Karakteristik Seni Rupa Anak USia Dini, Coretan yang Memilki Makna

Selasa, 08 Oktober 2024

Pagi itu, Laras yang baru berusia 4 tahun duduk tekun dengan krayon berwarna-warni di tangannya. Coretan-coretan tak beraturan memenuhi kertas gambar di hadapannya. Garis-garis melengkung, melingkar, dan zigzag berwarna merah, biru, dan kuning saling tumpang tindih. Namun, ketika aku mendekati dan bertanya tentang gambarnya, mata bocah 5 tahun itu berbinar-binar. Dia menjelaskan "Ini mama lagi masak di dapur, Bu!" serunya dengan bangga, menunjuk pada sekumpulan garis melingkar di pojok kertas. "Yang ini asap dari masakannya mama, enak lho bu rasanya!" Laras menjelaskan sembari menunjuk garis-garis vertikal yang menjulang ke atas.


Sebuah ilustrasi yang pasti seringkali ditemui para praktisi pendidikan anak usia dini, bukan? Celoteh lucu namun memiliki makna yang mendalam. Kita sebagai orang dewasa harus mampu memberikan apresiasi pada hasil karya yang mungkin secara kasat mata orang dewasa sangat membingungkan. Bagaimana nih supaya kita bisa menyikapi secara bijak tetang daya pikir dan imajinasi anak? Sepertinya kita harus membuka wawasan kita tentang hakikat dari seni rupa anak usia dini, yuk kita telusuri.

karakteristik seni rupa anak



Hakikat Seni Rupa Anak Usia Dini


Mengacu pada esensi atau makna dasar dari aktivitas seni yang dilakukan oleh anak-anak pada tahap awal perkembangan mereka. Seni bagi anak usia dini bukan sekadar aktivitas untuk menciptakan gambar atau bentuk visual, melainkan sebuah media untuk berekspresi, mengeksplorasi, dan memahami dunia di sekitarnya. Apa maksudnya?

1. Seni sebagai Sarana Ekspresi Diri dan Emosi Anak


Seni rupa bagi anak usia dini merupakan media utama untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran yang mungkin belum bisa mereka ungkapkan secara verbal. Pada usia dini, kosakata anak masih terbatas sehingga mereka lebih mudah mengomunikasikan apa yang mereka rasakan melalui coretan, warna, dan bentuk. Setiap goresan atau pilihan warna yang mereka gunakan mencerminkan suasana hati, pengalaman, dan pandangan mereka terhadap dunia.

Biasanya ketika seorang anak merasa bahagia, ia cenderung menggunakan warna-warna cerah seperti kuning atau merah. Sebaliknya, saat anak merasa marah atau sedih, mereka mungkin memilih warna gelap atau membuat coretan yang intens.

Selain itu gambar hasil kreasi anak usia dini sering kali memiliki makna simbolis. Contohnya, bentuk lingkaran mungkin dianggap sebagai orang tua, garis-garis sebagai tangan atau kaki, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol ini, mereka berusaha menggambarkan hubungan emosional dengan orang dan lingkungan sekitarnya.


2. Seni merupakan Proses Kreatif yang Alami bagi Anak


Hakikat seni rupa pada anak usia dini lebih menekankan pada proses daripada hasil akhir. Proses kreatif ini mencakup eksplorasi bahan, alat, dan teknik, serta bagaimana mereka menciptakan karya dengan cara yang unik dan spontan.

Anak-anak bisa bereksperimen dengan berbagai alat dan media seperti krayon, cat air, atau playdough. Mereka menikmati sensasi memegang kuas, mencampur warna, atau merasakan tekstur kertas. Dalam konteks ini, seni adalah kegiatan bermain yang kaya akan pengalaman sensorik.

Dalam kegiatan menggambar anak memiliki kebebasan berekspresi tanpa batasan. Mereka tidak terlalu terikat pada konsep estetika orang dewasa, seperti komposisi, proporsi, atau perspektif. Justru, kebebasan ini menciptakan karya yang orisinal dan menunjukkan keunikan pemikiran anak-anak.

kagiatan seni rupa anak


3. Seni Rupa sebagai Alat untuk Mengembangkan Berbagai Aspek Perkembangan Anak


Seni rupa memainkan peran penting dalam mendukung perkembangan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial-emosional anak, bahkan juga bisa mengembangkan aspek spiritual dan moralmnya. Melalui aktivitas seni, anak-anak tidak hanya belajar menggambar atau melukis, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan motorik, dan pemahaman tentang interaksi sosial.

Ketika anak menggambar, mereka belajar menghubungkan konsep-konsep abstrak dengan bentuk visual. Mereka mulai memahami konsep spasial (atas, bawah, dekat, jauh), serta memikirkan urutan langkah untuk mencapai hasil tertentu.

Penggunaan alat-alat seni seperti pensil warna, kuas, atau gunting melatih otot-otot kecil di tangan dan jari, yang sangat penting untuk keterampilan menulis di masa depan.

Melalui seni, anak-anak belajar mengelola emosi, bekerja sama, berbagi alat dengan teman, dan menghargai karya seni orang lain.


4. Seni Rupa sebagai Media untuk Belajar dan Mengembangkan Kreativitas


Hakikat seni rupa anak usia dini juga terletak pada kemampuannya untuk menumbuhkan kreativitas. Kreativitas bukan hanya tentang menciptakan karya seni, tetapi juga tentang cara berpikir yang fleksibel dan inovatif. Seni membantu anak-anak belajar berpikir di luar kebiasaan, melihat berbagai kemungkinan, dan menemukan solusi baru untuk suatu masalah.

Melalui seni, anak-anak berlatih menggunakan imajinasi mereka. Ketika seorang anak menggambar sebuah rumah dengan pintu berbentuk bintang atau pohon yang berwarna biru, dia tidak hanya bereksperimen dengan bentuk dan warna, tetapi juga menunjukkan kemampuannya untuk berpikir imajinatif.

Seni mendorong anak-anak untuk membuat keputusan sendiri. Ketika mereka memutuskan warna apa yang akan digunakan atau bagaimana mengatur elemen-elemen dalam gambar, mereka sedang berlatih membuat pilihan dan menilai hasilnya.


5. Seni Rupa merupakan Proyeksi Dunia Anak yang Autentik


Hakikat seni rupa pada anak usia dini adalah bagaimana seni mencerminkan dunia mereka secara autentik. Setiap gambar atau patung sederhana yang dibuat anak merupakan cerminan dari cara mereka melihat, memahami, dan memaknai lingkungannya.

Gambar kreasi anak sering kali merepresentasikan apa yang penting bagi mereka. Misalnya, anak yang sering menggambar keluarga mungkin sedang mengekspresikan rasa sayangnya atau keinginannya untuk dekat dengan keluargaNAh, orang dewasa diharapkan peka terhadap hal ini.

Setiap karya seni yang dihasilkan anak adalah unik. Meskipun mereka mungkin menggambar objek yang sama (misalnya, semua anak diminta menggambar rumah), hasil akhirnya akan berbeda karena setiap anak memiliki persepsi, gaya, dan cara mengekspresikan diri yang berbeda.


6. Seni Rupa merupakan Pembentukan Identitas dan Rasa Diri


Seni rupa adalah salah satu cara anak mulai membangun identitasnya. Melalui seni, mereka dapat menunjukkan siapa mereka, apa yang mereka sukai, dan bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri. Misalnya, anak-anak yang lebih sering menggambar tokoh superhero mungkin mencerminkan keinginan untuk menjadi kuat atau berani. Ini adalah bagian dari proses mereka memahami diri sendiri dan peran mereka dalam lingkungan.

Demikianlah hakikat seni rupa bagi anak usia dini. Ternyata seni rupa bukan hanya sekedar coretan yang tak bermakna namun memiki banyak pesan yang tersampaikan. Lalu apa saja kemampuan dasar yang dimiliki anak untuk seni rupa ini. Sekarang mari kita lanjutkan diskusi kita tentang hal ini.


alat seni rupa anak usia dini


Kemampuan Dasar Seni Rupa Anak Usia Dini



Kemampuan dasar seni rupa pada anak usia dini mencakup serangkaian keterampilan yang mendukung mereka untuk mengekspresikan diri dan berkomunikasi melalui media visual. Pada tahap usia ini, anak-anak sedang dalam proses mengembangkan pemahaman awal tentang elemen-elemen seni seperti garis, bentuk, warna, serta koordinasi gerak tangan dan mata. Memahami kemampuan dasar ini penting bagi orang tua dan pendidik agar dapat memberikan dukungan yang sesuai untuk menstimulasi kreativitas dan perkembangan anak. Apa saja kemampuan dasar tersebut?


1. Kemampuan Motorik Halus


Kemampuan motorik halus berkaitan dengan pergerakan otot-otot kecil di tangan dan jari anak yang penting untuk aktivitas menggambar, mewarnai, memotong, dan membentuk. Pada tahap usia dini, perkembangan motorik halus merupakan landasan utama untuk keterampilan seni yang lebih kompleks.

Untuk menguasai gerakan dasar seperti menggenggam alat tulis (krayon, pensil warna, spidol), membuat coretan, dan menggambar garis lurus, lingkaran, dan bentuk geometris sederhana lainnya dibutuhkan Latihan yang panjang. Awalnya, garis-garis mungkin terlihat goyah atau tidak rata, tetapi dengan latihan, kemampuan motorik ini akan semakin baik.

Ketika anak mengarahkan kuas untuk mengikuti pola atau membuat garis sesuai imajinasinya, ia sedang mengasah koordinasi antara penglihatan dan gerakan tangan. Kegiatan seperti melukis di area yang ditentukan atau menelusuri garis dapat meningkatkan kemampuan ini.


2. Pengembangan Kognitif: Mengidentifikasi Garis, Bentuk, dan Warna


Pada tahap usia dini, anak-anak belajar mengenali dan membedakan elemen-elemen seni rupa dasar seperti garis, bentuk, dan warna. Pemahaman ini merupakan kemampuan kognitif yang berfungsi sebagai dasar untuk menciptakan komposisi visual yang lebih terstruktur di masa depan.

Garis adalah elemen pertama yang dipelajari anak-anak. Mereka mulai memahami konsep garis lurus, melengkung, zigzag, atau spiral, yang kemudian dikembangkan menjadi bentuk-bentuk sederhana. Kemampuan ini terlihat saat mereka mulai membuat pola berulang seperti garis-garis di sekitar objek atau pola dekoratif.

Bentuk dasar dengan aneka jenisnya mulai dikenali oleh anak usia dini seperti lingkaran, persegi, segitiga, dan oval. Mereka menggunakan bentuk ini untuk menggambarkan benda-benda yang akrab seperti wajah (lingkaran untuk kepala), rumah (segitiga untuk atap), atau pohon (lingkaran untuk dedaunan dan garis untuk batang).

Permainan warna menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi anak. Mereka mulai mengenali warna primer (merah, kuning, biru) dan sekunder (hijau, jingga, ungu) melaui kegiatan seni rupa. Mereka bisa menggunakan warna yang cerah untuk mengekspresikan kegembiraan atau warna gelap untuk menggambarkan suasana hati yang lebih tenang.


