Menggali Akar Teologi Islam: Apa Itu Ilmu Kalam, Sejarah, dan Relevansinya Hari Ini

Selasa, 18 November 2025

ruang lingkup ilmu kalam



Hakikat Ilmu Kalam


Secara harfiah atau etimologis Kalam berarti perkataan atau percakapan. Namun, dalam tradisi keilmuan Islam, ia jauh lebih dalam dari sekadar ucapan sehari-hari. Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang fundamental, sering disebut sebagai jantung akidah, karena fungsinya adalah membahas dan menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (Islam) dengan bukti-bukti yang kokoh dan meyakinkan.

Jika kita buat pengibaratan bahwa Ilmu Kalam sebagai "Pengacara Akidah" kita, maka Ilmu Kalam adalah sebagai pembela keyakinan kita di pengadilan logika. Ia tidak hanya mengatakan "Saya percaya," tetapi juga menyediakan bukti, saksi, dan argumentasi filosofis mengapa keyakinan itu benar.

Para ulama secara terminologis mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang membicarakan tentang Wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang pasti ada (wajib), mustahil ada (mustahil), dan mungkin ada (jaiz). Selain itu, ia membahas tentang kebenaran kerasulan dan sifat-sifat para Rasul. Singkatnya, Ilmu Kalam bertugas menyediakan argumentasi rasional untuk membela akidah dan menolak keraguan.


Nama Lain Ilmu Kalam Beserta Makna 


Sesuai dengan fokus kajiannya, Ilmu Kalam dikenal dengan beberapa sebutan yang biasa lazim menyertainya, yaitu:

  1. Ilmu Tauhid: ILmu Kalam dalam kajian Ilmu Tauhid lebih menekankan pada esensi pokoknya, yaitu membahas tentang keesaan Allah, baik Esa dalam pembahasan dalam makna Zat, Sifat, maupun perbuatan.
  2. Ilmu Ushuluddin: Disebut Ilmu Ushuluddin karena ia membicarakan tentang pokok-pokok atau prinsip dasar agama.
  3. Ilmu Akidah (Aqa'id): Dasar ini merujuk pada simpul-simpul atau ikatan kepercayaan yang diyakini (Al-Jazairi, t.t.).
  4. Teologia Dialektis/Rasional: Disebut sebagai Teologi Dialektis, karena metode pembahasannya yang mengedepankan logika dan nalar atau aqliyah dari pada  dalil tekstual atau naqliyah.

Ilmu ini dinamakan “Kalam” karena salah satu persoalan terpenting yang menjadi perdebatan sengit di masa awal kedatangan Islam adalah status dari kitab Al-Qur'an yang disebut juga Kalamullah. Dan menjadi sebuah pertanyaan besar  apakah ia Qadim atau kekal atau Hadis yang mengandung makna makhluk atau ciptaan. 

Saking besarnya permasalahan ini mengakibatkan seluruh ilmu yang dikaji disebut sebagai Ilmu Kalam atau berdasarkan objek utama dari topik perdebatan tersebut.


Sejarah Munculnya Pemikiran Kalam


Ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, melainkan baru muncul dan berkembang pesat pada masa Bani Abbasiyah, terutama di bawah Khalifah al-Ma'mun (813-833 M).


JIka diibaratkan dengan ilmu keislaman, akidah itu sudah ada sejak zaman Nabi, dan diobaratkan seperti pondasi rumah. Tapi Ilmu Kalam berfungsi sebagai alat untuk menganalisis pondasi dari sebuah rumah tersebut. Ilmu kalam disebut juga fiqh al-akbar karena muncul ketika sebuah hukum dalam Islam terdapat pertentangan dan konflik di dalamnya. 


1. Faktor Internal (Konflik Politik dan Tekstual)


Konflik Politik atau fitnah kubra yang terjadi pada saat itu berupa peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, menjadi pemicu perpecahan umat dan peperangan yang dikenal dengan Perang Jamal dan Perang Shiffin. Hal ini menimbulkan isu teologis besar yang menjadi dasar penilaian terhadap pelaku dosa besar.


Pertanyaan Inti yang Muncul yang berawal dari peristiwa besar ini membuat pertanyaan besar di kalangan muslim bahwa apakah seorang Muslim yang berbuat dosa besar seperti membunuh Khalifah yang sah masih dianggap Mukmin?


Pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab teologi awal seperti Khawarij yang memiliki makna mengkafirkan, Murji'ah yang memiliki pemahaman menangguhkan penilaian atau mengajak untuk jangan terburu-buru melakukan penilaian terhadap pemikiran yang ada, biarlah Allah yang maha adil yang memberikan keputusan, pembahasan lebih lengkapnya akan kita kaji pada artikel selanjutnya.  Jabariyah yang berpendapta bahwa semua ketentuan berasal dari Tuhan, dan Qadariyah yang memiliki pemahaman bahwa manusia bebas berkehendak atau kehendak manusia memiliki ketentuan lebih besar dari penentuan jalan hidupnya.


Selain itu munculnya Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh Nas-Nas Al-Qur'an yang dirasa saling bertentangan atau kontradiktif  seperti misalnya mengenai konsep takdir dan kehendak bebas, hal ini  mendorong para ulama untuk mencari pemahaman filosofis yang mendalam.


Hal ini yang melatarbelakangi untuk menemukan titik tengah yang bisa menjaga keadilan Allah sekaligus mempertahankan kemahakuasaan-Nya. Untuk itu para ulama yang memiliki latar belakang pemikiran berbeda seperti Mu'tazilah dan Asy'ariyah berinisiatif untuk menyusun argumentasi logis (Kalam) yang sistematis.

2. Faktor Eksternal atau Pengaruh Intelektual Asing


Adanya asimilasi budaya menyebabkan banyaknya para pemeluk Islam baru yang sebelumnya beragama lain yaitu Yahudi, Nasrani, dan lainnya membawa pemikiran teologis berdasarkan latar  belakang yang berbeda sesuai dengan apa yang dipahami oleh mereka.


Sehingga harus ada pembelaan akidah agar tetap dipahami secara murni. HAl ini menjadi hal yang harus segera dipikirkan dan dibenahi agar ada pencerahan dalam pemahaman akidah. Ini menjadi kebutuhan mendesak untuk membantah kritikan dan serangan dari musuh-musuh Islam yang menggunakan senjata filsafat dan logika. 


Untuk mengimbangi lawan-lawannya, kaum Mutakallimin (ahli Kalam), khususnya Mu'tazilah, terpaksa mempelajari filsafat dan logika Yunani (Ibnu Khaldun dalam Nasir, 1996) sebagai senjata untuk mempertahankan akidah yang menjadi landasan mereka.


Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Kalam 



Kajian Ilmu Kalam, secara praktis, terbagi menjadi tiga fokus utama (Qismul) yang mencakup seluruh spektrum Rukun Iman. Pembagian ini memudahkan para teolog untuk menyusun argumentasi yang sistematis dan menyeluruh. 3 fokus utama tersebut diantaranya adalah:

1. Qismul Ilahiyat (Fokus pada Konsep Ke-Tuhanan)


Pilar ini merupakan fondasi utama, karena membahas segala sesuatu tentang Allah SWT yaitu Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya berupa pertanyaan Inti  "Siapa Tuhan itu, dan bagaimana Dia bertindak?"

Fokus pembahasan kajian adalah berupaya untuk membuktikan eksistensi Allah secara rasional (aqliyah) dan merinci sifat-sifat-Nya yang wajib (pasti ada), mustahil (tidak mungkin ada), dan jaiz (mungkin atau boleh dilakukan).

Perdebatan paling terkenal tentang permasalahan ini adalah mengenai sifat-sifat Allah yang sekilas menyerupai makhluk (Tasybih), seperti Tangan Allah atau Bersemayam di Arsy. Aliran seperti Asy'ariyah dan Mu'tazilah berselisih tentang apakah sifat ini harus diartikan secara harfiah atau ditafsirkan (ta'wil) agar tidak merusak konsep keesaan Allah. Selain itu, debat tentang Takdir atau Jabr dengan kehendak bebas atau ikhtiyar juga termasuk dalam pilar ini, karena berkaitan erat dengan Iradat atau kehendak dan Qudrah atau kekuasaanAllah.


