Sabtu pagi, 11 Oktober 2025, udara Serang terasa segar saat langkah kaki menapaki lantai lobi Hotel Ledian. Di ruang seminar yang hangat, nampak ratusan wajah orang tua, guru PAUD, dan para pemerhati pendidikan yang tampak duduk dengan penuh antusias. Ada keresahan yang sama terpancar di mata para peserta seminar. Banyak pertanyaan berkecamuk mempertanyakan, bagaimana masa depan anak-anak kita di tengah derasnya arus digital?
Seminar parenting bersama Ibu Elly Risman ini mengangkat tema “Parenting Kolaboratif untuk Mencegah Kekerasan Seksual di Era Digital.” Sebuah tema yang sedang ramai dibicarakan dan menjadi kegelisahan banyak kalangan, orang tua, guru, hingga pemerhati pendidikan.
“Coba perhatikan,” ujar Bu Elly sambil tersenyum getir, “anak yang terlalu lama di depan layar sering sulit fokus, cepat marah, bahkan tidak bisa diam tanpa gadget di tangannya.”
Beliau kemudian memaparkan hasil penelitian dan data nyata yang menggugah hati: paparan layar berlebihan bisa mengganggu area prefrontal cortex, bagian otak yang berperan dalam mengendalikan emosi, konsentrasi, dan kemampuan mengambil keputusan. Otak anak yang seharusnya berkembang melalui interaksi langsung dan pengalaman nyata, justru dibanjiri stimulasi instan dari layar.
Akibatnya, anak lebih mudah stres, sulit berempati, dan mengalami ketergantungan terhadap sensasi cepat yang diberikan gawai.
Di tengah suasana serius itu, Bu Elly tiba-tiba memberi ice breaking khasnya, “Sekarang, angkat tangan kirinya, usapkan ke kepala, dan bilang: aku orang tua hebat yang sedang belajar, jika kita selalu bahagia maka proses belajar akan berjalan menyenangkan!”
Dalam seminar itu, Bu Elly memaparkan fakta yang membuat ruangan mendadak sunyi. Ia menyebutkan bahwa ratusan anak kini dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Jawa Barat, karena kecanduan gawai dan gim daring. Di Surabaya, RSJ Menur bahkan melaporkan lebih dari 3.000 kasus anak dan remaja yang memerlukan perawatan akibat adiksi gadget hanya dalam satu tahun terakhir.
“Bahkan ada RSJ yang penuh hanya karena menerima pasien korban gawai,” tutur Bu Elly lirih. Beberapa rumah sakit lain, lanjutnya, menolak pasien dengan alasan belum memiliki fasilitas untuk menangani kecanduan digital pada anak-anak. Sebuah kenyataan yang ironis di tengah masyarakat modern yang menganggap gawai sebagai kebutuhan pokok.
Kita mungkin berpikir anak yang bermain gawai hanyalah sedang bersenang-senang. Tapi di balik layar itu, otaknya sedang bekerja keras melawan stimulasi berlebihan yang menyerupai efek narkoba. Anak-anak yang seharusnya bermain di luar ruangan kini terperangkap dalam dunia maya yang membuat mereka kehilangan kemampuan menikmati realitas.
Penjelasan Bu Elly kemudian beralih ke sisi ilmiah. Ia menjelaskan bahwa setiap kali anak bermain gim, menonton video pendek, atau mendapat “like”, otaknya mengeluarkan zat kimia bernama dopamin, hormon yang memberi sensasi senang dan puas.
Namun, dopamin ini ibarat pisau bermata dua. Semakin sering dikeluarkan akibat rangsangan layar, otak menjadi terbiasa dengan level kesenangan tinggi yang instan. Lama-kelamaan, anak kehilangan kemampuan untuk menikmati hal-hal sederhana seperti bermain pasir, menggambar, atau sekadar bercengkerama dengan keluarga.
Penelitian ilmiah mendukung hal ini. Sebuah studi berjudul Digital Addiction and its Relationship with Cognitive Function among Children (2024) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat adiksi digital, semakin rendah kemampuan anak dalam fokus, memori, dan pengendalian emosi. Anak menjadi mudah marah, sulit konsentrasi, dan kehilangan semangat belajar.
Bukan hanya itu. Riset di Amerika Serikat terhadap lebih dari 50.000 anak menunjukkan bahwa anak yang menggunakan layar lebih dari empat jam per hari memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecemasan, depresi, gangguan tidur, bahkan gejala ADHD. Semua ini bukan karena anak nakal, tetapi karena struktur otaknya berubah akibat paparan dopamin berlebihan dari layar.
Banyak laporan di lapangan menunjukkan anak-anak yang terlalu lama terpapar layar mengalami gangguan konsentrasi, emosi, bahkan kehilangan minat terhadap interaksi sosial di dunia nyata. Fenomena ini menjadi perhatian serius para psikolog dan pemerhati anak, termasuk Bu Elly Risman, yang menekankan pentingnya peran orang tua dalam mencegah adiksi sejak dini.
Ada pula seorang gadis kecil yang dulunya periang, kini menjadi pendiam dan mudah tersinggung. Ia kehilangan kemampuan menulis dengan tangan karena terlalu terbiasa mengetik di layar. Kasus-kasus seperti ini bukan lagi cerita luar negeri, ini terjadi di sekitar kita.
Penelitian di Palembang menunjukkan bahwa anak-anak yang kurang mendapat pengawasan orang tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecanduan gadget. Sementara di Sulawesi Utara, 83,7% anak sekolah dasar tercatat menggunakan gawai melebihi batas wajar, dan 84,8% di antaranya mengalami gangguan perilaku dan emosi.
Jika yang mereka lihat dan dengar setiap hari adalah suara dari layar, bukan suara ibu, atau cahaya dari gawai, bukan sinar wajah orang tua, maka tumbuhlah koneksi otak yang salah arah.
Secara ilmiah, para ahli neurosains menjelaskan bahwa penggunaan gadget berlebihan dapat memengaruhi struktur dan fungsi otak anak. Bagian prefrontal cortex, yang berperan dalam mengontrol emosi dan membuat keputusan, menjadi kurang aktif karena anak jarang menggunakan kemampuan berpikir panjang atau menunda kesenangan.