3. Kemampuan Menggambar Simbol dan Representasi


Kemampuan menggambar simbol merupakan tahap awal dalam mengembangkan kemampuan representasi visual anak. Ini terjadi ketika anak mulai menggambar objek-objek dengan cara yang sederhana, namun cukup untuk dikenali, meskipun mungkin tidak realistis

Anak-anak biasa menggambar manusia dengan bentuk sederhana seperti “manusia kepala-kaki” (lingkaran sebagai kepala dan dua garis sebagai kaki). Meski bentuk ini tidak proporsional, itu adalah tahap penting di mana mereka belajar menghubungkan simbol dengan objek nyata.

Anak-anak juga cenderung menggunakan simbol-simbol yang sudah mereka kenal secara berulang, misalnya menggambar rumah dengan bentuk kotak yang sama atau pohon dengan batang lurus dan daun berbentuk lingkaran. Ini menunjukkan perkembangan dalam mengingat dan mengaplikasikan skema visual mereka.

4. Eksplorasi Media dan Alat Seni


Eksplorasi media adalah kemampuan dasar lainnya yang penting dalam seni rupa anak usia dini. Anak-anak bereksperimen dengan berbagai alat dan bahan untuk mengetahui karakteristik masing-masing media seni.

Pada usia dini, anak-anak belajar menggunakan berbagai alat seni seperti krayon, spidol, cat air, tanah liat, atau kapur. Setiap media memberi pengalaman sensorik yang berbeda. Misalnya, menggambar dengan krayon menghasilkan goresan yang kasar, sedangkan cat air lebih lembut dan cair.

Anak usia dini sering mencoba mencampur berbagai media. Misalnya, menggambar garis dengan pensil warna kemudian menambahkannya dengan cat air, atau membuat kolase dari kertas dan bahan lainnya. Ini membantu mereka memahami bahwa setiap media memiliki efek visual yang unik.


kegiatan seni rupa anak usia dini



5. Kemampuan Membuat Komposisi Sederhana


Anak-anak usia dini mulai belajar menempatkan elemen-elemen dalam kertas atau kanvas mereka untuk menciptakan komposisi yang teratur. Mereka mulai belajar memahami konsep atas-bawah, dekat-jauh, besar-kecil. Misalnya, mereka menggambar matahari di bagian atas kertas, pohon di sebelah rumah, dan jalan di bagian bawah. Ini adalah pemahaman awal tentang tata ruang dan perspektif.


6. Ekspresi Kreatif dan Imajinasi


Imajinasi anak usia dini terkadang di luar ekspektasi kita. Kemampuan untuk memanfaatkan imajinasi dan kreativitas dalam seni merupakan dasar penting bagi perkembangan seni rupa mereka. Mereka menggunakan seni untuk menciptakan dunia fantasi, karakter unik, atau peristiwa yang hanya ada dalam pikiran mereka.

Selain itu kegiatan menggambar acap kali menjadi wadah bercerita apa yang ada di pikiran dan hatinya. Misalnya, mereka bisa menggambar dinosaurus yang terbang atau ikan yang berjalan di darat. Imajinasi ini membantu mereka mengembangkan kemampuan berpikir kreatif yang penting di masa depan.


Masa kanak-kanak memang masa yang unik dan menyenangkan. Agar Super Parents dapat memberikan stimulasi yang tepat untuk mereka maka ada baiknya kita mengetahui juga tentang karakteristik kemampuan seni yang ada pada anak-anak di suia dini. Apa saja, sih. Yuk disimak!

Karakteristik Seni Rupa Anak Usia Dini


Anak usia dini memiliki dunia seni yang penuh warna dan imajinasi. Ketika mereka berinteraksi dengan krayon, cat, atau sekadar coretan sederhana, mereka sedang berkomunikasi melalui bahasa visual yang menggambarkan pemikiran dan perasaannya. Agar kita mampu menjadi sosok yang menghargai kreativitas si cilik perlu kiranya kita memahami tentang karakteristik seni yang dimiliki oleh anak. Apa saja?

1. Karakteristik Umum Seni Anak Usia Dini


Ekspresif dan Bebas

Seni anak-anak cenderung tidak terikat pada aturan formal. Mereka tidak khawatir tentang proporsi, perspektif, atau detail yang akurat. Alih-alih, mereka lebih fokus pada perasaan dan imajinasi, sehingga karya mereka cenderung lebih ekspresif dan spontan.


Simbolis dan Tidak Realistis


Pada usia dini, gambar anak-anak lebih bersifat simbolis. Misalnya, lingkaran dengan garis bisa dianggap sebagai manusia. Mereka belum mampu merepresentasikan objek secara realistis, tetapi simbol-simbol ini menggambarkan pemikiran internal mereka.


Warna yang Berani dan Tidak Terbatas


Anak-anak usia dini memilih warna berdasarkan preferensi emosional, bukan realitas. Misalnya, pohon bisa digambar berwarna ungu dan matahari berwarna hijau. Ini menunjukkan betapa pentingnya perasaan dan intuisi dalam pemilihan warna mereka.



tahapan perkembangan seni rupa anak

 

2. Karakteristik Khusus Seni Anak Usia Dini


Menurut Viktor Lowenfeld, seorang pakar pendidikan seni anak, seni anak usia dini memiliki karakter khusus di setiap tahapan perkembangannya. Tahap perkembangan seni anak usia dini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya yaitu:

Tahap Coretan (2-4 Tahun)


Di tahap ini, anak-anak mulai membuat tanda-tanda pertama pada kertas. Coretan tidak memiliki makna tertentu, tetapi mereka merepresentasikan upaya anak dalam berinteraksi dengan media seni. Coretan ini berkembang menjadi pola yang lebih kompleks ketika anak-anak mulai menemukan kontrol motorik.


Tahap Pra-Skematik (4-7 Tahun)

Anak mulai menggambar bentuk yang dikenali seperti manusia, rumah, atau hewan. Gambar manusia biasanya berbentuk "kepala kaki". Lingkaran besar sebagai kepala dan garis sebagai kaki. Ini adalah awal dari representasi simbolis, di mana mereka berusaha menggambarkan pengalaman dan objek di sekitar mereka.


Tahap Skematik (7-9 Tahun)

Pada tahap ini, anak mulai membuat gambar yang lebih terstruktur dengan pola yang berulang. Misalnya, semua manusia dalam gambarnya akan memiliki bentuk tubuh yang sama, menunjukkan pemahaman awal tentang skema. Gambar juga lebih mendetail, dan anak-anak mulai menggambarkan ruang dan ukuran objek.

Kesimpulan


Hakikat seni rupa anak usia dini bukanlah tentang hasil yang sempurna atau karya yang indah menurut standar orang dewasa. Seni pada tahap ini adalah tentang kebebasan berekspresi, eksplorasi kreatif, dan pengembangan berbagai aspek perkembangan anak. Dengan memahami hakikat ini, orang tua dan pendidik dapat memberikan dukungan yang lebih baik dan menciptakan lingkungan yang mendorong anak-anak untuk bereksplorasi dan berkreasi tanpa batas.

Kemampuan dasar seni rupa anak usia dini mencakup keterampilan motorik halus, pengenalan elemen-elemen seni, simbolisasi, eksplorasi media, komposisi sederhana, serta ekspresi imajinasi dan kreativitas. Dengan memahami kemampuan-kemampuan ini, orang tua dan pendidik dapat memberikan bimbingan yang tepat agar anak-anak dapat mengembangkan potensi seni mereka secara optimal. Yuk Super PArents kita dukung anak-anak kita agar bisa berkembang secara optimal melaui setiap aspek perkembangan yang mereka miliki. Salam Pengasuhan!



3 Tenaga Dalam yang Mempengaruhi Sikap Manusia Ini Wajib Kalian Tahu!

Senin, 07 Oktober 2024
Hai Super Parents

Pernahkah Super Parents merenungkan bahwa ternyata menanamkan nilai moral pada anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Nilai moral bukan hanya kisaran tentang hal baik dan buruk saja. Lebih dari itu! Nilai moral layaknya sebuah tatanan sosial. Dia yang menjadi kompas bagi manusia dan menuntun manusia agar memiliki hidup yang nyaman ketika berdampingan dengan sesamanya dan juga lingkungannya.


contoh nilai moral



Layaknya sebuah peta yang menuntun kita menemukan apa yang kita tuju, nilai moral juga bisa menyelamatkan hidup kita. Baik dan buruk, benar atau salah, patut dan tidak patuk bisa kita ketahui dari pendidikan moral. 

Di tengah arus globalisasi saat ini nilai moral menjadi sebuah hal yang sangat krusial dalam membentengi pertahanan karakter juga kepribadian para generasi bangsa terutama kaum muda.

Bahkan dalam konteks yang lebih luas nilai, nilai moral bukan saja sebuah aturan, namun sebuah tradisi yang diturunkan secara terus menerus dari generasi ke generasi serta memenuhi standar tradisi.

Tentu saja setiap budaya memiliki standar tersendiri untuk sebuah etika dan moral, ada standar yang disepakati bersama di setiap lingkungan dan daerah yang satu akan berbeda dengan yang lainnya. Namun, ada kesepakatan universal yang di dalamnya yang bisa dijadikan pegangan ketika sudah membaur secara luas. Nilai universal ini lah yang akan menjadi benang merah yang menjadi perekat dan penghubung berbagai kelompok masyarakat dalam membangun harmoni sosial.

Untuk itu tugas super parents untuk mendampingi buah hati tercintanya untuk menjadi generasi yang bisa berperan di dalam lingkungannya, karena memahami dan menginternalisasi sebuah kebiasaan bukanlah proses yang terjadi secara instan, namun merupakan perjalanan seumur hidup yang mulai ditanamkan dari sejak dini.

Layaknya membangun sebuah gedung, jika ingin hasil yang kokoh maka dari awal pembangunan pondasi harus diperhitungkan secara matang, agar bisa menopang bangunan yang berat di atasnya. Begitu pun dengan nilai moral yang baik perlu pemahaman yang baik, pengamalan secara konsistensi dan dukungan dari lingkungan sekitar.

Peran keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat adalah hal yang sangat krusial dalam proses penanaman nilai moral ini. Melalui interaksi sehari-hari, teladan yang baik, dan pembelajaran yang berkelanjutan, nilai-nilai moral dapat tertanam dan tumbuh menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Di sinilah pendidikan sejak dini sangat ditekankan.

Meskipun mengajarkan moral pada anak tidak sesederhana menanamkan nilai baik dan buruk dan ada proses psikologis yang kompleks menyertainya, namun tentu saja hal ini bisa kita upayakan. Melalui konsistensi dan pemahaman yang mendalam menanamkan nilai moral pada anak sejak dini bisa kita upayakan.

Agar lebih memahami seluk beluk proses pola orientasi moral pada anak usia dini mari kita kaji dari perspektif teori disonansi moral dan konsep psikoanalisis Sigmund freud tentang "Id, Ego dan Super  Ego", yang lebih dipahami sebagai tiga tenaga dalam yang akan mempengaruhi perilaku manusia apakah akan senderung ke arah positif atau negatif. 