2. Qismul Nubuwiyah (Fokus pada Komunikasi)


Pilar ini bergeser dari Dzat Tuhan menuju hubungan dan komunikasi antara Tuhan sang Khaliq dengan ciptaan-Nya atau makhluk-Nya

Pertanyaan yang biasanya terlontarkan berupa, "Bagaimana Tuhan menyampaikan pesan-Nya, dan bagaimana kita tahu pesan itu asli?"

Pilar ini membahas semua perantara pesan, yaitu Nabi, Rasul, dan Malaikat, serta segala hal yang menjadi media komunikasi itu sendiri atau istilah lainnya dengan cara bagaimana wahyu itu tersamoaikan. Ilmu Kalam bertugas memberikan argumentasi rasional untuk menetapkan kebenaran dan kejujuran para utusan, khususnya melalui pembahasan mukjizat yang membuktikan bahwa mereka benar-benar mendapat mandat dari Tuhan.

Contohnya Ilmu Kalam merumuskan sifat-sifat wajib bagi Rasul, seperti Siddiq / Jujur, Amanah / Dapat Dipercaya dan membahas mekanisme turunnya Wahyu. Tanpa pilar ini, keyakinan terhadap Syariat atau hukum yang dibawa oleh para Rasul  akan kehilangan legitimasinya.


3. Qismul Al-Sam’iyat (Fokus pada Kabar Gaib)


Pilar terakhir ini mencakup semua hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal dan panca indera di dunia ini, melainkan harus diimani berdasarkan informasi yang terdengar atau sam'iyat yang datang dari Wahyu berupa Al-Qur'an dan Hadis. Sepert pertanyaan yang berkaitan dengan, "Apa yang terjadi setelah kehidupan ini, dan bagaimana wujud alam gaib?"

Untuk itu pembahasan utama dalam pilar ini adalah tentang alam akhirat. Ilmu Kalam di sini tidak berupaya membuktikan hal-hal gaib ini dari nol, melainkan memberikan argumentasi logis bahwa hal-hal gaib tersebut mungkin terjadi, dan meyakinkan bahwa sumber informasinya (Wahyu) adalah benar.

Perdebatan yang terjadi dalam permasalahan ini biasanya perdebatan sengit tantang hakikat Kebangkitan atau Ba'ats, keadaan di alam kubur, Surga, Neraka, hingga Hari Perhitungan. Meskipun sumbernya adalah teks, Ilmu Kalam berupaya meyakinkan akal bahwa Kemahakuasaan Tuhan mampu mewujudkan semua itu, bahkan apa yang tidak mungkin bagi manusia bagi Allah merupakan hal yang mudah dan sangat mungkin, misalnya kemampuan Allah untuk membangkitkan tulang belulang yang telah hancur menjadi utuh kembali.

Dengan membagi kajian menjadi tiga pilar ini, Ilmu Kalam berhasil memberikan kerangka logis yang kokoh untuk membela dan memperkuat seluruh aspek keyakinan dalam Rukun Iman.

Hubungan Ilmu Kalam dengan Kajian Ilmu Lainnya Sebagai Fondasi Agama


Ilmu Kalam tidak berdiri sendiri. Ia adalah fondasi spiritual dan rasional yang menghubungkan disiplin ilmu keislaman lainnya. Ilmu Kalam memiliki hubungan yang erat, namun juga memiliki perbedaan dengan disiplin ilmu keislaman lainnya. Mari kita bahas satu persatu hubungan ilmu kalam dengan beberapa kajian ilmu lain yang diataranya yaitu:


1. Ilmu Kalam dengan Filsafat Islam


Hubungan Ilmu Kalam dan Filsafat Islam seringkali diperdebatkan karena keduanya sama-sama menggunakan akal rasio sebagai metode pembuktian. Obyek kajian Ilmu Kalam lebih condong pada konsep dasar ketuhanan yaitu Allah SWT, sifat-sifat-Nya, dan hubungannya dengan alam yang berada di bawah syariat-Nya. 

Sementara obyek Filsafat Islam lebih luas, meliputi alam, manusia, dan perenungan tentang prinsip wujud serta penyebabnya. Misalnya seperti upaya Aristoteles dalam membuktikan Sebab Pertama, yaitu yang diterjemahkan dari istilah Yunani, Prima Causa yang artinya rantai sebab akibat atau Unmoved Mover yang artinya Penggerak yang tak menggerakkan.

