Memahami Ilmu Kalam atau istilah lainnya Teologi Islam bukan hanya menghafal nama-nama aliran, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana menyelami kerangka berpikir dan metode pengambilan keputusan para ulama dalam menentukan hukum di dalamnya.
Sebelum masuk ke metode, penting sekali kita mengetahui bahwa perbedaan dalam teologi adalah hal yang wajar dan alamiyah. Para ulama seperti Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi dan Imam Munawir menyoroti aspek Subyek atau kapasitas dan kredibilitas ulama sebagai pemicu. Sementara itu, Umar Sulaiman Asy-Syaqar menekankan aspek Obyek persoalan yang dikaji mencakup persoalan keyakinan (Akidah), persoalan syari’ah (Hukum) dan persoalan politik.
Perbedaan kajian inilah yang kemudian melahirkan dua kategori besar dalam metodologi berpikir: yang terbagi menjadi metodologi berpikir rasional dan metodologi tradisional. Lalu bagaimana kerangka berpikir utama rasional dan tradisional? Mari kita coba kaji!
Metode ini sangat mengedepankan peran akal dalam memahami teks agama. Aliran yang paling terkenal menganut kerangka ini adalah Mu'tazilah. Prinsip utama yang dipegang pada metode ini adalah fokus pada dalil Qath'iyyah yaitu hanya berpegang teguh pada dogma-dogma yang secara jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka cenderung menolak interpretasi yang bersifat dzonni atau perkiraan jika bertentangan dengan akal.
Kebebasan manusia atau diistilahkan juga dengan Free Will, memberikan daya yang sangat kuat kepada akal dan memberikan kebebasan penuh kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat. Manusia dianggap pencipta perbuatannya sendiri.
Metode ini, yang dianut oleh aliran seperti Asy'ariyah, lebih mengutamakan teks dan wahyu, serta membatasi peran akal agar tidak melampaui batas yang ditetapkan agama. Prinsip utama dalam metode berpikir tradisional memiliki kecenderungan setia pada dogma dan teks dzonni atau teks yang bisa mengandung arti selain arti harfiah.
Metode tradisional juga membatasi peran akal karena fungsi akal hanya membenarkan wahyu buan mendahuluinya. Untuk itu tidak memberikan kebebasan penuh kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat, karena segala sesuatu kembali pada kehendak mutlak Allah Swt.
Memahami kerangka berpikir ini adalah kunci untuk memecahkan misteri di balik perbedaan teologis. Aliran-aliran ini pada dasarnya hanya berbeda cara dalam menimbang bobot antara Akal dan Wahyu sebagai sumber kebenaran.
Selain pembagian Rasional dan Tradisional, Ilmu Kalam juga dikategorikan berdasarkan cara aliran-aliran tersebut melihat hubungan antara Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta. Pengkategorian ini, seperti yang disoroti oleh Fazlur Rahman Anshari, menghasilkan empat istilah unik yang mencerminkan kerangka berpikir masing-masing aliran yang diantaranya yaitu:
Istilah Antroposentris diartikan sebagai aliran berpikir yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Aliran ini melihat hakikat Realitas Transenden atau sifat Tuhan bersifat intrakosmos atau di dalam kosmos dan impersonal, yang artinya kekuatan Tuhan telah tersemat dalam diri manusia sejak lahir.
Inti pemikiran dalam aliran antroposentris memusatkan manusia sebagai pemilik daya mutlak untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. Keselamatan atau kerugian yang terjadi di dunia dan diri manusia itu sendiri sepenuhnya merupakan kuasa manusia, tanpa campur tangan Realitas Transenden atau Tuhan. Penganut pemikiran ini bersifat dinamis karena percaya pada kebebasan mutlak dalam berbuat.
Aliran teologi yang termasuk dalam pemikiran antroposentris adalah aliran Qodariyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Fazlur Rahman Anshari berpendapat bahwa ia mengaitkan pandangan ini dengan sufi yang dianggap statis, Anshari mengakui bahwa manusia Antroposentris sesungguhnya sangat dinamis karena percaya pada kekuatan yang menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan.