Memahami Disonansi Moral pada Anak


Apa itu disonansi moral? Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal yang asing bahkan ada juga yang baru pertama kali mendengar. Mari kita jabarkan secara singkat dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami.  

Disonansi moral merupakan ketidaknyamanan psikologis yang muncul ketika terjadi pertentangan antara apa yang diketahui sebagai hal yang benar dengan apa yang diinginkan atau dilakukan. Hal ini bisa sangat mungkin terjadi pada anak, sebuah pertentangan batin terhadap hal yang disukai dalam dirinya namun ternyata kaidah sosial mengatakan itu tidak baik. Contohnya bagaimana?

Contoh Disonansi Moral dalam Keseharian Anak


Disonansi moral pada anak bisa terjadi pada kasus ketika anak sedang bermain bersama. Berebut mainan yang terjadi pada anak tentu saja bukan hal asing. 

Contoh kasus disonansi moral pada anak. Rara memahami bahwa berbagi itu baik, namun jika dia mengikuti keinginan hati dia tidak ingin berbagi mainan kesayangannya. Disonansi dari kejadian ini artinya  adanya konflik dari dalam diri ananda Rara bahwa kewajiban moral tentang berbagi mainan itu baik tapi sesungguhnya dia tidak mau berbagi, entah dikarenakan takut mainannya rusak atau dia belum puas memainkannya.

Contoh kasus disonansi moral yang lainnya adalah tentang konsep kejujuran. Diumpamakan anak tahu bahwa berbohong itu salah, namun dikarenakan takut dihukum anak jadi memilih untuk berbohong. Disonansi moral terjadi dikarenakan pertentangan antara nilai kejujuran dan rasa takut.

Nah, sudah ada gambaran, kan tentang disonansi moral? Sekarang  bagaimana cara mengatasinya agar anak mampu memahami dan lebih mengedepankan untuk menerapkan nilai moral yang positif? Yuk kita lanjut diskusinya.


Cara Mengelola Disonansi Moral


Bagaimana cara mengelola disonansi moral yang dialami oleh ananda Rara? Untuk kasus Rara, sebagai orang tua maupun pendidik tentunya harus memiliki tip dan trik jitu agar bisa sesuai dalam menghadapinya. 

Apa yang harus dilakukan terlebih dahulu? 

Hal pertama yang harus dilakukan adalah melalui pendampingan empatik, yaitu dengan cara mendengarkan konflik internal anak, membantu anak mengekspresikan perasaannya, dan juga memberikan validasi atas perasaan yang dialami.


Hal kedua adalah melakukan dialog reflektif, yaitu dengan cara mengajak ananda mendiskusikan pilihan-pilihannya, selanjtutnya embantu ananda memahami konsekuensi setiap pilihan. Jangan lupa untuk tetap mendampingi ananda serta mendukung proses pengambilan keputusan moral.


Nah, setelah kita mengetahui konsep disonansi moral perlu juga nih super parents mengetahui juga konsep tentang tiga tenaga dalam yang menggerakkan moral anak manusia. Apa sajakah itu?

Perkembangan Moral dalam Perspektif Id, Ego, dan Superego


Selain tentang disonansi moral yaitu adanya ketidaknyamanan psikologis yang muncul ketika terjadi pertentangan antara apa yang diketahui sebagai hal yang benar dengan apa yang diinginkan atau dilakukan, maka dalam pola perkembangan moral yang terjadi pada anak manusia dari perspektif psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dijelaskan bahwa perkembangan moral sangat dipengaruhi oleh peran tiga tenaga dalam yang ada dalam diri manusia yaitu "ID, Ego dan Super Ego".

Kita ketahui dulu yuk apa itu makna dari ketiga tenaga dalam tersebut. 

Id adalah sebuah dorongan yang berasal dari dalam diri manusia yang bersifat nafsu karena hal ini sangat berkaitan dengan keinginan terhadap segala sesuatu yang enak, nyaman, memuaskan dan membahagiakan. Tenaga atau dorongan ini lebih mengarahkan manusia untuk bersikap instan dalam mendapatkan kenikmatan hidup.

Ego adalah Suatu dorongan dalam diri manusia yang berfungsi menyeimbangkan sebuah dorongan yang bersifat Id. Caranya yaitu dengan mengalihkan segala bentuk dorongan yang bersifat Id ke dalam konsep berpikir tentang kenyataan yang ada dari pengalaman hidup dan menyesuaikan dengan fakta yang teradi.

Super Ego adalah dorongan yang muncul dan berfungsi sebagai alat kontrol yang muncul dari segala keinginan Id dari dalam diri manusia. Alat kontrol dari Super Ego ini adalah berupa kaidah moral yang ada dalam masyarakat serta agama yang dianut oleh manusia. 

Dari penjelasan tentang tiga tenaga dalam yang ada dalam diri manusia tersebut diatas apakah sudah bisa dipahami?Kalau belum yuk kita lanjutkan diskusinya. Sekarang kita coba aplikasikan pada kejadian sehari-hari yang biasa kita alami. Kita fokuskan tentang kejadian pada anak-anak, ya!


1. Id pada Anak


Karakteristiknya merupakan dorongan primitif dan keinginan dasar yang berasal dari prinsip-prinsip kesenangan yang ingin dipuaskan segera. Bisa digambarkan dengan kasus Rara yang sangat menginginkan mainan temannya secara spontan, Rara akan menangis jika keinginannya tersebut tidak bisa terpenuhi, sehingga sangat sulit sekali untuk menunda dan segera ingin mendapatkan kepuasan.

2. Ego pada Anak


Ego memberikan peran sebagai jembatan Id dan realitas yang ada. sebagai alat untuk mengembangkan dan menyeimbangkan kontrol diri serta mempertimbangkan konsekuensi. Contohnya kita sebagai pendidik dan orang tua harus bisa memberikan pemahaman pada Rara bahwa harus bersabar agar mau menunggu giliran serta memahami aturan permainan sehingga mulai bisa bernegosiasi.

3. Superego pada Anak


Super Ego akan berfungsi menginternalisasi nilai moral serta mengembangkan conscience atau hati nurani sehingga terbentuklah idealisme moral. Sebagai contoh ketika pesan moral disampaikan kepada anak maka akan mulai muncul dalam diri anak dalam hal ini kasus yang dialami Rara sehingga Rara akan merasa bersalah dengan sikapnya yang ingin merebut mainan temannya. Anak akan merasa bangga karena telah mampu menahan nafsunya dan bisa berbuat baik. Di sini anak mulai memahami tentang konsep benar atau salah.


Contoh Nilai Penerapan Moral Awal pada Anak


Tahap perkembangan anak yang dari waktu ke waktu mulai pertambah baik dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektifnya, maka peran orang tua serta pendidik sangat dibutuhkan lebih kompleks lagi dalam memperkenalkan nilai moral pada anak.

Segala hal yang berkaitan dengan lingkungan sosial anak harus mendapatkan perhatian yang intens dari kita selaku orang dewasa. Super Parents bisa mulai mengenalkan etika dan perilaku ananda. Tentunya dimulai dari orang tuanya terlebih dahulu dengan cari menjadi contoh yang baik untuk anak.  jangan sungkan untuk memberi pujian  ketika anak sudah berhasil melakukannya. Hal ini sejalan dengan teori behaviourist yang dicetuskan oleh Kohlbergh bahwa contoh dan pujian sangat penting dalam proses pembentukan nilai moral pada anak.

Bisa dimulai dari kegiatan sederhana yang biasa dilakukan sehari-hari seperti etika dalam mengenakan pakaian serta berpenampilan, etika dalam makan, minum, tata cara berperilaku kepada orang lain, juga membiasakan berperilaku sesuai dengan tuntutan norma yang ada.

Bisa dipastikan, bahwa peran orang tua melalui komunikasi yang intens sangat penting! Oleh sebab itu keterkaitan hubungan yang dekat antara orang tua dan anak tidak bisa dipisahkan dari sosialisasi tentang penanaman moral. 

Pada tahapan pola orientasi moral yang diterapkan pada anak kita bisa memilah dan memilih dengan memulainya dari hal-hal yang sederhana. Contoh nilai moral yang bisa diterapkan di awal adalah sebagai berikut:

1. Nilai Moral dalam Bersikap dengan Orang Lain


Usia berapa saat yang tepat mengenalkan nilai moral ketika bersikap dan berhubungan dengan orang lain di lingkungan anak? NAh ketika kemampuan psikomotorik dan bahasa anak mulai terbbentuk biasanya ketika memasuki usia 2 tahun, di sinilah saat yang tepat untuk mengenalkan nilai moral yang ada di lingkungannya tentatang bagaimana ananda harus bersikap kepada orang lain.

Bagaimana maksudnya? Misal: biasanya adat di beberapa daerah di Indonesia budaya cium tangan ketika yang muda bertemu dengan orang yang lebih tua dibiasakan uuntuk mencium tangan orang yang lebih tua. Orang tua atau pendidik bisa memberikan arahan agar anak mau menyapa dengan mengucapkan salam dan mencium tangan tante atau om yang masih terbilang kerabat dekat. Ketika cara mencium tangan ananda salah dalam penerapannya, kita sebagai orang tua bisa memintanya untuk memperbaiki dan mencontohkan cara yang benar.

Orang tua juga perlu mengajarkan bagaimana cara berbicara yang sopan dan pantas dan volume yang tepat ketika berbicara dengan orang lain. Lakukan dengan cara persuasif jangan memaksa dan memarahi.


2. Nilai Moral dalam Cara Berpakaian dan Berpenampilan yang Baik


Nilai moral selanjutnya yang harus ditanamkan pada anak usia dini adalah mengajarkan bagaimana cara berppakaian yang layak dan sesuai dengan kebutuhan, tempat dan waktu. Baju musim panas tentu sangat berbeda dengan baju musim dingin, dong, ya. Jangan sampai ketika ingin keluar rumah si kecil meminta menggunakan jaket tebal padahal di luar cuaca sedang panas-panasnya. Kewajiban orang tua nih mengedukasi secara sabar.

Ada lagi nih kejadian. Seorang anak kecil nangis-nangis tidak ingin menggunakan baju lengkap hanya ingin menggunakan kaus singlet dan celana dalam, padahal ingin ikut ayahnya ke kantor menggunakan motor. Waaah, ini sih drama banget yaa...tapi memang itu bukan hal yang mustahil terjadi pada anak usia dini. 

Di sinilah peran pendidik dan orang tua untuk memberi pemahaman tentang kelayakan dalam menggunakan pakaian. Id ananda menguasai untuk tidak ngin mengenakan baju, sebagai orang tua kita harus bisa menjelaskan dan membujuk agar ananda mau menyesuaikan diri dengan aturan yang harus dia taati, Si ade akhirnya mau mengenakan pakaian lengkap untuk menjagga dirinya (Ego) menggunakan pakaian lengkap ketika berkendaraan bisa menyelamatkan dia dari serangan penyakit (Super Ego).