Sementara bagian otak yang berhubungan dengan sistem reward, tempat rasa senang dan candu terbentuk, mengalami bekerja terlalu keras akibat stimulasi cepat dari gim, video, dan media sosial.
Inilah yang kemudian memunculkan gejala mirip kecanduan narkoba digital, anak sulit berhenti, cepat marah saat gadget diambil, dan kehilangan minat terhadap aktivitas sosial.
Penelitian dari Frontiers in Psychology (2023) menunjukkan bahwa paparan layar lebih dari tiga jam sehari dapat menghambat perkembangan white matter, yaitu jaringan otak yang berfungsi menghubungkan berbagai area penting untuk belajar dan berbahasa. Sementara riset lain di JAMA Pediatrics (2022) menemukan adanya kaitan kuat antara durasi penggunaan layar dengan meningkatnya gangguan perhatian dan perilaku impulsif pada anak-anak usia sekolah dasar.
Bu Elly menegaskan, “Inilah mengapa kita melihat anak-anak kini lebih mudah meledak, cepat bosan, dan sulit diatur. Bukan karena mereka nakal, tapi karena otaknya sedang kelelahan.” Kalimat pemaparan dari Bu Elly tersebut disambut dengan anggukan panjang dari para peserta, beberapa bahkan tampak menahan haru.
Semua ini menunjukkan bahwa krisis yang kita hadapi bukan semata krisis teknologi, tapi krisis keterikatan emosional antara orang tua dan anak.
Bu Elly kemudian menatap para peserta satu per satu. Dengan suara lembut tapi tegas, beliau berkata,
“Kuat ya jadi orang tua. Jadilah orang tua yang siap membersamai anak!”
Kata membersamai mengandung makna yang dalam. Ia bukan sekadar mengawasi, tapi menemani. Anak butuh contoh, bukan ceramah. Butuh dipeluk, bukan disalahkan. Butuh kehadiran, bukan sekadar perhatian lewat tatapan singkat dari balik layar.
Dalam Islam, Rasulullah SAW sudah memberi teladan mendalam tentang pentingnya kedekatan emosional dengan anak. Beliau memeluk Hasan dan Husain, menggendong cucunya ketika shalat, dan selalu berbicara dengan lembut. Beliau menunjukkan bahwa cinta yang tulus menjadi pondasi utama pendidikan anak.
Sabda Rasulullah SAW bahwasannya “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di era digital ini, bisa kita tambahkan dengan sebuah perumpamaan bahwa orang tualah yang menentukan arah pendidikan anak, apakah anak tumbuh sebagai pribadi sadar digital atau malah menjadi korban teknologi.
Setelah mengguncang kesadaran dengan fakta-fakta yang menggetarkan, Bu Elly tidak membiarkan para peserta larut dalam rasa bersalah. Dengan suara lembut, beliau berkata,
“Tenang, kita tidak terlambat. Asal mau berubah, insyaAllah, Allah akan membantu kita.”
Kalimat itu menembus hati banyak orang tua di ruangan itu. Ada yang menunduk, ada yang mengusap air mata. Karena sesungguhnya, menjadi orang tua di era digital ini bukan tugas yang mudah. Tapi bukan berarti kita kalah. Justru di sinilah perjuangan sejati dimulai, perjuangan merebut kembali hati anak-anak kita dari genggaman layar.
Bu Elly kemudian memberi arahan yang sangat praktis, sederhana, tapi berdampak besar. Beberapa tips yang saya rangkumkan ini semoga bisa menjadi pegangan bagi kita para orang tua untuk menata kembali apa yang mungkin sempat terserak.
Seringkali anak-anak beralih ke gadget bukan karena candu teknologi, tapi karena rindu perhatian. Mereka ingin didengar, tapi orang tua sibuk. Mereka ingin ditemani, tapi yang menatap mereka hanyalah layar.
Mulailah dari hal sederhana yaitu menyapa anak dengan tatapan mata, mendengarkan ceritanya tanpa memotong, atau sekadar bertanya, “Hari ini kamu merasa senang tentang apa?” Komunikasi yang lembut adalah pintu awal untuk memulai hubungan baik.
Anak-anak tidak bisa hanya dilarang tanpa diberikan alternatif pilihan. Jika waktu layar yang biasa anak gunakan dikurangi, maka ruang kosong itu harus diisi dengan kegiatan yang menyenangkan. Bu Elly memberi contoh sederhana lewat bermain peran, memasak bersama, berkebun, atau membaca kisah Nabi sebelum tidur.
Aktivitas nyata seperti ini memberi stimulasi sensorik dan emosional yang tidak bisa digantikan oleh layar. Sebuah penelitian dari American Academy of Pediatrics (AAP) menunjukkan bahwa bermain langsung dengan orang tua meningkatkan kemampuan bahasa, empati, dan kontrol diri anak secara signifikan.
Dan hal yang paling membahagiakan adalah ketika anak kembali menemukan kebahagiaan sejatinya, yaitu bisa tertawa tanpa filter layar, tangan yang dipenuhi debu, pelukan yang nyata, dan perhatian tanpa sinyal WiFi.
Banyak orang tua memberi anak ponsel dengan alasan keamanan atau agar tidak ketinggalan zaman. Tapi Bu Elly mengingatkan,
“Anak tidak akan kehilangan masa kecilnya karena tidak punya HP, tapi bisa kehilangan masa kecil yang sangat bermakna karena terlalu cepat memilikinya dan menikmatinya.”
Anak yang belum matang secara emosi belum siap menghadapi derasnya arus informasi digital. Sebuah Studi yang dilakukan oleh University of Michigan menunjukkan bahwa anak yang memiliki ponsel pribadi sebelum usia 13 tahun berisiko dua kali lebih tinggi mengalami adiksi digital dan kesulitan fokus belajar.
Lebih baik sedikit “terlambat” daripada anak-anak kita kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan merasakan dampak negatif dari gadget.
“Kalau rumah tidak lagi nyaman, anak akan mencari pelarian, dan saat ini pelarian yang sangat membuat anak nyaman dan kecanduan itu bernama gadget.” Tutur Bu Elly.