Kebalikan dari Antroposentris adalah Teosentris. Aliran ini menempatkan Tuhan sebagai pusat dan penguasa mutlak atau istilahnya disebut supra kosmos dan personal. Tuhan adalah pencipta yang Mahakuasa dan dapat berbuat apa saja, bahkan memasukkan orang jahat ke surga atau orang taat ke neraka.
Dalam paham aliran ini manusia bersifat statis dan tidak memiliki kekuatan sama sekali. Manusia tidak mempunyai pilihan, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Segala perbuatan manusia hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. perbuatan manusia ketika dia berbuat baik atau jahat berasal dari kekuatan dari Tuhan. Untuk itu aliran ini menetapkan dalam kepasrahan mutlak (fatalisme) yang menghilangkan pilihan manusia.
Aliran Teologi yang termasuk dalam aliran ini diantarnya Jabariyah.
Aliran Sintesis mencoba menjembatani dua ekstrim di atas dengan melihat Realitas Transenden atau ke-Tuhanan bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan impersonal. Hakikat alam dan manusia adalah tajalli atau cerminan dari asma dan sifat-sifat Tuhan.
Inti pemikiran aliran ini memaparkan bahwa perbuatan manusia adalah hasil kerja sama yang seimbang dan harmonis antara kekuatan transendental atau Tuhan dalam bentuk kebijaksanaan dan kekuatan temporal atau manusia dalam bentuk teknis dan usaha.
Aliran pemikiran ini mengusung prinsip keseimbangan. Tujuan para penganut aliran konvergensi adalah menjaga keseimbangan. Manusia adalah sekutu Tuhan, dan makhluk adalah sekutu Penciptanya.
MAksud dari Insijam al-azali adalah segala sesuatu di alam semesta termasuk manusia, alam, kebaikan, dan kejahatan pada dasarnya adalah cerminan dari sifat-sifat Tuhan. Meskipun hal-hal ini tampak saling bertentangan misalnya, Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai makhluk, Ibnu Arabi mengatakan bahwa sejak awal (azali), Tuhan telah menetapkan sebuah keharmonisan secara sempurna (insijam).
Ini berarti segala dualitas dan keragaman di dunia ini sebenarnya sudah direncanakan dan terpadu dalam satu kesatuan Ilahi yang tidak terpisahkan. Baik kehendak Tuhan yang mutlak maupun usaha terbatas manusia, keduanya bergerak dalam alur yang sudah ditetapkan dan harmonis, dalam tatanan alam semesta yang sudah diatur dengan sangat rapi sejak dahulu kala.
Ini berarti segala dualitas dan keragaman di dunia hakikatnya sudah direncanakan dan terpadu dalam satu kesatuan Ilahi. Semuanya bergerak dalam alur yang sudah ditetapkan dan harmonis, seolah-olah itu adalah sebuah rencana besar kehidupan yang sudah serasi sejak awal mula.
Aliran nihilisme mewakili pandangan yang paling ekstrem dalam menolak konsep teologi tradisional. Inti pemikiran nihilisme menjelaskan tentang hakikat realitas Transenden atau kekuatan Tuhan yang mutlak hanyalah ilusi.
Kita harus memahami cara mereka merumjuskan sebuah hukum. Mengapa mereka berbeda pendapat? Bagaimana cara mereka menggunakan akal dan wahyu? Inilah inti dari apa yang kita sebut sebagai perbedaan metodologi berpikir dalam Ilmu Kalam.
Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Teologi?
Sebelum masuk ke metode, penting sekali kita mengetahui bahwa perbedaan dalam teologi adalah hal yang wajar dan alamiyah. Para ulama seperti Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi dan Imam Munawir menyoroti aspek Subyek atau kapasitas dan kredibilitas ulama sebagai pemicu. Sementara itu, Umar Sulaiman Asy-Syaqar menekankan aspek Obyek persoalan yang dikaji mencakup persoalan keyakinan (Akidah), persoalan syari’ah (Hukum) dan persoalan politik.
Perbedaan kajian inilah yang kemudian melahirkan dua kategori besar dalam metodologi berpikir: yang terbagi menjadi metodologi berpikir rasional dan metodologi tradisional. Lalu bagaimana kerangka berpikir utama rasional dan tradisional? Mari kita coba kaji!