3. Nilai Moral dalam Cara Makan dan Minum


Meskipun kegiatan makan dan minum tidak berhubungan dengan orang lain, namun biasanya makan dan minum juga dilakukan bersama orang lain. Untuk itu kelayakan dalam etika makan harus ditanamkan dari sejak dini kepada ananda.

Misalnya dengan mengajari anak makan menggunakan tangan kanan. Menjaga peran tangan kanan dan tangan kiri agar terlihat seimbang. Membaca doa sebelum makan dan sesudah makan. Jangan berbunyi mulutnya ketika makan, jangan makan sambil berbicara, makanlah sambil duduk dan etika baik lainnya ketika makan dan minum harus kita terapkan pada anak.

Biasakan juga anak untuk menghabiskan makanannya. Ketika anak sudah mulai besar dan pengetahuan kognitifnya bertambah, kita juga bisa mengenalkan tentang manfaat makan makanan yang bergizi bagi tubuh. Anak usia 2 tahun juga sudah mulai bisa kenalkan pada kebaikan tentang makanan. Pengenalan adab ketika makan dan minum ini sangat penting diterpakan sehingga ketika anak sudah mulai masuk TK anak sudah terbiasa dengan pola makan dan minum yang baik.

4. Nilai Moral dalam Memperlancar Hubungan Anak dengan Orang Lain dan Lingkungannya


Penanaman nilai moral pada poin ini berkaitan dengan orang lain dalam kaitannya terhadap hubungan tidak langsung. Misalnya harus menjaga tata tertib di lingkungan seperti jangan berbuat bising, jangan teriak-teriak atau menyalakan musik dengan sangat kencang sehingga mengganggu kenyamanan tetangga sekitar.

Hal ini biasa terjadi juga pada anak usia dini, misalnya pada kasus Hanif yang sering tantrum di rumah ketika tidak dibelikan mainan kesukaannya, dia melempar perabotan rumah, memukul ibunya bahkan melempari ibu serta terkadang mengenai adiknya yang masih bayi.

Perilaku seperti ini sangat merugikan, untuk itu perlu perhatian intens dan penanganan yang serius terhadap kebiasaan ini agar tidak berlanjut sampai besar. NAh, sekarang yuk kita lanjut mengembangkan obrolan kita pada strategi yang bisa kita terapkan dalam menangani pengembangan nilai moral pada anak, apa saja nih yang bisa kita lakukan? Yuk kita bahas lanjut.

Strategi Pengembangan Moral Integratif


1. Mempertimbangkan Tahap Usia Perkembangan



Sebelum kita masuk pada tahap cara atau strategi yang bisa kita terapkan dalam mengembangkan nilai moral anak, sangat penting untuk mempertimbangkan rentang usia anak agar kita bisa memilih stimulasi yang tepat untuk anak yang disesuaikan dengan kebutuhannya.

Untuk anak usia 2-3 tahun strateginya adalah fokus pada id dan kebutuhan dasar. Mulailah untuk mengenalkan batasan sederhana. Jangan malas atau sungkan untuk memberikan pujian pada setiap perilaku positif yang dilakukan ananda.

Untuk anak usia 4-5 tahun penguatan ego bisa dilakukan melalui aturan dan konsekuensi selanjutnya kita mulai membangun pemahaman moral dasar serta mengembangkan rasa empati ananda.

Untuk anak di rentang usia 6-7 tahun pembentukan superego yang lebih matang bisa dengan cara mulai mengenalkan nilai-nilai moral kompleks serta mulai mengajak anak menggunakan nalarnya. Setelah memperhatikan rentang usia kita bisa memikirkan tentang metode yang akan digunakan dalam menanamkan nilai moral pada anak.


2. Aktivitas Pengembangan Moral


Aktivitas yang bisa kita sajikan pada anak ketika memberikan pemahaman tentang nilai moral diantaranya yaitu bisa melakukan aktivitas bermain peran. Melalui aktivitas bermain peran anak dilatih dalam memahami resolusi konflik moral. mengembangkan empati dan juga memperkuat ego.

Kegiatan atau aktivitas lainnya bisa dengan membacakan cerita atau dongeng yang memiliki pesan dan nilai moral. Orang tua bisa membacakan dongeng sebelum tidur yang dilanjutkan dengan mendiskusikan pesan moral dalam cerita, biarkan anak menceritakan ulang dengan bahasanya.

Anak bisa dipahamkan dari konflik yang ada dalam buku cerita, untuk itu hal ini sangat bermanfaat dalam mengenalkan dilema moral dengan cara melakukan diskusi reflektif. Bermanfaat sekali terhadap penguatan superego.

Menanamkan nilai moral pada anak juga bisa dilakukan melalui aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Misalnya dengan mengajak anak belanja dan mengantri. Libatkan ananda dalam kegiatan berbelanja dan biarkan dia terlibat dalam dalam kegiatan membantu orang lain.

Bisa juga memilih kegiatan berupa proyek sosial sederhana, misalnya membuat proyek "Kotak Kebaikan". Pelaksanaan aktivitasnya yaitu membuat kotak dari kardus bekas, selanjutnya dihias dengan gambar dan warna cerah. Kota ini bisa dijadikan media untuk mengumpulkan catatan kebaikan yang dilakukan setiap hari

Cara pelaksanaannya setiap malam sebelum tidur, anak menceritakan satu kebaikan yang dilakukan
dengan cara menulis di kertas kecil dan dimasukkan ke dalam kotak kebaikan. Buka dan baca bersama setiap akhir minggu. Melalui kegiatan ini kita dapat mengembangkan nilai kesadaran berbuat baik, mengembangkan empati dengan cara melakukan kegiatan refleksi diri. Menanamkan rasa bangga atas perbuatan positif yang sudah dilakukan.

Tips Praktis untuk Pendidik dan Orang Tua


Ada beberapa tips praktis nih yang bisa diterapkan oleh para pendidik dan orang tua dalam membersamai ananda mengembangkan nilai moral dan pengetahuan moralnya. Beberapa tips tersebut diantaranya, kita harus mampu mengelola disonansi dengan cara mengenali tanda-tanda disonansi moral. 

Ketika anak terlibat dalam sebuah konflik bantu anak mengekspresikan perasaannya dengan cara menghargai perasaannya terlebih dahulu, menvalidasinya baru kemudian mengarahkan pada nilai moral yang seharusnya. 

Selanjutnya ketika sudah berhasil memvalidasi perasaan anak kita baru bisa melanjutkan membimbing ananda dalam mengambil keputusan apa yang tepat dan harus dilakukan.

Tips berikutnya dengan cara menyeimbangkan Id, Ego, dan Superego. Kita bisa memberikan ruang untuk mengekspresikan keinginan (id) yang dimiliki ananda, selanjutnya baru kita ajarkan bagaimana caranya mengelola dorongan (ego).  Usahakan ketika menanamkan nilai moral kita lakukan secara bertahap (superego), agar anak tetap merasa dihargai dan perasaannya tidak terluka.

Yang tidak kalah penting adalah sebagai orang tua sekaligus pendidik kita harus mampu menciptakan lingkungan yang suportif atau mendunkung. Konsisten dalam menerapkan aturan dan memberikan apresiasi untuk keputusan moral positif yang dilakukan oleh ananda. lakukan dialog terbuka tentang dilema moral yang dialami oleh ananda sampai akhirnya dia mampu mengalahkan Id nya.

Konsisten dalam menerapkan aturan yang sama setiap hari. Jadilah teladan yang baik dan beri apresiasi setiap usaha anak. Bangun komunikasi positif dengan cara menggunakan selalu kata-kata positif yang sifatnya membangun. Jelaskan alasan di balik setiap aturan dan jangan engga untuk mendengarkan pendapat anak. Buat hari-hari yang berjalan selalu dalam kondisi menyenangkan yang sehat serta nyaman. Jangan lupa seimbangkan reward dan jangan memberikan hukuman yang sangat memberatkan ananda.

Kesimpulan


Memahami perkembangan moral anak melalui perspektif disonansi moral dan struktur kepribadian (id, ego, superego) membantu kita dalam merancang pendekatan yang lebih efektif. Selain itu juga kita jadi bisa memahami konflik internal anak serta mendukung perkembangan moral yang sehat.

Mengajarkan nilai moral pada anak itu seperti menanam pohon, butuh kesabaran, perawatan rutin, dan cinta yang tulus. Yang penting, kita konsisten dan jadikan prosesnya menyenangkan. Ingat, anak-anak belajar paling baik ketika mereka merasa aman dan bahagia!

Perlu sekali memahami tahap perkembangan anak melalui pendekatan yang seimbang dan integratif, agar apa yang kita upayakan bisa berdampak dan bermakna. Semoga kita bisa terus sabar ya Super Parents dalam membersamai anak-anak kita yang merupakan buah hati kita tercinta. Kita tidak perlu jadi orang tua yang sempurna. Yang penting adalah terus berusaha dan memberikan yang terbaik untuk si kecil. Salam Pengasuhan. Selamat mendidik buah hati tercinta!







Rahasia Kekuatan Berbicara, Gaya Komunikasi Menginspirasi

Kamis, 03 Oktober 2024
Kata-kata adalah cermin jiwa, setiap ucapan menjadi jendela menuju isi hati seseorang. Berbicara bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sebuah seni pengungkapan yang beragam.

Tentu teman-teman semua mempunyai penilaian kepada setiap lawan bicara, jika seseorang di hadapan kita berbicara dengan mata yang berbinar, senyum yang mengembang dan berbicara berbicara dengan suara yang lantang dan pilihan kata yang penuh semangat mengungkapkan kegembiraan yang sedang ia rasakan. Tentu suasana hati kita akan terbawa semangat dan bergairah. Tanpa sadar, orang tersebut pun telah membuka pintu dunia batin lawan bicaranya melalui cara ia berbicara.

keterampilan berbicara menurut para ahli

 

Apa Makna dari Berbicara?


Para ahli telah lama memahami kekuatan berbicara sebagai cerminan kepribadian. Seperti yang dikatakan Muljana, berbicara adalah bentuk komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai medianya.

Namun, menurut Supriyana (2008) berbicara memiliki makna yang luas. Berbicara lebih dari sekedar alat komunikasi. Supriyana juga menjelaskan tentang konsep berbicara mengandung beberapa makna, yaitu:

1. Berbicara Merupakan Sarana ekspresi diri yang sangat kuat.


Ketika seseorang berbicara, ia sedang menunjukkan sisi pribadinya kepada khalayak. Emosi-emosi seperti kemarahan, kesedihan, atau kebahagiaan sulit disembunyikan dalam nada suara dan pilihan kata. Bahkan ketidakjujuran pun bisa tercium dari cara seseorang menyampaikan pesannya.

2. Berbicara Melibatkan Kemampuan Fisik dan Mental


Menariknya, kemampuan berbicara ini tidak hanya menunjukkan siapa kita, tetapi juga dapat menjadi alat untuk memahami orang lain dengan lebih baik. Setiap percakapan menjadi kesempatan untuk menyelami lautan pikiran dan perasaan manusia yang tak terbatas, bahkan tanpa disadari, proses berbicara yang dilakukan tidak hanya melibatkan urusan fisik, tetapi juga mental.