Rumah yang penuh cinta, tawa, dan kedamaian adalah benteng terakhir melawan badai digital. Tidak perlu rumah yang besar dan mewah dalam bentuk ukuran namun rumah yang dipenuhi kehangatan dan bermakna yang dirindukan para penghuninya.
Bahkan dalam Islam, Allah menegaskan tujuan pernikahan dan keluarga adalah untuk menciptakan sakinah, dalam artian ketenangan jiwa. Allah berfirman dalam Qur'an surat Ar-rum ayat 21:
Ketika kasih dan rahmah itu hadir di dalam rumah, maka para penghuninya akan merasa nyaman dan anak-anak tidak lagi mencari cinta di layar. Mereka akan menemukan kebahagiaan di pelukan orang tuanya sendiri. Orang tua bagi mereka adalah tempat pelarian yang paling tepat dan tempat persinggahan yang paling aman dan nyaman.
Bu Elly memaparkan dengan ajakan lembut. Nasihat yang diberikan begitu meyentuh hati.
“Anak-anak tidak butuh orang tua sempurna, mereka butuh orang tua yang mau belajar.”
Kalimat sederhana, tapi dalamnya luar biasa. Karena pada dasarnya, tugas kita bukan melahirkan anak yang hebat di dunia maya, tapi anak yang kuat di dunia nyata. Bukan sekadar pintar menggunakan teknologi, tapi bijak menundukkannya.
Dalam perspektif Islam, anak adalah amanah. Allah ï·» berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini bukan sekadar perintah melindungi dari maksiat, tapi juga peringatan agar kita menjaga keluarga dari setiap hal yang bisa merusak jiwa — termasuk adiksi gawai, tontonan yang tidak layak, dan hilangnya kedekatan spiritual karena terlalu larut dalam dunia digital.
Maka pengasuhan digital sejatinya bukan sekadar soal manajemen waktu layar, tetapi manajemen hati. Bagaimana orang tua menumbuhkan kesadaran diri, menguatkan hubungan batin dengan anak, dan menghadirkan Allah di tengah interaksi keluarga.
Rasulullah ï·º mengajarkan keseimbangan itu dengan indah. Beliau mendidik dengan kelembutan, menegur tanpa menghina, dan selalu memberi ruang bagi cinta. Dalam dunia yang semakin bising oleh teknologi, keteladanan Nabi adalah kompas agar kita tidak tersesat.
Kecanduan gadget bukan hanya masalah teknologi, tapi juga krisis perhatian dan keterikatan emosional. Anak-anak yang tumbuh dengan cinta, disiplin, dan kehadiran orang tua akan lebih kuat menghadapi godaan digital.
Orang tua masa kini harus menjadi role model digital bagi anak-anaknya. Tunjukkan bahwa kita pun mampu menahan diri, mampu meletakkan ponsel ketika sedang berbicara dengan keluarga, mampu mengisi waktu luang dengan hal-hal produktif. Anak belajar bukan dari perintah, tapi dari teladan.
Sebagaimana pepatah Arab yang sering dikutip Bu Elly:
Jika kita ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang bijak, maka kebijaksanaan itu harus dimulai dari kita sendiri.
Mari berhenti sejenak dari layar, lalu pandang wajah anak-anak kita. Tatap mata mereka, di sana ada harapan, cinta, dan masa depan bangsa. Jangan biarkan cahaya di mata mereka padam karena terlalu lama disinari oleh layar gawai. Mulailah hari ini dengan langkah kecil. Letakkan ponsel ketika anak berbicara. Dengarkan tanpa menghakimi. Peluk tanpa syarat. Berdoalah setiap malam agar Allah menjaga hati anak-anak kita dari hal yang melalaikan. Karena sesungguhnya, gadget bukan musuh, tapi alat. Dan alat akan baik jika berada di tangan yang bijak.
Kita bukan sedang berperang melawan teknologi, tetapi sedang berjuang mempertahankan kemanusiaan agar anak-anak kita tetap punya hati yang peka, mata yang jernih, dan jiwa yang sehat di tengah dunia digital yang bising.
Kecanduan gadget pada anak bukan sekadar isu perilaku, tapi krisis emosional dan spiritual yang berakar dari hubungan antara anak dan orang tua. Pola asuh dalam menerapkan kebijakan penggunaan alat digital yang tepat bisa disampaikan dengan komunikasi yang hangat melalui pembatasan waktu layar yang bijak, aktivitas pengganti yang bermakna, serta kehadiran penuh cinta dan doa, menjadi kunci utama dalam menjaga fungsi otak anak dan keseimbangan jiwanya.
Perlu kiranya dipahami bahwa kita tidak sedang menyelamatkan anak-anak dari sebuah penampakan layar semata, tapi lebih besar dari itu, kita sedang menyelamatkan masa depan mereka dari kehilangan arah dan kehilangan jati diri krena pengaruh kejahatan dunia digital yang tanpa batasan.
Ketika seminar usai, sebagian peserta masih enggan beranjak. Ada yang menunduk sambil menatap layar ponselnya sendiri, seolah baru menyadari bahwa benda kecil di tangan itu ternyata punya kuasa besar atas hubungan mereka dengan anak.
Pesan Bu Elly terasa membekas: “Kecanduan gadget bukan hanya soal anak, tapi soal siapa yang paling sering memberinya.”
Kalimat itu sederhana, tapi menyentuh jantung persoalan. Di era digital ini, menjadi orang tua berarti bukan hanya memberi makan dan pendidikan, tetapi juga melindungi otak, jiwa, dan fitrah anak dari racun visual yang tak kasat mata.
Ilmu neurosains kini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Otak anak berkembang paling pesat saat mereka bermain, berbicara, dan berinteraksi langsung dengan orang tua. Stimulasi dari layar bersifat cepat dan instan, tetapi tidak meninggalkan bekas mendalam dalam memori jangka panjang anak.
Kini, tiba waktunya kita sebagai orang tua harus segera membangkitkan kesadaran kita. Ingatkan diri kita, bahwa tanggung jawab kita sebagai orang tua di era digital ini memang dibutuhkan perhatian dan kewaspadaan yang tinggi.
Seminar parenting bersama Ibu Elly Risman ini mengangkat tema “Parenting Kolaboratif untuk Mencegah Kekerasan Seksual di Era Digital.” Sebuah tema yang sedang ramai dibicarakan dan menjadi kegelisahan banyak kalangan, orang tua, guru, hingga pemerhati pendidikan.