Antara Akal dan Wahyu: Dua Kutub Metode Berpikir dalam Ilmu Kalam
Memahami aliran-aliran teologi Islam yang dikenal juga sebagai Ilmu Kalam pada dasarnya adalah memahami cara mereka menimbang dua sumber kebenaran fundamental yaitu berdasarkan akal atau Rasionalitas dan Wahyu atau Teks Suci yang lebih cenderung ke metode tradisional.
Secara garis besar, polarisasi dalam Ilmu Kalam menghasilkan dua kutub metodologi berpikir yang sangat kontras, yang menentukan arah dan hasil kesimpulan mereka terhadap isu-isu keilahian, keadilan Tuhan, dan kebebasan manusia. Kedua kutub tersebut adalah Metode Berpikir Rasional dan Metode Berpikir Tradisional.
Kutub ini bukan sekadar perbedaan interpretasi, melainkan perbedaan mendasar dalam prioritas epistemologis atau cara memperoleh dan memvalidasi pengetahuan. Di satu sisi, ada kelompok yang meletakkan akal sebagai hakim tertinggi (Rasional), sementara di sisi lain, ada kelompok yang menjadikan teks wahyu sebagai otoritas tak tergugat (Tradisional).
Polaritas inilah yang menjadi kunci untuk membuka pemahaman mengapa aliran seperti Mu'tazilah dan Asy'ariyah dapat sampai pada kesimpulan yang begitu berlawanan mengenai isu takdir dan kehendak bebas. Mari kita selami lebih lanjut prinsip-prinsip spesifik dari masing-masing metode ini.
1. Metode Berpikir Rasional (Kelompok Liberal)
Kebebasan manusia atau diistilahkan juga dengan Free Will, memberikan daya yang sangat kuat kepada akal dan memberikan kebebasan penuh kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat. Manusia dianggap pencipta perbuatannya sendiri.
2. Metode Berpikir Tradisional (Kelompok Konservatif)
Metode ini, yang dianut oleh aliran seperti Asy'ariyah, lebih mengutamakan teks dan wahyu, serta membatasi peran akal agar tidak melampaui batas yang ditetapkan agama. Prinsip utama dalam metode berpikir tradisional memiliki kecenderungan setia pada dogma dan teks dzonni atau teks yang bisa mengandung arti selain arti harfiah.
Metode tradisional juga membatasi peran akal karena fungsi akal hanya membenarkan wahyu buan mendahuluinya. Untuk itu tidak memberikan kebebasan penuh kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat, karena segala sesuatu kembali pada kehendak mutlak Allah Swt.
Memahami kerangka berpikir ini adalah kunci untuk memecahkan misteri di balik perbedaan teologis. Aliran-aliran ini pada dasarnya hanya berbeda cara dalam menimbang bobot antara Akal dan Wahyu sebagai sumber kebenaran.
Tuhan Sebagai Pusat atau Manusia Sebagai Pusat? Menguak Istilah Filosofis dalam Teologi Islam
Selain pembagian Rasional dan Tradisional, Ilmu Kalam juga dikategorikan berdasarkan cara aliran-aliran tersebut melihat hubungan antara Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta. Pengkategorian ini, seperti yang disoroti oleh Fazlur Rahman Anshari, menghasilkan empat istilah unik yang mencerminkan kerangka berpikir masing-masing aliran yang diantaranya yaitu:
1. Aliran Antroposentris (Manusia Sebagai Pusat Kekuatan)
Istilah Antroposentris diartikan sebagai aliran berpikir yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Aliran ini melihat hakikat Realitas Transenden atau sifat Tuhan bersifat intrakosmos atau di dalam kosmos dan impersonal, yang artinya kekuatan Tuhan telah tersemat dalam diri manusia sejak lahir.
Inti pemikiran dalam aliran antroposentris memusatkan manusia sebagai pemilik daya mutlak untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. Keselamatan atau kerugian yang terjadi di dunia dan diri manusia itu sendiri sepenuhnya merupakan kuasa manusia, tanpa campur tangan Realitas Transenden atau Tuhan. Penganut pemikiran ini bersifat dinamis karena percaya pada kebebasan mutlak dalam berbuat.