Kenapa demikian? Karena Ketika seseorang berbicara memiliki arti bahwa dia sedang berusaha mengoordinasikan gerakan mulut, lidah, dan pita suaranya untuk menghasilkan pembicaraan yang bermakna. Namun, lebih dari sekadar menggerakkan otot, tentu saja Ketika kita berbicara kita juga sedang berusaha menerjemahkan ide-ide abstrak menjadi kata-kata konkret. Sebuah sinkronisasi yang cukup rumit antara pikiran dan ucapan.

3. Berbicara adalah proses Menerjemahkan Simbol


Setiap kata yang diluncurkan dari seseorang merupakan simbol, kode yang telah disepakati bersama oleh masyarakat. Ketika ia mengucapkan kata "berkelakar", misalnya, pendengarnya dapat mengerti tentang konsep yang dimaksud, meskipun kata itu sendiri hanyalah rangkaian bunyi tanpa makna bawaan. Hal ini menunjukkan bahwa Ketika seseorang berbicara dia sedang menerjemahkan hal simbolis dalam pikirannya.

4. Berbicara Melibatkan Ruang dan Waktu


Ketika seseorang berbicara, hal ini memiliki makna bahwa ia sedang mempertimbangkan konteks. Seperti halnya Ketika orang melakukan presentasi ilmiah tentu saja akan menyuguhkan pembicaraan yang berbeda Ketika melakukan obrolan santai di café. Seperti yang telah dijelaskan oleh Bapak Muljana (2001) Pemilihan kata, nada suara, bahkan topik yang dibahas, semua disesuaikan dengan tempat dan waktu.

5. Berbicara adalah Sebuah Keterampilan Berbahasa Produktif


Seseorang yang sedang berbicara artinya dia sedang aktif menghasilkan pesan, sementara para pendengarnya menyimak. Dua sisi koin komunikasi ini, berbicara dan menyimak, bekerja sama dalam ruang verbal yang tak terpisahkan.

Melalui pemaparan tersebut akhirnya kita bisa memahami bahwa berbicara bukan sekadar mengucapkan kata-kata. Berbicara merupakan proses kompleks yang melibatkan fisik dan mental, simbolisme dan konteks, serta produktivitas bahasa yang luar biasa.

Coba generasi super bayangkan, Ketika kita sedang duduk di sebuah café favorit sambil menyeruput nikmatnya secangkir kopi bersama sahabat terdekat. Bercerita dan curhat tentang rasa yang pernah ada, tanpa disadari bahwa kita sedang mempraktikan seni berbicara yang telah berjalan selama ribuan tahun.


Prinsip Umum dalam Berbicara


Setelah kita mengetahui makna ‘berbicara’ ternyata masih ada prinsip – prinsip umun dalam berbicara yang harus kita ketahui. Mari kita telusuri bersama rahasia di balik prinsip umum dalam berbicara yang dijelaskan oleh Bapak Tarigan (1981).


1. Duo Dinamis: Pembicara dan Pendengar


Seperti yang dikatakan Tarigan (1981), berbicara dalam bentuk komunikasi harus melibatkan dua orang yaitu pembicara dan pendengar atau biasa disebut komunikator dan komunikan. Jika tidak ada prinsip ini maka belum bisa disebut berbicara. Bayangkan jika kalian berbicara sendirian di kamar. Apa bisa disebut berbicara dalam konteks komunikasi, tapi mungkin bisa dikatakan sedang latihan pidato atau... ehm, menggerutu tentang hari yang berat. Tapi ketika ada orang lain yang merespon, voila! Anda punya komunikasi yang sesungguhnya.


2. Menggunakan Kode Rahasia yang Dipahami Bersama


Ketika kecil dulu, apakah kalian pernah membuat bahasa rahasia dengan teman? Nah, bahasa sebenarnya adalah versi dewasa dari itu. Kita semua setuju bahwa "kucing" berarti hewan berbulu yang suka tidur 16 jam sehari. Itulah yang para ahli sebut sebagai "studi linguistik" yang akhirnya menghasilkan kode rahasia yang bukan rahasia dan akhirnya dipahami serta disepakati bersamma.Tanpa kesepakatan ini, kita mungkin hanya akan saling melongo bingung.


3. Merupakan Sarana Bermain Peran


Dalam percakapan, kita seperti aktor yang berganti peran. Satu menit kita menjadi pembicara, menit berikutnya menjadi pendengar. Ini seperti ping pong verbal, bola pembicaraan terus bergulir bolak-balik antara kalian dan lawan bicara kalian. Seru kan?


4. Merupakan Terjemahan dari Hidup di Saat Ini: Sebelum Era Rekaman


Dulu, sebelum ada alat perekam, berbicara itu seperti Snapchat, sekali dengar, hilang selamanya. Berbeda dengan tulisan yang bisa bertahan ribuan tahun. Tapi syukurlah, sekarang kita punya teknologi untuk mengabadikan suara. Jadi, cucu kita di masa depan masih bisa mendengar lelucon garing kita!

Itulah empat prinsip berbicara yang membuat obrolan di café kopian menjadi lebih dari sekadar basa-basi. Dari membutuhkan partner bicara, berbagi 'kode rahasia' bahasa, bertukar peran, hingga hidup di masa kini. Berbicara merupakan seni yang terbilang kompleks, bahkan kita mempraktikkannya setiap hari tanpa sadar.

Lain kali Ketika kalian para generasi super ngobrol dengan teman, coba lakukan perenungan tentang prinsip-prinsip ini bekerja. Siapa tahu, kalian bisa menjadi ahli komunikasi berikutnya!
 

Apakah Tujuan dalam Berbicara?


Pembicaraan yang kita lakukan dengan lawan bicara kita tentu saja memiliki tujuan, bukan? Atau mungkin kalian pernah bertanya dalam hati, sebenarnya apa sih maksud kita berbicara, kenapa harus berbicara?

Nah, tentu saja sebuah pembicaraan memiliki tujuan. Apa saja? Mari kita telusuri bersama empat tujuan dalam berbicara yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari kita. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Mulyana (2001):

1. Untuk Memudahkan dalam proses bersosialisasi


Berbicara bisa dikatakan memiliki peran sosial yang amat penting. Dia adalah sang pembuat Koneksi Ulung. Anggap saja berbicara ini sebagai sosok Si Sosial, maka Si Sosial ini akan berperan sebagai influencer sejati. Dia ada untuk membantu kalian membangun "personal branding" dan mempertahankan eksistensi, sehingga kalian mampu bersosialisasi dan memiliki circle yang bisa menjadi media supporting dalam kehidupan kalian.

Perlu diketahui Ketika kita akhirnya berani berbicara di depan kelas, fungsi sosialisasi berbicara atau Si Sosialisasi berperan membujuk kalian dan akan berbisik, "Ayo, tunjukkan dirimu!"

Si Sosial ini juga ahli dalam menjaga kalian tetap hidup dan bahagia. Dia yang mendorong Anda untuk memesan makanan di restoran atau meminta bantuan saat tersesat. Tanpanya, kita mungkin masih hidup di gua, berkomunikasi dengan para ulat dan juga laba-laba! Hehe…

2. Mengekspresikan Perasaan


Berbicara berperan untuk menerjemahkan ekspresi yang dimiliki oleh seseorang. Bisa dikatakan dia berperan sebagai si ekspresif. Si Ekspresif yang akan membantu kalian mengucapkan "Aku cinta padamu" pada kencan pertama (meskipun mungkin terlalu dini!). Si Ekspresif juga yang membisikkan kata-kata penyemangat di saat teman kalian patah hati.

Tapi perlu diingat juga, Si Ekspresif tidak peduli apakah orang lain terpengaruh atau tidak. Baginya, yang penting sebuah perasaan bisa tersampaikan.

3. Menjaga Tradisi sebagai Sarana Ritual


Berbicara memiliki tujuan menjaga tradisi. Bisa dikatakan berbicara merupakan sosok Si Ritual Dia adalah karakter yang muncul dalam momen-momen sakral. Dia sebagai sarana berdo’a, dia juga yang berperan dalam momen sakral seperti pernikahan. Berbicara berfungsi sebagai Si Ritual, dia yang akan membimbing kalian untuk mengucapkan sumpah pernikahan.

Berdo’a bagi penganut agama merupakan ritual dan momen sakral yang terjalin antara dia dengan Tuhannya. Berdo’a memiliki arti berbicara dengan sang pencipta dalam momen yang sakral yang berjalan sebagai ritual keagamaan.

4. Bertujuan sebagai Instrumental


Terakhir, tapi tak kalah penting, ada Si Instrumental, atau agen rahasia dalam dunia berbicara. Dia ahli dalam seni berbicara tanpa terlihat sedang menginginkan sesuatu. Jika kalian berperan sebagai pendidik maka Si instrumental ini bisa dijadikan alat penilaian bagi anak didik kalian, atau malah bisa dijadikan alat skala pengukuran dalam menilai seorang atasan.


Instrumen penilaian yang kita susun sangat berperan dalam menilai sesuatu, tanpa kita harus berbicara. Tujuan instrumental ini bisa disebut juga sebagai agen rahasia. Si Instrumental adalah master kamuflase. Dia bisa membungkus tujuan kita dalam balutan kata-kata berupa tulisan.

Jadi, itulah empat tujuan berbicara yang selalu siap membantu kalian dalam petualangan komunikasi sehari-hari. Dari membangun koneksi sosial, mengekspresikan perasaan, menjaga tradisi, hingga mencapai tujuan tersembunyi.

Mereka selalu ada untuk kalian. Jadi, kapan nih terakhir kali kalian mengucapkan terima kasih pada sesosok lidah? Ingat, lho, karena jasa sebuah lidah, kita mampu mewujudkan tujuan kita.

apa-itu-berbicara



Tujuan Berbicara dalam Konteks Pembacaan


Tujuan berbicara dalam konteks sebuah pembacaan sangat erat kaitannya dalam kegiatan bercerita atau mendongeng. Berbicara dalam konteks pembacaan memiliki misi rahasia untuk membuat audiens terpukau dan sebuah pembacaan jadi memiliki nilai. Lalu apa saja tujuan berbicara dalam konteks pembacaan ini? Mari kita sama-sama telaah pemaparan dari Bapak Supriyana (2008)

1. Membuat Audiens Memiliki Kepercayaan


Konteks berbicara dalam hal ini berupaya untuk meyakinkan audiens akan sesuatu dan lebih baik disajikan juga data-data serta fakta sebagai penyerta. Misalnya saja Ketika anda hendak meyakinkan bahwa makanan Bernama Pizza sangat enak rasanya. Selain hanya sekedar mendeskripsikan rasanya, upaya meyakinkan bisa dalam bentuk membawa langsung pizzanya atau menyajikan data berupa pernyaan dari beberapa orang yang menguatkan bahwa pizza itu makanan enak.