Filsafat Aristoteles menjabarkan bahwa konsep Sebab Pertama dicapai melalui logika, observasi alam, dan akal tanpa mengacu pada kitab suci. lmu Kalam menyambut baik konsep ini. Mereka melihat "Sebab Pertama" versi Aristoteles sebagai konfirmasi rasional terhadap konsep Allah Tuhan Yang Maha Esa dalam Islam, yang merupakan Pencipta dan Sumber Wujud Mutlak.

Jadi, penjelasan Aristoteles dimaknai Ilmu Kalam sebagai upaya filosofis untuk membuktikan Tuhan menggunakan akal murni dan dijadikan sebagai salah satu dalil rasional mereka. Filsafat sering dianggap sebagai pembuktian intelektual yang lebih bebas, sedangkan Ilmu Kalam adalah ilmu keagamaan yang menggunakan rasio untuk membela akidah dan tunduk pada syariat (Al-Ahwani). Meskipun demikian, aliran-aliran teologi Islam semuanya memakai akal dalam menyelesaikan persoalan, yang membedakannya hanyalah derajat kekuatan yang diberikan kepada akal tersebut.


2. Ilmu Kalam dengan Ilmu Tasawuf


Ilmu Kalam dan Tasawuf layaknya seperti dua sisi uang koin. Kalam adalah sisi rasional yang mengupas tuntas teori, sedangkan Tasawuf adalah sisi rohaniah atau praktik.

Ilmu Kalam membahas persoalan teologis dengan argumentasi rasional (aqliyah) dan tekstual (naqliyah), misalnya menerangkan bahwa Allah memiliki sifat Sama’, Bashar, dan Qudrah. Namun, pembahasan ini sering terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah, sedangkan fungsi Ilmu Tasawuf menyempurnakan maknanya agar lebih menyentuh, untuk itu ilmu tasawuf dinobatkan sebagai penyempurna Ilmu Kalam. Mengapa Ilmu Tasawuf dikatakan sebagai penyempurna Ilmu Kalam? Hal ini berdasarkan 2 alasan ini, yaitu:

Pemberi Wawasan Spiritual
. Hal ini memiliki arti bahwa Tasawuf memberikan penghayatan mendalam lewat hati terhadap ilmu Kalam. Hal ini menjadikan ilmu Kalam lebih bisa dipahami dan dihayati serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemberi Kesadaran Rohaniah. Hal ini memiliki makna bahwa Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah pada perdebatan Kalam, sehingga Ilmu Kalam tidak hanya menjadi dialektika keislaman yang kering dari sentuhan hati, tetapi juga menjadi jalan praktis untuk merasakan keyakinan dan ketenteraman.

Jika diibaratkan sebuah rumah, Ilmu Tasawuf dipahami sebagai interior dan dekorasi yang ada di dalamnya, sebagai bentuk perumpamaan dari aspek batiniah atau rohaniah.


Tasawuf memastikan bahwa ketaatan Fiqh dilakukan dengan hati yang ikhlas, bukan sekadar gerakan fisik. Tasawuf memberikan pemaknaan tentang bagaimana kita merasakan kehadiran Tuhan dalam sebuah ketaatan.

Ilmu Kalam (keyakinan) adalah dasar moral yang mendorong ketaatan pada Fiqh (aturan hukum). Sementara Tasawuf menyempurnakan keduanya dengan memberikan kesadaran rohaniah agar akidah tidak kering dan amalan tidak hanya bersifat lahiriah.

3. Ilmu Kalam dengan Syariat, Fiqh, dan Ushul Fiqih


Dalam Islam, Ilmu Kalam jika diibaratkan sebuah bangunan rumah memiliki peran sebagai dasar atau fondasi, untuk itu Ilmu Kalam pun berkedudukan sebagai Fondasi bagi Syariat Islam, Fiqih atau pemahaman mendalam tentang sebuah hukum.

Ilmu Syariat, Fiqh dan Ushul Fiqh diibaratkan sebagai dinding serta atap dari sebuah bangunan rumah atau Struktur Lahiriah, yang memiliki fungsi menyediakan aturan praktis mengenai ibadah dan muamalah seperti menjelaskan tentang tata cara shalat, puasa, jual beli dan lainnya.
 