Aliran teologi yang termasuk dalam pemikiran antroposentris adalah aliran Qodariyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Fazlur Rahman Anshari berpendapat bahwa ia mengaitkan pandangan ini dengan sufi yang dianggap statis, Anshari mengakui bahwa manusia Antroposentris sesungguhnya sangat dinamis karena percaya pada kekuatan yang menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan.
2. Aliran Teosentris (Tuhan Sebagai Pusat Mutlak)
Kebalikan dari Antroposentris adalah Teosentris. Aliran ini menempatkan Tuhan sebagai pusat dan penguasa mutlak atau istilahnya disebut supra kosmos dan personal. Tuhan adalah pencipta yang Mahakuasa dan dapat berbuat apa saja, bahkan memasukkan orang jahat ke surga atau orang taat ke neraka.
Dalam paham aliran ini manusia bersifat statis dan tidak memiliki kekuatan sama sekali. Manusia tidak mempunyai pilihan, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Segala perbuatan manusia hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. perbuatan manusia ketika dia berbuat baik atau jahat berasal dari kekuatan dari Tuhan. Untuk itu aliran ini menetapkan dalam kepasrahan mutlak (fatalisme) yang menghilangkan pilihan manusia.
Aliran Teologi yang termasuk dalam aliran ini diantarnya Jabariyah.
3. Aliran Konvergensi atau Sintesis (Harmoni Antara Keduanya)
Aliran Sintesis mencoba menjembatani dua ekstrim di atas dengan melihat Realitas Transenden atau ke-Tuhanan bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan impersonal. Hakikat alam dan manusia adalah tajalli atau cerminan dari asma dan sifat-sifat Tuhan.
Inti pemikiran aliran ini memaparkan bahwa perbuatan manusia adalah hasil kerja sama yang seimbang dan harmonis antara kekuatan transendental atau Tuhan dalam bentuk kebijaksanaan dan kekuatan temporal atau manusia dalam bentuk teknis dan usaha.
Aliran pemikiran ini mengusung prinsip keseimbangan. Tujuan para penganut aliran konvergensi adalah menjaga keseimbangan. Manusia adalah sekutu Tuhan, dan makhluk adalah sekutu Penciptanya.
Meskipun Tuhan telah menetapkan dan menciptakan segalanya (Determinisme Sakral), manusia diberi kemampuan dan kebebasan untuk memilih dan mengupayakan perbuatan tersebut (Kebebasan Profan). Kita berusaha memilih jalan, tetapi Tuhan-lah yang memberikan daya dan menciptakan perwujudan dari pilihan tersebut. Dengan kata lain, manusia bertanggung jawab atas usahanya (kasb), namun realisasi akhir tetap dalam genggaman dan ketetapan Tuhan.
Aliran teologi pemikiran konvergensi adalah Asy’ariyah. Konsep aliran konvergensi yang memiliki sifat ganda (dikotomik) ini dijelaskan oleh Ibnu Arabi sebagai insijam al-azali sebagai sebuah keharmonisan yang ditetapkan.
Ini berarti segala dualitas dan keragaman di dunia ini sebenarnya sudah direncanakan dan terpadu dalam satu kesatuan Ilahi yang tidak terpisahkan. Baik kehendak Tuhan yang mutlak maupun usaha terbatas manusia, keduanya bergerak dalam alur yang sudah ditetapkan dan harmonis, dalam tatanan alam semesta yang sudah diatur dengan sangat rapi sejak dahulu kala.
Ini berarti segala dualitas dan keragaman di dunia hakikatnya sudah direncanakan dan terpadu dalam satu kesatuan Ilahi. Semuanya bergerak dalam alur yang sudah ditetapkan dan harmonis, seolah-olah itu adalah sebuah rencana besar kehidupan yang sudah serasi sejak awal mula.
4. Aliran Nihilis (Menolak Realitas Transenden)
Aliran nihilisme mewakili pandangan yang paling ekstrem dalam menolak konsep teologi tradisional. Inti pemikiran nihilisme menjelaskan tentang hakikat realitas Transenden atau kekuatan Tuhan yang mutlak hanyalah ilusi.