2. Mempengaruhi Audiens


Berbicara dalam konteks ini memiliki definisi sebagai pembujuk untuk memberikan pengaruh bagi audiens. Untuk melancarkan misi ini tentu saja butuh strategi, karena menguasai pikirang orang dan mengubah perilakunya bukan hal yang mudah. Ada tiga jurus nih yang bisa diterapkan, diantaranya:

a) Jurus Pembentuk: Menciptakan opini baru.

b) Jurus Penguat: Memperkokoh keyakinan yang sudah ada.

c) Jurus Pengubah: Mengubah pendapat yang sudah mengakar.

Tahu, kan cara kerja iklan. Bahasanya sangat memukau sehingga orang yang melihatnya cenderung ingin mencoba dan langsung membeli atau setidaknya membuat penasaran dan menyimpan niatnya agar suatu saat bisa merasakan.


3. Memberi Wawasan bagi Pendengar


Berbicara juga bertujuan untuk memberikan wawasan bagi pendengarnya. Berbicara bagaikan guru tanpa batas. Si Pemberi Wawasan adalah perpustakaan berjalan. Dia tidak peduli apakah Anda tertarik atau tidak, misinya hanya satu: membuat Anda lebih pintar! Tapi jangan salah, meski misinya mulia, dia tetap harus tampil menarik. Tidak ada yang mau mendengarkan guru yang membosankan, kan?


4. Memberikan Kejelasan pada Sebuah Objek


Bisa dibilang konteks berbicara dalam hal ini bagaikan Si Jenius yang bisa membuat kita "melihat" dengan telinga! Pembicara bisa menggambarkan sesuatu dengan begitu detail, sampai-sampai kita dibuat mampu merasakannya. Pernah membayangkan rasa es krim hanya dari mendengar deskripsinya? Nah, itu kerjaan Si Pelukis Kata! Memberikan kejelasan pada sebuah objek.


5. Menyampaikan Pesan yang Tersembunyi


Terakhir, tapi bukan berarti kurang penting, ada Si Penyampai Pesan Tersembunyi. Dia adalah master cerita, menyisipkan pesan-pesan bijak dalam dongeng dan kisah. Pesan pembicaraan diharapkan bisa menyusup pada pikiran lawan bicara atau audiens.

Setelah mengetahui tujuan berbicara dalam konteks pembacaan, kira-kira kalian sudah pernah berada di posisi yang mana nih? Menjadi peyakin yang punya banyak fakta atau menjadi seorang pelukis kata yang penuh imajinasi?

Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara


Faktor penunjang dalam menguasai seni berbicara dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan.


Faktor kebahasaan terdiri dari:


  1. Ketepatan Ucapan
  2. Intonasi yang tepat meliputi nada, tekanan dan durasi.
  3.  Pemilihan Kata meliputi kata yang tepat, jelas, dan bervariasi.
  4. Kalimat Efektif. Dituntut harus menyusun kalimat yang tepat sasaran. Kalimatnya harus punya impact, bukan sekadar angin lalu!


Faktor Non-Kebahasaan terdiri dari


  1. Sikap. Berusaha untuk menyampaikan dengan sikap yang tenang dan tidak kaku. Ingat, wajar itu kunci!
  2. Pandangan Mata. Ketika kita berbicara selayaknya harus menatap lawan bicaranya. Tidak boleh melihat langit-langit atau menghitung semut di lantai!
  3. Penghargaan. Mampu belajar menghargai pendapat orang lain. Bukan berarti harus selalu setuju, tetapi harus bisa menerima kritik dengan lapang dada.
  4. Gerakan dan Mimik. Tantangannya adalah mampu menggunakan gerakan tangan dan ekspresi wajah yang tepat. Jangan terlalu berlebihan!
  5. Kenyaringan Suara. Harus mampu mengatur volume suaranya. Terlalu pelan, tidak terdengar. Terlalu keras, bisa dikira tukang jualan obat!
  6. Kelancaran dalam Berbicara. Berbicara tanpa terbata-bata atau ragu ketika berucap atau banyak melamun.
  7. Relevansi dalam Berbicara. Berusaha memastikan setiap kata-katanya masuk akal dan berhubungan. Tidak boleh melompat-lompat seperti kelinci!
  8. Penguasaan Topik. Tantangan terakhir dan terpenting: menguasai topik pembicaraan.

Setelah bisa melewati semua tantangan dalam berkomunikasi ini, pertanda kita berhasil menguasai seni berbicara efektif. Akhirnya kita bisa memahami bahwa komunikasi yang baik adalah perpaduan sempurna antara kemampuan kebahasaan dan non-kebahasaan. Untuk itu mari kita mencoba melatih terus kemampuan berbahasa dan non-berbahasa kita. Siapa tahu, suatu hari nanti, kita bisa menjadi pembicara yang handal!

Faktor Penghambat Keefektifan dalam Berbicara


Nah, kalau mau jadi pembicara yang oke, ada beberapa kebiasaan yang sebaiknya kita hindari nih, terutama bagi yang masih pemula. Ini dia tujuh hal yang sering bikin presentasi atau pembicaraan kita jadi terdengar kurang maksimal:

  1. Kebanyakan mengulang kata. Contohnya: "Jadi... jadi... jadi begini..." - Bikin pendengar bosan dan kurang fokus sama pesan utamanya.
  2. Berbicara terlalu cepat. Kayak lagi dikejar deadline aja! Ingat, bicara yang santai tapi jelas lebih enak didengar.
  3. Cara penyampaian kurang oke. Misalnya tidak ada kontak mata atau gerak tubuh kaku. Padahal ini penting sekali membuat pendengar tertarik.
  4. Kebanyakan meniru gaya orang lain. Jadi diri sendiri itu lebih baik daripada jadi kopian orang lain. Keaslian itu nilai plus!
  5.  Berbicara kurang jelas. Seperti halnya orang yang makan sambil ngomong. Artikulasi yang jelas itu kunci biar pendengar paham.
  6. Banyak Jeda. Suka nyelipin 'eee...' atau 'hmm...'. Kebiasaan yang sering banget muncul waktu grogi atau bingung mau ngomong apa.
  7. Penekanan kata yang salah. Bisa bikin makna jadi beda atau malah bikin bingung yang mendengarnya.

Tips singkatnya: Latihan yang rutin dan minta feedback dari orang lain bisa membantu kita menghindari kebiasaan-kebiasaan ini. Ingat, pembicara hebat itu bukan lahir dengan kemampuan sempurna, tapi hasil dari latihan yang konsisten!

Keterkaitan Kemampuan Berbicara dan Mendongeng atau Bercerita


Setelah kita berbicara Panjang lebar tentang keterampilan berbicara apakah ada kaitannya dengan kegiatan bercerita atau mendongeng? Nah, ternyata kemampuan berbicara memiliki peran yang sangat penting sebagai bekal dalam mendongeng untuk anak usia dini. Berikut adalah beberapa keterkaitan antara keduanya:

1. Artikulasi dan Pelafalan


Kemampuan berbicara yang baik mencakup artikulasi dan pelafalan yang jelas. Ini sangat penting dalam mendongeng karena anak-anak usia dini masih dalam tahap belajar bahasa. Pendongeng dengan artikulasi yang jelas akan membantu anak-anak memahami cerita dan mempelajari kata-kata baru dengan lebih mudah.


2. Intonasi dan Ekspresi Vokal


Berbicara dengan intonasi yang tepat dan ekspresif adalah kunci dalam mendongeng. Kemampuan ini membantu pendongeng dalam membawa cerita menjadi lebih hidup, menarik perhatian anak-anak, dan membantu mereka memahami emosi dalam cerita.

3. Pemilihan Kata dan Kosakata


Kemampuan berbicara yang baik melibatkan pemilihan kata yang tepat. Dalam mendongeng untuk anak usia dini, ini berarti menggunakan kosakata yang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka, namun juga memperkenalkan kata-kata baru secara kontekstual.

4. Struktur Kalimat


Kemampuan menyusun kalimat dengan baik sangat penting dalam mendongeng. Kalimat-kalimat sederhana namun efektif akan membantu anak-anak mengikuti alur cerita dengan lebih mudah.

5. Kecepatan dan Ritme Berbicara


Kemampuan mengatur kecepatan dan ritme berbicara sangat penting dalam mendongeng. Pendongeng perlu tahu kapan harus berbicara lebih lambat untuk penekanan, atau lebih cepat untuk bagian yang menegangkan.


6. Improvisasi dan Fleksibilitas


Kemampuan berbicara yang baik termasuk kemampuan untuk berimprovisasi. Dalam mendongeng, ini sangat berguna ketika perlu menyesuaikan cerita dengan reaksi atau pertanyaan anak-anak.

7. Penguasaan Audiens


Kemampuan berbicara di depan umum membantu pendongeng dalam menguasai audiens anak-anak, menjaga perhatian mereka, dan berinteraksi dengan mereka selama sesi mendongeng.

8. Kepercayaan Diri


Kemampuan berbicara yang baik meningkatkan kepercayaan diri, yang sangat penting dalam mendongeng. Pendongeng yang percaya diri akan lebih mampu membawakan cerita dengan menarik dan interaktif.

9. Kemampuan Mendengarkan


Meskipun fokusnya pada berbicara, kemampuan ini juga mencakup kemampuan mendengarkan yang baik. Ini penting dalam mendongeng interaktif, di mana pendongeng perlu responsif terhadap reaksi dan pertanyaan anak-anak.

10. Kreativitas Verbal


Kemampuan berbicara yang baik melibatkan kreativitas dalam penggunaan bahasa. Dalam mendongeng, ini bisa berarti kemampuan untuk menggambarkan adegan, karakter, atau situasi dengan cara yang menarik dan imajinatif bagi anak-anak.


Dengan memiliki kemampuan berbicara yang baik, seorang pendongeng akan lebih mampu menyampaikan cerita dengan cara yang menarik, interaktif, dan bermanfaat bagi perkembangan bahasa dan kognitif anak usia dini.

Evaluasi Keterampilan Berbicara


Evaluasi sangat penting untuk meningkatkan kualitas berbicara seseorang. Melalui evaluasi, pembicara bisa mengetahui apa yang perlu diperbaiki dan apa yang harus dipertahankan. Ada dua cara evaluasi yang bisa dilakukan:

1. Evaluasi Mandiri, diantaranya yaitu:


• Menggunakan alat perekam suara atau video
• Merekam penampilan berbicara
• Memutar ulang dan mengamati setiap bagian
• Mencatat kekurangan dan kelebihan untuk perbaikan

2. Evaluasi dari Orang Lain


• Meminta masukan dari pendengar atau ahli
• Menerima semua jenis masukan (positif maupun negatif)
• Menjadikan kritik sebagai bahan perbaikan
• Menggunakan feedback untuk pengembangan diri

Kunci utamanya adalah keterbukaan terhadap masukan dan kemauan untuk terus memperbaiki diri, baik melalui evaluasi mandiri maupun bantuan orang lain.