Kalam dipahami sebagai dasar moral yaitu Akidah (Kalam) yang merupakan pokok dan pendorong bagi Syariat. Syariat tanpa Ilmu Kalam diibaratkan bangunan yang tergantung tanpa sandaran kekuatan moral yang dapat menginspirasi ketaatan. Syariat menjadi jawaban dan sambutan dari panggilan jiwa yang ditimbulkan karena adanya akidah yang kuat.

Secara kajian Fiqh, Abu Hanifah membagi hukum Islam menjadi Fiqih Al-Akbar atau keyakinan yang kajiannya ada dalam pembahasan  Ilmu Kalam/Tauhid dan Fiqih Al-Asghar yang terdiri dari cabang agama, yaitu Fiqih ibadah dan muamalah. Ini menunjukkan bahwa Kalam membahas soal-soal pokok atau dasar yang menjadi pondasi agama, sementara Fiqh membahas soal furu’ atau cabang dengan tinjauan yang lebih detail.

Peran Akal atau Ushul Fiqih sangat diperlukan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat hukum melalui ijtihad yang penjabarannya tentu saja menggunakan akal dan prinsip kelogisan (misalnya dalam menentukan illat pada qiyas). Ini sejalan dengan Ilmu Kalam, di mana perbedaan madzhab fiqih juga dipengaruhi oleh perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan akal dalam menginterpretasikan teks.


4. Ilmu Kalam dengan Al-Qur’an, Tauhid, dan Ushuluddin


Hubungan Ilmu Kalam dengan Al-Qur’an adalah  Al-Qur’an merupakan sumber utama Ilmu Kalam. Banyak ayat (misalnya QS. Al-Ikhlas) yang menyinggung hal-hal berkaitan dengan ketuhanan yang berkaitan dengan Zat, Sifat, Asma, dan Perbuatan. Ilmu Kalam berfungsi menyistematisasikan dan merincikan penjelasan yang bersifat umum dalam Al-Qur'an dan Hadits melalui penalaran rasional untuk mempertahankan akidah.

Hubungan dengan Tauhid dan Ushuluddin karena ketiganya memiliki  istilah yang saling berkaitan dan sering dipertukarkan. Ilmu Kalam membahas keesaan Allah atau Tauhid, dan karena ia membahas pokok-pokok agama yaitu rukun Iman yang enam, maka ia juga disebut Ilmu Ushuluddin. Ilmu Kalam adalah nama yang populer karena menggunakan metode logika atau mantiq, yang secara etimologi bersinonim dengan Kalam.

Kesimpulan


Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang sangat vital dan tak tergantikan bagi setiap Muslim. Ia melampaui sekadar ritual atau hukum praktis, ia adalah jantung teologi dialektis Islam yang memberikan kedalaman intelektual pada keyakinan.


Fungsi utamanya adalah memperkuat dan mempertahankan akidah dengan landasan rasional yang kokoh, menjadikannya benteng pertahanan dari segala bentuk keraguan filosofis, ateisme, atau penyimpangan teologis yang marak di era modern.

Ilmu Kalam memungkinkan seorang Muslim untuk menghubungkan akal (rasionalitas) dengan hati (spiritualitas). Akal digunakan untuk memverifikasi kebenaran Allah dan Rasul-Nya, sedangkan hasil keyakinan tersebut kemudian dihayati dan diterapkan dalam bentuk Syariat (Hukum) dan dimurnikan melalui Tasawuf (Spiritualitas). Dengan demikian, Ilmu Kalam menjadi fondasi utama yang menyokong seluruh bangunan keislaman.



Referensi


Hasbi, Muhammad. (2015). Ilmu Kalam: Memotret Berbagai Aliran Teologi dalam Islam. Yogyakarta: Trust Media.

Muthahhari, M. (2002). Mengenal Ilmu Kalam (Cet. I). Pustaka Zahra.

Nasir, H. S. A. (1996). Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




Be First to Post Comment !
Posting Komentar

Trimakasih sudah berkunjung ke ruang narasi Inspirasi Nita, semoga artikel yang disuguhkan bisa memberikan manfaat.

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Custom Post Signature

Custom Post  Signature
Educating, Parenting and Life Style Blogger