Kelompok ini memiliki pandangan yang sangat radikal dan pesimis. Mereka menolak adanya Tuhan Yang Maha Mutlak yang menciptakan dan mengatur segalanya. Alih-alih Tuhan tunggal, mereka mungkin hanya menerima berbagai "dewa" atau kekuatan alam yang tidak saling berhubungan (Tuhan kosmos).
Dalam pandangan mereka, kehidupan manusia adalah serba kebetulan, manusia hanya seperti bintik kecil yang tak berarti dalam mekanisme masyarakat yang terjadi begitu saja.
Karena tidak ada Tuhan yang menetapkan nasib, kekuatan utama terletak pada kecerdikan dan kemampuan manusia itu sendiri. Kebahagiaan sejati bagi mereka adalah hal yang bersifat nyata dan dapat dirasakan, yaitu pemenuhan kebutuhan fisik dan kenikmatan duniawi, bukan janji surga atau pahala spiritual.
Kesimpulan: Peta Jalan Pemikiran dalam Ilmu Kalam
Inti dari perbedaan aliran-aliran dalam Ilmu Kalam terletak pada metodologi pemikiran dalam menyeimbangkan peran Akal dan Wahyu. Perbedaan ini berasal dari kapasitas ulama maupun kompleksitas persoalan akidah. Konsep aliran dalam kerangka pemikiran kalam terbagi menjadi dua garis besar.
Metode Rasional dan Antroposentris: Diwakili oleh Mu'tazilah, pemikiran ini menempatkan manusia sebagai pusat (Antroposentris). Mereka mengedepankan akal dan hanya menerima dalil qath'iyyah (pasti), serta meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan perbuatannya.
Metode Tradisional dan Teosentris: Diwakili oleh Jabariyah, pemikiran ini cenderung Teosentris (Tuhan sebagai pusat mutlak). Mereka membatasi peran akal, setia pada dogma, dan berpandangan bahwa manusia bersifat fatalis karena segala perbuatannya adalah aktivitas Tuhan.
Di antara dua kutub ekstrem ini, lahirlah Aliran Konvergensi (Sintesis) yang dianut oleh Asy'ariyah. Aliran ini berupaya mencapai harmoni dengan memandang perbuatan manusia sebagai bentuk kerja sama antara daya transendental Tuhan dan kekuatan sementara manusia. Dengan demikian, Asy'ariyah mencari keseimbangan yang moderat antara kehendak bebas manusia dan determinisme Ilahi. Sementara itu, pandangan paling ekstrem adalah Nihilis yang menolak Realitas Transenden mutlak dan hanya berfokus pada kekuatan kecerdikan fisik manusia.
Mari Kita Pahami Akidah Lebih Dalam!
Konsep-konsep seperti Antroposentris, Teosentris, dan Insijam al-Azali bukanlah sekadar istilah akademik, melainkan kunci untuk memahami akar perbedaan dalam teologi Islam. Biarkan hal ini membentuk dasar pemikiran kita agar lebih memiliki dasar yang kuat dan tidak hanya sekedar dogma.
Jangan puas dengan hanya membaca dari satu referensi. Lanjutkan Eksplorasi kita! lalu tanyakan pada diri kita, dimanakah posisi pemikiran kita. Apakah lebih condong pada usaha mutlak (Antroposentris) atau pasrah mutlak (Teosentris)?
Pelajari Lebih Lanjut tentang Jalan Tengah: Selidiki bagaimana Aliran Asy'ariyah atau Konvergensi berhasil merumuskan keseimbangan antara kehendak manusia dan ketetapan Tuhan. Ini adalah inti dari moderasi beragama!
Jangan biarkan akidah kita hanya datang dari sebuah warisan yang tanpa didasari pemahaman ilmunya. Pahami kerangka berpikirnya dan kuatkan fondasi keimanan kita hari ini! Bagaimana pendapat Sainers semua? Yuk, tulis di kolom koment!









Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Trimakasih sudah berkunjung ke ruang narasi Inspirasi Nita, semoga artikel yang disuguhkan bisa memberikan manfaat.