!

Biarkan suaramu menjadi pesawat ajaib yang membawa si kecil terbang ke dunia penuh wawasan. Siapa tahu, dari sana akan lahir penulis hebat, pemimpin bijak, atau mungkin... pendongeng cilik yang akan meneruskan tradisi ini ke generasi selanjutnya.

Gimana? Seru kan dunia cerita itu? Yuk, mulai dari sekarang, bikin setiap hari-hari kita menjadi cerita yang menarik! Ingat, setiap "Dongeng selesai..." adalah awal dari petualangan baru dalam tumbuh kembang si kecil. 

Custom Post Signature

Custom Post  Signature
Educating, Parenting and Life Style Blogger