Sebab di balik kemajuan teknologi yang kita banggakan, tersimpan sisi gelap yang mengintai anak-anak: akses informasi tanpa batas, paparan konten tidak layak, dan peluang kekerasan seksual digital yang makin sulit dikontrol. Dunia maya kini tak lagi sekadar tempat bermain, tapi juga ruang berisiko yang bisa mencederai masa depan mereka jika orang tua abai.
Ruangan sejuk yang nyaman ini dipenuhi para orang tua, guru, dan pendidik yang datang dengan berbagai rasa ingin tahu. Ketika Bu Elly Risman membuka seminar, suasana langsung terasa hangat. Beliau memulai dengan ajakan yang unik, “Angkat tangan kiri, usapkan ke kepala, dan katakan: hal yang menyenangkan akan memudahkan kita memahami sesuatu.” Seketika ruangan riuh oleh tawa. Suasana cair, tapi pesan yang disampaikan begitu dalam.
Bu Elly membuka sesi dengan nada yang lembut tapi penuh penegasan diwarnai perumpamaan “Kalau dulu kita khawatir anak jatuh dari sepeda, sekarang kita harus khawatir mereka jatuh di dunia maya.”
Kalimat itu seketika membuat ruangan terdiam. Semua mata terarah, semua hati tertohok. Karena setiap orang tua di ruangan itu tahu, kekhawatiran itu nyata.
Dalam sesi itu, Bu Elly menyampaikan sesuatu yang membuat dada saya bergetar, dan saya yakin juga hal yang sama dialami oleh orang tua lainnya. Kecanduan gadget bukan sekadar masalah kebiasaan, tapi gangguan pada fungsi otak yang bisa merusak kemampuan anak untuk fokus, berempati, dan mengendalikan diri.
Bu Elly lalu mengajak peserta merenung, “Anak-anak kita sekarang tumbuh di dunia yang tidak lagi kita kenal.” Kalimat itu seperti membuka gerbang kesadaran. Dunia digital yang dulu terasa menyenangkan, kini justru membuat banyak orang tua kehilangan kendali.
Di sinilah Bu Elly mulai menyinggung peran gadget dalam kehidupan anak. Awalnya hanya sebagai hiburan, pengalih tangis, atau teman saat makan. Namun perlahan, gawai itu mengambil alih fungsi-fungsi penting di otak anak.
Di sinilah Bu Elly mulai menyinggung peran gadget dalam kehidupan anak. Awalnya hanya sebagai hiburan, pengalih tangis, atau teman saat makan. Namun perlahan, gawai itu mengambil alih fungsi-fungsi penting di otak anak.
“Coba perhatikan,” ujar Bu Elly sambil tersenyum getir, “anak yang terlalu lama di depan layar sering sulit fokus, cepat marah, bahkan tidak bisa diam tanpa gadget di tangannya.”
Beliau kemudian memaparkan hasil penelitian dan data nyata yang menggugah hati: paparan layar berlebihan bisa mengganggu area prefrontal cortex, bagian otak yang berperan dalam mengendalikan emosi, konsentrasi, dan kemampuan mengambil keputusan. Otak anak yang seharusnya berkembang melalui interaksi langsung dan pengalaman nyata, justru dibanjiri stimulasi instan dari layar.
Akibatnya, anak lebih mudah stres, sulit berempati, dan mengalami ketergantungan terhadap sensasi cepat yang diberikan gawai.
Di tengah suasana serius itu, Bu Elly tiba-tiba memberi ice breaking khasnya, “Sekarang, angkat tangan kirinya, usapkan ke kepala, dan bilang: aku orang tua hebat yang sedang belajar, jika kita selalu bahagia maka proses belajar akan berjalan menyenangkan!”
Tawa kecil pun terdengar di ruangan. Semua peserta menepuk kepala masing-masing sambil tersenyum.
Ketenangan kembali hadir, seolah pesan tadi meneguhkan: menjadi orang tua memang tidak mudah, tapi bisa dipelajari dengan hati yang lapang.
Ketenangan kembali hadir, seolah pesan tadi meneguhkan: menjadi orang tua memang tidak mudah, tapi bisa dipelajari dengan hati yang lapang.
Realita yang Menyedihkan: Ketika Gadget Menggeser Peran Orang Tua
Dalam seminar itu, Bu Elly memaparkan fakta yang membuat ruangan mendadak sunyi. Ia menyebutkan bahwa ratusan anak kini dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Jawa Barat, karena kecanduan gawai dan gim daring. Di Surabaya, RSJ Menur bahkan melaporkan lebih dari 3.000 kasus anak dan remaja yang memerlukan perawatan akibat adiksi gadget hanya dalam satu tahun terakhir.
“Bahkan ada RSJ yang penuh hanya karena menerima pasien korban gawai,” tutur Bu Elly lirih. Beberapa rumah sakit lain, lanjutnya, menolak pasien dengan alasan belum memiliki fasilitas untuk menangani kecanduan digital pada anak-anak. Sebuah kenyataan yang ironis di tengah masyarakat modern yang menganggap gawai sebagai kebutuhan pokok.
Kita mungkin berpikir anak yang bermain gawai hanyalah sedang bersenang-senang. Tapi di balik layar itu, otaknya sedang bekerja keras melawan stimulasi berlebihan yang menyerupai efek narkoba. Anak-anak yang seharusnya bermain di luar ruangan kini terperangkap dalam dunia maya yang membuat mereka kehilangan kemampuan menikmati realitas.
Pernyataan itu membuat ruangan hening seketika. Rasanya seperti tamparan lembut bagi kami, para orang tua yang sering kali menenangkan anak dengan gawai, bukan dengan pelukan. Di panggung depan, sosok Bu Elly Risman berdiri dengan senyum hangat seperti ibu yang akan menegur dengan cinta. Dari sinilah, kisah dan kesadaran besar itu bermula.
Bu Elly tidak hanya berbicara dengan data dan teori, melainkan dengan hati seorang ibu, seorang psikolog, dan seorang pendidik yang telah puluhan tahun menyaksikan perubahan generasi. Kata-katanya lembut, tetapi menampar kesadaran banyak orang tua:
“Anak-anak kita sedang butuh kita. Jadilah orang tua yang sadar, bukan sekadar ada.”