Kesimpulan



Menguasai keterampilan berbicara merupakan seni yang memadukan teknik dengan segala hal yang bersumber dari kepekaan hati serta ketulusan.  Perlu diingat bahwa komunikasi efektif bukan melulu tentang apa yang kita katakan, tetapi juga bagaimana kita mengatakannya. 

Dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam berbicara secara konsisten, diharapkan kita akan menemukan suara unik kita sendiri sehingga kita mampu menyampaikan pesan dengan dampak yang kuat. Akhirnya, berbicara yang baik adalah tentang menjalin koneksi dengan diri sendiri, pesan yang kita sampaikan atau objek ceritanya, dan yang terpenting, dengan pendengar kita.


Referensi



Dikutip dari buku Supriyana, Asep. Dengan judul: Hakikat Berbicara. Diterbitkan di Jakarta: Universitas Terbuka, tahun 2018.


Dikutip dari buku Mulyana, Deddy. . Dengan Judul: Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Diterbitkan di Bandung: Remaja Rosda Karya, tahun 2001


Dikutip dari buku Zubaedah, Siti, DKK. Dengan judul: Seni Bercerita. Diterbitkan di Yogyakarta: Cakrawala, tahun 2018.

Perjalanan Epik Seni Rupa Dunia dan Indonesia

Selasa, 01 Oktober 2024
Hai generasi super.

Pernahkah kamu berdiri di depan sebuah lukisan dan merasa seperti tersedot ke dalamnya? Atau mungkin menyentuh patung dan merasakan getaran emosi sang pemahat? Selamat datang di dunia seni rupa, tempat di mana imajinasi menjadi nyata dan perasaan mendapat pengakuan!

Seni rupa bukan sekadar coretan warna di atas kanvas atau bentukan tanah liat. Ia adalah jendela jiwa, cermin budaya, dan terkadang malah menjadi wadah curhat gundah gulana atau rasa bahagia sang penciptanya. Dari gua-gua prasejarah hingga galeri modern, seni rupa telah menjadi saksi bisu perjalanan manusia.

sejarah seni rupa
  

Pada suatu masa, jauh sebelum manusia mengenal tulisan, di dinding-dinding gua yang gelap dan lembab, nenek moyang kita mulai menggoreskan kisah mereka. Bayangkan, dengan hanya cahaya api yang bergoyang-goyang, mereka melukiskan binatang buruan dan aktivitas sehari-hari. Inilah awal mula seni rupa, cerita tanpa kata yang bertahan hingga ribuan tahun.

Waktu berlalu, peradaban berkembang. Di tepi sungai Nil yang subur, orang-orang Mesir Kuno membangun piramida megah dan kuil-kuil yang dihiasi relief indah. Mereka melukis dinding-dinding makam dengan warna-warna cerah, menggambarkan kehidupan para firaun di alam baka. Sementara itu, di belahan dunia lain, bangsa Yunani menciptakan patung-patung yang begitu mirip manusia, seolah-olah bisa bernapas dan bergerak kapan saja.

Lompat ke Abad Pertengahan, saat gereja menjadi pusat kehidupan di Eropa. Para seniman berlomba-lomba menciptakan lukisan dan patung yang menakjubkan untuk menghiasi rumah-rumah ibadah.

Selanjutnya pada masa Renaisans. Leonardo da Vinci, Michelangelo, dan kawan-kawan mereka membawa angin segar dalam dunia seni. Mereka tidak hanya melukis dan memahat, tapi juga mempelajari anatomi manusia, matematika, dan alam. Karya lukisan Mona Lisa tersenyum misterius, seolah menyimpan rahasia alam semesta.

Zaman terus bergulir, dan seni rupa pun ikut berevolusi. Impresionisme muncul, mengajak kita melihat dunia dalam serpihan-serpihan cahaya dan warna. Van Gogh melukiskan malam berbintang yang bergejolak, seolah-olah langit pun bisa merasakan gundah gulana sang seniman. Lukisannya terkenal dengan nama “Stary Night”

Berlanjut ke masa perang dan revolusi industri. Para seniman kala itu turut menghasilkan hasil seni rupa yang menggambarkan fenomena alam kala itu. Pablo Picasso melalui karyanya menggambarkan kengerian perang dalam lukisan Guernica-nya yang kacau balau namun penuh makna. Salvador Dali membawa kita ke alam mimpi yang surrealis, di mana jam-jam meleleh dan gajah berkaki jenjang melenggang di padang gurun.

Sementara itu, di tanah air tercinta, seni rupa juga mengalami perjalanannya sendiri. Dari ukiran-ukiran cantik di candi Borobudur, hingga lukisan-lukisan pemandangan Mooi Indie yang memesona, seni rupa Indonesia terus berkembang. Raden Saleh, dengan kuasnya yang lihai, menjembatani dunia Timur dan Barat. Lalu muncullah sosok S. Sudjojono, yang dengan berani meneriakkan "Berhentilah melukis keindahan, mulailah melukis kenyataan!"

Nah, ternyata kata “Seni Rupa” digaungkan dan diciptakan oleh bapak S Sudjono yang terkenal dengan sebutan bapak seni rupa modern Indonesia.

Perjalanan seni rupa adalah perjalanan manusia itu sendiri. Setiap goresan, setiap pahatan, setiap percikan warna, adalah jejak-jejak kemanusiaan kita. Dari gua prasejarah hingga galeri virtual, seni rupa terus bercerita, terus menggugah, dan terus mengajak kita melihat dunia dengan cara yang baru.

Agar lebih familiar dengan karya seni rupa, mari kita buka jendela yang menutupi pengetahuan kita tentang sosok para seniman dunia dan Indonesia. Yuk kita berkenalan dengan mereka dan karya yang dihasilkan. Secara sepintas saya akan memaparkan di bawah ini.
 

Seniman Terkenal Dunia dan Indonesia beserta Karya Ikonik

 

Seniman Dunia

 
Leonardo da Vinci (1452-1519)


Lahir di Vinci, Italia. Tokoh Renaissance yang serba bisa: pelukis, pematung, arsitek, dan penemu. Karya terkenal: Mona Lisa, The Last Supper. Dikenal dengan buku sketsanya yang berisi berbagai ide inovatif.

 
Vincent van Gogh (1853-1890).


Lahir di Zundert, Belanda. Pelukis post-impressionis yang karya-karyanya baru diakui setelah kematiannya. Mengalami masalah kesehatan mental sepanjang hidupnya. Karya terkenal: The Starry Night, Sunflowers.

Pablo Picasso (1881-1973)


Lahir di Málaga, Spanyol. Salah satu figur utama dalam seni modern, co-founder aliran Kubisme Kariernya mencakup lebih dari tujuh dekade dengan berbagai gaya. Karya terkenal: Les Demoiselles d'Avignon, Guernica.
 

Frida Kahlo (1907-1954)


Lahir di Coyoacán, Meksiko. Dikenal dengan lukisan potret diri dan karya yang terinspirasi budaya Meksiko. Mengalami kecelakaan parah di masa muda yang mempengaruhi hidupnya. Karya terkenal: The Two Fridas, Self-Portrait with Thorn Necklace and Hummingbird.

Salvador Dalí (1904-1989)


Lahir di Figueres, Spanyol. Tokoh utama dalam gerakan surealis. Dikenal dengan imajinasi liarnya dan kemampuan menggambar yang luar biasa. Karya terkenal: The Persistence of Memory, The Elephants.


sejarah seni rupa dunia

 


Seniman Indonesia



Raden Saleh (1811-1880)


Lahir di Semarang, Jawa Tengah. Dianggap sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. Belajar melukis di Eropa dan menjadi pelukis istana di beberapa negara. Karya terkenal: Penangkapan Pangeran Diponegoro


S. Sudjojono (1913-1986)


Lahir di Kisaran, Sumatera Utara. Dijuluki "Bapak Seni Rupa Indonesia Modern". Mendorong seniman Indonesia untuk melukis realitas, bukan hanya keindahan. Karya terkenal: Cap Go Meh, Kawan-kawan Revolusi


Affandi (1907-1990)


Lahir di Cirebon, Jawa Barat. Dikenal dengan gaya ekspresionisnya yang kuat. Sering melukis dengan jari alih-alih kuas. Karya terkenal: Self Portrait, Fishing Village in Bali


Basuki Abdullah (1915-1993)


Lahir di Surakarta, Jawa Tengah. Terkenal dengan lukisan potret dan pemandangan yang realistis. Menjadi pelukis istana di era Presiden Soekarno. Karya terkenal: Gadis Makasar, potret Presiden Soekarno.

Hendra Gunawan (1918-1983)


Lahir di Bandung, Jawa Barat. Gaya lukisannya menggabungkan unsur tradisional dengan modern. Banyak menggambarkan kehidupan rakyat biasa dan perjuangan kemerdekaan. Karya terkenal: Pengantin Revolusi, Pasar Ikan.


Setiap seniman ini memiliki latar belakang unik yang membentuk gaya dan tema karya mereka. Mereka tidak hanya menciptakan karya seni, tetapi juga memberi pengaruh besar pada perkembangan seni rupa di zamannya masing-masing dan seterusnya.

Setiap seniman ini memiliki gaya unik dan kontribusi signifikan terhadap dunia seni rupa. Karya-karya mereka tidak hanya mencerminkan zaman dan budaya mereka, tetapi juga mempengaruhi generasi seniman berikutnya.

Leonardo da Vinci, misalnya, dikenal dengan teknik sfumato-nya yang lembut, terlihat jelas dalam senyum misterius Mona Lisa. Van Gogh, dengan sapuan kuasnya yang ekspresif, menangkap kegelisahan batinnya dalam langit berbintang yang bergejolak. Picasso menggunakan "Guernica" untuk mengekspresikan kengerian perang dengan gaya kubismenya yang khas.

Di Indonesia, Raden Saleh menjembatani tradisi Timur dan Barat dalam karyanya, sementara S. Sudjojono, yang dijuluki "Bapak Seni Rupa Indonesia Modern", mendorong seniman untuk melukis realitas Indonesia, bukan hanya keindahannya. Affandi terkenal dengan gaya ekspresionisnya yang kuat, sering melukis dengan jari-jarinya alih-alih kuas.

Setiap karya yang disebutkan di atas memiliki cerita dan makna yang mendalam, mencerminkan tidak hanya keahlian teknis sang seniman, tetapi juga kondisi sosial, politik, dan personal pada masanya. Mereka adalah jendela ke masa lalu, sekaligus inspirasi untuk masa depan seni rupa.

Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Senin, 30 September 2024

Hai Super Parents

Yuk, kita berbincang seru lagi tentang permasalahan seputar anak. Kali ini saya ingin mengajak super parents  berdiskusi tentang perkembangan moral anak usia dini. Sharing pengalaman yuk. Kira-kira super parents pernah tidak diberi pertanyaan seperti ini oleh si kecil. 


perkembangan moral anak usia dini



"Kenapa orang dewasa boleh makan permen banyak-banyak, sedangkan aku tidak?"


"Ayah bilang aku harus sabar, tapi kenapa ayah suka marah-marah kalau sedang macet?"