Seketika banyak kepala menunduk dan hati bergetar. Betapa banyak di antara kita yang hadir secara fisik di rumah, tapi jiwa kita tersedot ke layar gawai. Anak duduk di depan kita, tetapi perhatian kita beralih ke notifikasi. Dan perlahan, tanpa kita sadari, jarak emosional terbentuk antara orang tua dan anak.
“Anak-anak kita sedang butuh kita. Jadilah orang tua yang sadar, bukan sekadar ada.”
Seketika banyak kepala menunduk dan hati bergetar. Betapa banyak di antara kita yang hadir secara fisik di rumah, tapi jiwa kita tersedot ke layar gawai. Anak duduk di depan kita, tetapi perhatian kita beralih ke notifikasi. Dan perlahan, tanpa kita sadari, jarak emosional terbentuk antara orang tua dan anak.
Dari Dopamin ke Disfungsi Otak: Bagaimana Gadget Mengubah Struktur Otak Anak
Penjelasan Bu Elly kemudian beralih ke sisi ilmiah. Ia menjelaskan bahwa setiap kali anak bermain gim, menonton video pendek, atau mendapat “like”, otaknya mengeluarkan zat kimia bernama dopamin, hormon yang memberi sensasi senang dan puas.
Namun, dopamin ini ibarat pisau bermata dua. Semakin sering dikeluarkan akibat rangsangan layar, otak menjadi terbiasa dengan level kesenangan tinggi yang instan. Lama-kelamaan, anak kehilangan kemampuan untuk menikmati hal-hal sederhana seperti bermain pasir, menggambar, atau sekadar bercengkerama dengan keluarga.
Penelitian ilmiah mendukung hal ini. Sebuah studi berjudul Digital Addiction and its Relationship with Cognitive Function among Children (2024) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat adiksi digital, semakin rendah kemampuan anak dalam fokus, memori, dan pengendalian emosi. Anak menjadi mudah marah, sulit konsentrasi, dan kehilangan semangat belajar.
Bukan hanya itu. Riset di Amerika Serikat terhadap lebih dari 50.000 anak menunjukkan bahwa anak yang menggunakan layar lebih dari empat jam per hari memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecemasan, depresi, gangguan tidur, bahkan gejala ADHD. Semua ini bukan karena anak nakal, tetapi karena struktur otaknya berubah akibat paparan dopamin berlebihan dari layar.
Kisah Nyata dari Lapangan: Anak yang Kehilangan Masa Kecilnya
Banyak laporan di lapangan menunjukkan anak-anak yang terlalu lama terpapar layar mengalami gangguan konsentrasi, emosi, bahkan kehilangan minat terhadap interaksi sosial di dunia nyata. Fenomena ini menjadi perhatian serius para psikolog dan pemerhati anak, termasuk Bu Elly Risman, yang menekankan pentingnya peran orang tua dalam mencegah adiksi sejak dini.
Ada pula seorang gadis kecil yang dulunya periang, kini menjadi pendiam dan mudah tersinggung. Ia kehilangan kemampuan menulis dengan tangan karena terlalu terbiasa mengetik di layar. Kasus-kasus seperti ini bukan lagi cerita luar negeri, ini terjadi di sekitar kita.
Penelitian di Palembang menunjukkan bahwa anak-anak yang kurang mendapat pengawasan orang tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecanduan gadget. Sementara di Sulawesi Utara, 83,7% anak sekolah dasar tercatat menggunakan gawai melebihi batas wajar, dan 84,8% di antaranya mengalami gangguan perilaku dan emosi.
Penjelasan Bu Elly tak berhenti di situ. Dengan gaya khasnya yang penuh energi dan keibuan, beliau menggambarkan betapa otak anak itu seperti tanah subur yang bisa ditanami apa pun, tergantung apa yang paling sering mereka terima.
Jika yang mereka lihat dan dengar setiap hari adalah suara dari layar, bukan suara ibu, atau cahaya dari gawai, bukan sinar wajah orang tua, maka tumbuhlah koneksi otak yang salah arah.
Secara ilmiah, para ahli neurosains menjelaskan bahwa penggunaan gadget berlebihan dapat memengaruhi struktur dan fungsi otak anak. Bagian prefrontal cortex, yang berperan dalam mengontrol emosi dan membuat keputusan, menjadi kurang aktif karena anak jarang menggunakan kemampuan berpikir panjang atau menunda kesenangan.
Sementara bagian otak yang berhubungan dengan sistem reward, tempat rasa senang dan candu terbentuk, mengalami bekerja terlalu keras akibat stimulasi cepat dari gim, video, dan media sosial.
Inilah yang kemudian memunculkan gejala mirip kecanduan narkoba digital, anak sulit berhenti, cepat marah saat gadget diambil, dan kehilangan minat terhadap aktivitas sosial.
Penelitian dari Frontiers in Psychology (2023) menunjukkan bahwa paparan layar lebih dari tiga jam sehari dapat menghambat perkembangan white matter, yaitu jaringan otak yang berfungsi menghubungkan berbagai area penting untuk belajar dan berbahasa. Sementara riset lain di JAMA Pediatrics (2022) menemukan adanya kaitan kuat antara durasi penggunaan layar dengan meningkatnya gangguan perhatian dan perilaku impulsif pada anak-anak usia sekolah dasar.
Bu Elly menegaskan, “Inilah mengapa kita melihat anak-anak kini lebih mudah meledak, cepat bosan, dan sulit diatur. Bukan karena mereka nakal, tapi karena otaknya sedang kelelahan.” Kalimat pemaparan dari Bu Elly tersebut disambut dengan anggukan panjang dari para peserta, beberapa bahkan tampak menahan haru.
Semua ini menunjukkan bahwa krisis yang kita hadapi bukan semata krisis teknologi, tapi krisis keterikatan emosional antara orang tua dan anak.
Pola Asuh Digital: Hadir Sepenuh Hati, Bukan Sekadar Fisik
“Kuat ya jadi orang tua. Jadilah orang tua yang siap membersamai anak!”
Kata membersamai mengandung makna yang dalam. Ia bukan sekadar mengawasi, tapi menemani. Anak butuh contoh, bukan ceramah. Butuh dipeluk, bukan disalahkan. Butuh kehadiran, bukan sekadar perhatian lewat tatapan singkat dari balik layar.
Dalam Islam, Rasulullah SAW sudah memberi teladan mendalam tentang pentingnya kedekatan emosional dengan anak. Beliau memeluk Hasan dan Husain, menggendong cucunya ketika shalat, dan selalu berbicara dengan lembut. Beliau menunjukkan bahwa cinta yang tulus menjadi pondasi utama pendidikan anak.
Sabda Rasulullah SAW bahwasannya “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di era digital ini, bisa kita tambahkan dengan sebuah perumpamaan bahwa orang tualah yang menentukan arah pendidikan anak, apakah anak tumbuh sebagai pribadi sadar digital atau malah menjadi korban teknologi.
Buat Langkah Nyata, Ciptakan Kehangatan dalam Rumah
“Tenang, kita tidak terlambat. Asal mau berubah, insyaAllah, Allah akan membantu kita.”
Kalimat itu menembus hati banyak orang tua di ruangan itu. Ada yang menunduk, ada yang mengusap air mata. Karena sesungguhnya, menjadi orang tua di era digital ini bukan tugas yang mudah. Tapi bukan berarti kita kalah. Justru di sinilah perjuangan sejati dimulai, perjuangan merebut kembali hati anak-anak kita dari genggaman layar.
Bu Elly kemudian memberi arahan yang sangat praktis, sederhana, tapi berdampak besar. Beberapa tips yang saya rangkumkan ini semoga bisa menjadi pegangan bagi kita para orang tua untuk menata kembali apa yang mungkin sempat terserak.
1. Membangun Komunikasi yang Hangat dan Penuh Empati
Mulailah dari hal sederhana yaitu menyapa anak dengan tatapan mata, mendengarkan ceritanya tanpa memotong, atau sekadar bertanya, “Hari ini kamu merasa senang tentang apa?” Komunikasi yang lembut adalah pintu awal untuk memulai hubungan baik.
Penelitian dari Harvard Center on the Developing Child menunjukkan bahwa hubungan emosional yang kuat antara anak dan orang tua mampu menurunkan risiko kecanduan digital hingga 45%. Artinya, cinta dan kehadiran bisa menjadi terapi yang lebih ampuh dari pada sebuah aturan yang mengekang anak.
Bu Elly menekankan bahwa batasan tidak harus melulu berupa hukuman, namun bisa dibuat seperti sebuah kesepakatan yang dibuat oleh seluruh anggota keluarga, misalnya dengan menyepakati aturan tidak ada gawai saat makan, tidak bermain gawai sebelum shalat, atau tidak boleh menonton sebelum tugas sekolah selesai.
Ketika aturan dibuat bersama, anak merasa dihargai dan ikut memiliki tanggung jawab. Mereka akan memperoleh pembelajaran berharga dan akan memahami sebuah komitmen. Belajar disiplin bukan karena takut dimarahi, tapi juga karena memahami arah tujuan dari kesepakatan yang dibuat.
2. Tetapkan Aturan Waktu Layar (Screen Time) melalui Kesepakatan Bersama
Ketika aturan dibuat bersama, anak merasa dihargai dan ikut memiliki tanggung jawab. Mereka akan memperoleh pembelajaran berharga dan akan memahami sebuah komitmen. Belajar disiplin bukan karena takut dimarahi, tapi juga karena memahami arah tujuan dari kesepakatan yang dibuat.
“Anak bukan untuk dikontrol, tapi untuk diarahkan,” ujar Bu Elly.
3. Ganti Kegiatan Waktu Layar (Screen Time) dengan Aktivitas Bermakna
Anak-anak tidak bisa hanya dilarang tanpa diberikan alternatif pilihan. Jika waktu layar yang biasa anak gunakan dikurangi, maka ruang kosong itu harus diisi dengan kegiatan yang menyenangkan. Bu Elly memberi contoh sederhana lewat bermain peran, memasak bersama, berkebun, atau membaca kisah Nabi sebelum tidur.
Aktivitas nyata seperti ini memberi stimulasi sensorik dan emosional yang tidak bisa digantikan oleh layar. Sebuah penelitian dari American Academy of Pediatrics (AAP) menunjukkan bahwa bermain langsung dengan orang tua meningkatkan kemampuan bahasa, empati, dan kontrol diri anak secara signifikan.
Dan hal yang paling membahagiakan adalah ketika anak kembali menemukan kebahagiaan sejatinya, yaitu bisa tertawa tanpa filter layar, tangan yang dipenuhi debu, pelukan yang nyata, dan perhatian tanpa sinyal WiFi.
4. Tunda pemberian gawai pribadi selama mungkin
Banyak orang tua memberi anak ponsel dengan alasan keamanan atau agar tidak ketinggalan zaman. Tapi Bu Elly mengingatkan,
“Anak tidak akan kehilangan masa kecilnya karena tidak punya HP, tapi bisa kehilangan masa kecil yang sangat bermakna karena terlalu cepat memilikinya dan menikmatinya.”
Anak yang belum matang secara emosi belum siap menghadapi derasnya arus informasi digital. Sebuah Studi yang dilakukan oleh University of Michigan menunjukkan bahwa anak yang memiliki ponsel pribadi sebelum usia 13 tahun berisiko dua kali lebih tinggi mengalami adiksi digital dan kesulitan fokus belajar.
Lebih baik sedikit “terlambat” daripada anak-anak kita kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan merasakan dampak negatif dari gadget.
5. Menjadikan Rumah Menjadi Tempat Kembali yang Aman dan Nyaman Bagi Anak
“Kalau rumah tidak lagi nyaman, anak akan mencari pelarian, dan saat ini pelarian yang sangat membuat anak nyaman dan kecanduan itu bernama gadget.” Tutur Bu Elly.
Rumah yang penuh cinta, tawa, dan kedamaian adalah benteng terakhir melawan badai digital. Tidak perlu rumah yang besar dan mewah dalam bentuk ukuran namun rumah yang dipenuhi kehangatan dan bermakna yang dirindukan para penghuninya.
Bahkan dalam Islam, Allah menegaskan tujuan pernikahan dan keluarga adalah untuk menciptakan sakinah, dalam artian ketenangan jiwa. Allah berfirman dalam Qur'an surat Ar-rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Ketika kasih dan rahmah itu hadir di dalam rumah, maka para penghuninya akan merasa nyaman dan anak-anak tidak lagi mencari cinta di layar. Mereka akan menemukan kebahagiaan di pelukan orang tuanya sendiri. Orang tua bagi mereka adalah tempat pelarian yang paling tepat dan tempat persinggahan yang paling aman dan nyaman.
6. Doa dan kesadaran diri sebagai sumber kekuatan orang tua
“Jangan marahi anak karena kecanduan gawai. Beri pelukan, karena dia sedang sakit, mereka bukan sosok jahat. Mohonlah pertolongan Allah, karena Allah lah yang berkuasa untuk membolak-balik hati manusia.”
Selain usaha yang kita lakukan, jangan lupa iringi dengan do'a, karena do'a akan menjadi energi yang menenangkan. Ketika orang tua memperbaiki diri, menurunkan nada suara, memperbaiki komunikasi, dan memperbanyak doa, maka pengharapan yang kita panjatkan akan sampai ke hati anak.
Anak bukan hanya belajar dari apa yang kita katakan, tapi dari siapa kita. Maka tugas orang tua bukan hanya mendidik anak, tapi juga terus mendidik diri sendiri agar lebih bijak, lebih sabar, dan lebih hadir.
Ketika seminar bersama Bu Elly Risman berakhir, suasana ruangan berubah menjadi hening. Tak ada lagi tawa keras, hanya suara napas dan mata yang berkaca-kaca. Beberapa peserta menunduk dalam, merenungi perjalanan mereka sebagai orang tua di tengah derasnya arus digital.
Saya pun tak bisa menahan haru. Di satu sisi, rasa bersalah muncul berapa kali saya tanpa sadar menatap layar ketika anak ingin bercerita? Berapa kali saya menenangkan anak dengan memberi gawai, bukan pelukan? Tapi di sisi lain, ada harapan baru: kita bisa berubah, dan belum terlambat untuk memperbaiki semuanya.
Bu Elly menutup dengan kalimat yang terus terngiang di telinga:
Anak bukan hanya belajar dari apa yang kita katakan, tapi dari siapa kita. Maka tugas orang tua bukan hanya mendidik anak, tapi juga terus mendidik diri sendiri agar lebih bijak, lebih sabar, dan lebih hadir.
Doa, Harapan, dan Tanggung Jawab Kita Sebagai Orang Tua di Era Digital
Saya pun tak bisa menahan haru. Di satu sisi, rasa bersalah muncul berapa kali saya tanpa sadar menatap layar ketika anak ingin bercerita? Berapa kali saya menenangkan anak dengan memberi gawai, bukan pelukan? Tapi di sisi lain, ada harapan baru: kita bisa berubah, dan belum terlambat untuk memperbaiki semuanya.
Bu Elly menutup dengan kalimat yang terus terngiang di telinga:
“Anak-anak tidak butuh orang tua sempurna, mereka butuh orang tua yang mau belajar.”
Kalimat sederhana, tapi dalamnya luar biasa. Karena pada dasarnya, tugas kita bukan melahirkan anak yang hebat di dunia maya, tapi anak yang kuat di dunia nyata. Bukan sekadar pintar menggunakan teknologi, tapi bijak menundukkannya.
Menghadirkan Allah dalam Pengasuhan Digital
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini bukan sekadar perintah melindungi dari maksiat, tapi juga peringatan agar kita menjaga keluarga dari setiap hal yang bisa merusak jiwa — termasuk adiksi gawai, tontonan yang tidak layak, dan hilangnya kedekatan spiritual karena terlalu larut dalam dunia digital.
Maka pengasuhan digital sejatinya bukan sekadar soal manajemen waktu layar, tetapi manajemen hati. Bagaimana orang tua menumbuhkan kesadaran diri, menguatkan hubungan batin dengan anak, dan menghadirkan Allah di tengah interaksi keluarga.
Rasulullah ï·º mengajarkan keseimbangan itu dengan indah. Beliau mendidik dengan kelembutan, menegur tanpa menghina, dan selalu memberi ruang bagi cinta. Dalam dunia yang semakin bising oleh teknologi, keteladanan Nabi adalah kompas agar kita tidak tersesat.
Membangun Generasi yang Melek Digital dan Tangguh Secara Emosional
Orang tua masa kini harus menjadi role model digital bagi anak-anaknya. Tunjukkan bahwa kita pun mampu menahan diri, mampu meletakkan ponsel ketika sedang berbicara dengan keluarga, mampu mengisi waktu luang dengan hal-hal produktif. Anak belajar bukan dari perintah, tapi dari teladan.
Sebagaimana pepatah Arab yang sering dikutip Bu Elly:
الولد سر أبيه “Anak adalah rahasia dari orang tuanya.”
Artinya, perilaku anak adalah cerminan dari keadaan hati dan kebiasaan orang tuanya.
Jika kita ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang bijak, maka kebijaksanaan itu harus dimulai dari kita sendiri.
Mari berhenti sejenak dari layar, lalu pandang wajah anak-anak kita. Tatap mata mereka, di sana ada harapan, cinta, dan masa depan bangsa. Jangan biarkan cahaya di mata mereka padam karena terlalu lama disinari oleh layar gawai. Mulailah hari ini dengan langkah kecil. Letakkan ponsel ketika anak berbicara. Dengarkan tanpa menghakimi. Peluk tanpa syarat. Berdoalah setiap malam agar Allah menjaga hati anak-anak kita dari hal yang melalaikan. Karena sesungguhnya, gadget bukan musuh, tapi alat. Dan alat akan baik jika berada di tangan yang bijak.
Kita bukan sedang berperang melawan teknologi, tetapi sedang berjuang mempertahankan kemanusiaan agar anak-anak kita tetap punya hati yang peka, mata yang jernih, dan jiwa yang sehat di tengah dunia digital yang bising.
Kecanduan gadget pada anak bukan sekadar isu perilaku, tapi krisis emosional dan spiritual yang berakar dari hubungan antara anak dan orang tua. Pola asuh dalam menerapkan kebijakan penggunaan alat digital yang tepat bisa disampaikan dengan komunikasi yang hangat melalui pembatasan waktu layar yang bijak, aktivitas pengganti yang bermakna, serta kehadiran penuh cinta dan doa, menjadi kunci utama dalam menjaga fungsi otak anak dan keseimbangan jiwanya.
Perlu kiranya dipahami bahwa kita tidak sedang menyelamatkan anak-anak dari sebuah penampakan layar semata, tapi lebih besar dari itu, kita sedang menyelamatkan masa depan mereka dari kehilangan arah dan kehilangan jati diri krena pengaruh kejahatan dunia digital yang tanpa batasan.
Saatnya Menjadi Orang Tua yang Hadir
Ketika seminar usai, sebagian peserta masih enggan beranjak. Ada yang menunduk sambil menatap layar ponselnya sendiri, seolah baru menyadari bahwa benda kecil di tangan itu ternyata punya kuasa besar atas hubungan mereka dengan anak.
Pesan Bu Elly terasa membekas: “Kecanduan gadget bukan hanya soal anak, tapi soal siapa yang paling sering memberinya.”
Kalimat itu sederhana, tapi menyentuh jantung persoalan. Di era digital ini, menjadi orang tua berarti bukan hanya memberi makan dan pendidikan, tetapi juga melindungi otak, jiwa, dan fitrah anak dari racun visual yang tak kasat mata.
Ilmu neurosains kini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Otak anak berkembang paling pesat saat mereka bermain, berbicara, dan berinteraksi langsung dengan orang tua. Stimulasi dari layar bersifat cepat dan instan, tetapi tidak meninggalkan bekas mendalam dalam memori jangka panjang anak.
Sebaliknya, pengalaman nyata , seperti pelukan, doa, dan waktu bersama akan menumbuhkan hormon kebahagiaan alami seperti oxytocin, yang memperkuat ikatan kasih dan rasa aman. Islam telah lebih dulu mengajarkan bahwa kehadiran orang tua adalah rahmah bagi anak, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua. (HR. Ahmad)
Ayat dan hadis ini bukan hanya pedoman moral, tetapi juga panduan neuropsikologis yang relevan di zaman modern.
Ketika kasih sayang hadir, otak anak pun tumbuh sehat.
Kini, tiba waktunya kita sebagai orang tua harus segera membangkitkan kesadaran kita. Ingatkan diri kita, bahwa tanggung jawab kita sebagai orang tua di era digital ini memang dibutuhkan perhatian dan kewaspadaan yang tinggi.
Usahakan hari demi hari yang dilalui oleh buah hati kita diisi dengan penuh kenhangatan dan hal yang bermanfaat, tentunya hal itu akan bisa terpenuhi jika kita bisa hadir secara penuh pula dalam kehidupan mereka.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah layar kecil yang sangat menarik itu sedang membantu tumbuh kembang buah hati kita, atau justru menggantikan peran kita sebagai orang tua? Yuk, segera sadar diri.
Menjadi orang tua di era digital memang tak mudah. Tapi seperti yang selalu diingatkan Bu Elly dalam seminarnya, “Kita tidak perlu menjadi orang tua yang sempurna, namun berusahalah untuk menjadi orang tua yang cukup sadar dan mau belajar. Karena anak-anak kita tidak butuh orang tua yang hebat, yang mereka butuhkan adalah orang tua yang hadir dan membersamai mereka.”
Referensi
Seminar Parenting Bersama Psikolog Bunda Elli Risman
Apik Lestari, C., Zikrinawati, K., & Ikhrom, I. (2025). Dampak overstimulasi konten digital terhadap pemusatan perhatian anak (6-12 tahun). Paedagogy: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi, 5(1). https://doi.org/10.51878/paedagogy.v5i1.4941
Hartati, I. P., Safitra, L., & Susiyanto, S. (2025). Gadget addiction and changes in social interactions among early childhood children in Betungan, Bengkulu City. Jurnal Sosiologi Dialektika Sosial, 7(1). Retrieved from https://ojs.unimal.ac.id/dialektika/article/view/22154
Irzalinda, V., & Latifah, M. (2024). Screen time and early childhood well-being: A systematic literature review approach. Journal of Family Sciences, 9(1). Retrieved from https://journal.ipb.ac.id/index.php/jfs/article/view/49792
Pandan Sari, T. A., Novitawati, N., & Sulaiman, S. (2024). Pengaruh interaksi orang tua dan screen time terhadap kemampuan sosial emosional dan berbicara anak taman kanak-kanak. Journal of Education Research (JER), 3(2). Retrieved from https://jer.or.id/index.php/jer/article/view/1420
Wulandari, D., & Hermiati, D. (2024). Deteksi dini gangguan mental dan emosional pada anak yang mengalami kecanduan gadget. Jurnal Keperawatan Silampari, 7(2). Retrieved from https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JKS/article/view/843
Hartati, I. P., Safitra, L., & Susiyanto, S. (2025). Gadget addiction and changes in social interactions among early childhood children in Betungan, Bengkulu City. Jurnal Sosiologi Dialektika Sosial, 7(1). Retrieved from https://ojs.unimal.ac.id/dialektika/article/view/22154
Irzalinda, V., & Latifah, M. (2024). Screen time and early childhood well-being: A systematic literature review approach. Journal of Family Sciences, 9(1). Retrieved from https://journal.ipb.ac.id/index.php/jfs/article/view/49792
Pandan Sari, T. A., Novitawati, N., & Sulaiman, S. (2024). Pengaruh interaksi orang tua dan screen time terhadap kemampuan sosial emosional dan berbicara anak taman kanak-kanak. Journal of Education Research (JER), 3(2). Retrieved from https://jer.or.id/index.php/jer/article/view/1420
Wulandari, D., & Hermiati, D. (2024). Deteksi dini gangguan mental dan emosional pada anak yang mengalami kecanduan gadget. Jurnal Keperawatan Silampari, 7(2). Retrieved from https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JKS/article/view/843











Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Trimakasih sudah berkunjung ke ruang narasi Inspirasi Nita, semoga artikel yang disuguhkan bisa memberikan manfaat.