"Kenapa aku tidak boleh marah saat temanku nakal? Padahal aku kan merasa terganggu!"


"Kenapa aku harus salaman sama orang yang nggak aku kenal? aku kan nggak nyaman."

 

"Ibu bilang anak baik tidak boleh berbohong, tapi kennapa ibu suka bilang 'nanti, ya' padahal maksudnya 'enggak' ?"


Pertanyaan unik ini terkadang membuat kita tersenyum sendiri atau malah takjub dan bahkan bingung untuk memberikan jawaban yang bijak kepada ananda.Tentu saja kita harus berpikir bagaimana cara menyampaikan jawaban yang pas agar mengena di hati si kecil tanpa harus melukai hatinya. Masih ada lagi pertanyaan unik yang ditanyakan oleh ananda yang pernah super parents dapatkan? Share ya di kolom komen.


Konon, dikutip dari pendapat para ahli berhasil atau tidaknya moral baik yang terbentuk pada diri ananda  sangat bergantung pada bagaimana cara super parents bersikap dan memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ananda hadapi. 


Pertanyaan-pertanyaan tersebut menandakan bahwa pemikiran ananda tentang sebuah nilai moral sangatlah beragam. Apa yang mereka lakukan biasanya merupakan hasil capture dari pola asuh yang didapatkan dari orang tua atau orang-orang di lingkungan terdekat ananda. 


Ananda akan terbiasa dengan aturan yang dibuat dalam keluarga tersebut, dan akan sangat membekas pada perilaku dan pola pikirnya. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Montessori seorang dokter neurologi yang memiliki perhatian terhadap pendidikan anak usia dini bahwa pikiran anak-anak seperti spons, sangat mudah menyerap, atau terkenal dengan istilah absorbent mind. Pikiran menyerap ananda akan mudah terbentuk dari keteraturan yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekat mereka yaitu keluarga.


Mereka harus banyak bertanya agar mudah memaknai segala peristiwa yang mereka alami. Pikiran dan pengetahuan mereka masih sangat sederhana. Keterbatasan anak dalam berpikir mendorong anak untuk banyak melakukan eksplorasi agar mampu memaknai kejadian di sekitarnya. Peran orang dewasa sangat penting dan akan sangat berpengaruh pada proses perkembangan moral anak.



Anak usia dini, sesuai dengan tahap perkembangan mereka, mulai menunjukkan kesadaran akan pentingnya mematuhi aturan, kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah, serta kemampuan untuk menunjukkan empati kepada orang lain. Mereka juga mulai merasakan rasa bersalah dan menunjukkan ketidaknyamanan saat melanggar peraturan, baik saat melakukannya maupun setelahnya (Kochanska & Aksan, 2006).


Untuk itu apapun permasalahan dan rasa ingin tahu yang mereka sampaikan kepada kita selaku pendidik maupun orang tua kuncinya adalah kesabaran,  kejujuran, ketulusan, dan sikap toleransi, karena hakikat toleransi adalah konsep hidup di mana kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.


Nah, super parents, sedari tadi kita sudah menyinggung banyak istilah tentang perkembangan moral anak.  Perlu juga kiranya kita pahami apa rti dari moral itu sendiri. Moral  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti akhlak dan tingkah laku yang susila. Moral sendiri sering dikaitkan dengan permasalahan etika yang merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai perilaku manusia.

Setelah kita paham makna dari kata moral, perlu sekali sebagai orang tua dan pendidik memahami tahapan perkembangan moral anak, agar kita bisa lebih memahami watak dan perilaku sesuai dengan usianya.

Bagaimana tahapan perkembangan tingkah laku  susila dari seorang anak usia dini sesuai dengan pendapat dan pandangan para ahli? Lanjut yuk kita perdalam pengetahuan kita tentang hal ini.


Tahapan Perkembangan Moral Anak Usia Dini



Seorang pakar psikologi perkembangan anak Fawzia Aswin Hadis memaparkan bahwasannya setiap anak yang baru dilahirkan tidak memiliki hati nurani atau skala nilai. Untuk itu mereka dianggap sebagai sosok yang amoral atau non moral. Peran orang dewasa di sekitar anak sangat menentukan perkembangan moral seorang anak. Dalam artian akhlak moral seseorang ketika dewasa sangat ditentukan dari peran andil orang dewasa serta lingkungan sekitarnya. 

Ketinggian akhlak yang dimiliki oleh seorang manusia menandakan kemuliaan dirinya di atas makhluk lain. Ini yang membuat perbedaan antara manusia dengan hewan. Fawzia juga menambahkan, mengembangkan moral anak memiliki arti bahwa kita sedang berupaya membentuk moral dan perilaku anak agar sesuai dengan keinginan dan harapan lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu seseorang dibentuk karakternya bukan saja dalam rangka memenuhi standar sosial yang ada di lingkungannya namun mengarahkan anak agar mampu secara sadar melakukan hal susila tanpa paksaan dan pengawasan. Diharapkan mereka secara sadar mampu melakukan hal yang diinginkan oleh standar sosial di tempat mereka tinggal. 

Lalu bagaimana tahap perkembangan moral anak menurut para pakar? Yuk, sama-sama kita telusuri.

Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget


Bapak Piaget memiliki ide menarik tentang bagaimana anak-anak belajar perihal baik dan buruk. Menurutnya, perkembangan moral anak itu seperti anak tangga, memiliki tahapannya.

1. Tahap Heteronomous (sekitar umur 4-7 tahun)

Di tahap ini, anak-anak masih memiliki pola pikir "yes-man" terhadap aturan. Mereka menganggap aturan itu sakral, tidak boleh dilanggar. Pikiran mereka masih hitam-putih. Maksudnya bagaimana?

Menurut anak usia 4-7 tahun, aturan itu datangnya dari orang dewasa atau figur otoritas, jadi harus dipatuhi. Mereka belum bisa membedakan niat baik dan konsekuensi. Contohnya, bagi mereka, memecahkan 10 gelas karena kecelakaan dan tidak disengaja lebih parah daripada secara sengaja memecahkan 1 gelas. Hukuman dianggap otomatis mengikuti pelanggaran yang dibuat. Seperti halnya "kalau nakal, pasti dihukum".

Contoh yang lain lagi Jika ada aturan untuk anak usia dini agar tidak boleh berlari di jalan bebatuan, maka ketika ada temannya yang terjatuh di depannya maka sang anak akan mempertahankan dirinya untuk tetap tidak berlari. Dalam benak anak usia dini aturan tetap aturan.

2. Tahap Autonomous (mulai umur 7-11 tahun)


Di tahap ini, anak mulai lebih fleksibel dalam berpikir tentang konsep sebuah aturan. Mereka udah mulai ngerti bahwa aturan itu bisa diubah kalo semua setuju. Pola pikirnya sudah lebih kompleks. Mereka mulai mengerti tentang konsep keadilan dan bisa melihat dari sudut pandang orang lain.
Anak usia ini juga sudah bisa membedakan antara niat dan konsekuensi. 

Anak sudah bisa mempertimbangkan niat di balik tindakan seseorang. Contohnya, jika ada teman yang tidak sengaja menjatuhkan dan merusak proyek kelompok, mereka cenderung lebih memaafkan dibandingkan jika ada yang sengaja merusaknya karena iri. Pada tahap ini anak mulai paham bahwa hukuman tidak selalu harus ada, seandainya ada pun, harus sesuai dengan pelanggarannya.

Piaget mengatakan bahwa anak-anak berkembang dari tahap pertama ke tahap kedua seiring bertambahnya pengalaman mereka berinteraksi dengan teman sebayanya. Ketika bermain bersama, mereka belajar bernegosiasi, membuat aturan sendiri, dan mulai memahami arti pentingnya kerja sama.

Namun yang harus diingat meski Piaget membagi tahapan perkembangan moral pada anak, kita harus tetap memiliki prinsip bahwa setiap anak itu unik, ada anak yang memiliki tahapan perkembangan melampaui umur seharusnya, atau sebaliknya belum sesuai standar.

Intinya, menurut Piaget, moral anak itu berkembang dari "aturan itu mutlak" ke "aturan itu bisa dibicarakan dan disesuaikan". untuk itu penting sekali buat kita sebagai orang dewasa memberikan contoh yang baik dan membantu anak-anak belajar berpikir kritis tentang persoalan baik dan buruk.

Tahapan Perkembangan Moral Menurut Kohlberg


1. Level 1: Moralitas Prakonvensional (Usia 2-7 tahun)

Anak pada tahap ini melihat baik-buruknya suatu perilaku berdasarkan hukuman atau hadiah. Mereka belum sepenuhnya memahami alasan di balik aturan atau nilai moral.

Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan

Contoh: Seorang anak berumur 3 tahun sedang bermain bersama di sebuah ruangan. Dia melihat ada mainan dan menginginkannya. Namun, ia teringat ucapan ibunya bahwa jika ia mengambil barang milik orang lain tanpa izin, ia akan dihukum. Maka, anak tersebut mengurungkan niatnya bukan karena ia tahu mencuri itu salah, tetapi karena ia takut dimarahi atau dihukum.

Tahap 2: Orientasi Kepentingan Pribadi

Contoh: Seorang anak usia 6 tahun ingin berbagi coklat dengan temannya, ia percaya bahwa temannya nanti akan berbagi mainan yang ia sukai. Jadi, keinginannya berbagi bukan didasari oleh niat baik, tetapi karena mengharapkan imbalan yang lain.


2. Level II: Moralitas Konvensional (Usia 7-11 tahun)


Pada Level ini, anak mulai menaati aturan karena ingin diterima oleh lingkungan atau ingin dianggap sebagai anak yang baik. Mereka mulai memiliki kesadaran tentang peran sosial.

Tahap 3: Orientasi Anak Baik

Contoh: Andi berusia 8 tahun di sekolah melihat sampah di lantai. Ia memungut sampah tersebut dan membuangnya di tempat sampah bukan karena ia memahami pentingnya menjaga kebersihan, tetapi karena ia ingin dianggap sebagai anak baik oleh gurunya.

Tahap 4: Orientasi Hukum dan Ketertiban

Contoh: Salsa berusia 10 tahun di rumah sedang bermain dengan adiknya. Ketika adiknya ingin menonton TV pada jam belajar, Salsa berkata, “Peraturan di rumah kita kita tidak boleh menonton TV saat jam belajar, adik.” Ini menunjukkan Salsa mulai memahami bahwa peraturan itu ada untuk menjaga keteraturan dalam keluarga.

3. Level III: Moralitas Pascakonvensional (Remaja Awal dan Dewasa)


Biasanya, anak usia dini belum mencapai tahap ini. Pemahaman moralitas pascakonvensional lebih berkembang pada usia remaja dan dewasa karena memerlukan pemikiran abstrak dan kemampuan refleksi diri.

Tahap 5: Orientasi Kontrak Sosial

Contoh untuk Remaja Awal: Wawan berusia 14 tahun menolak merokok di sekolah, meski teman-temannya melakukan hal itu. Wawan memiliki prinsip Tidak akan mau merokok karena paham bahwa merokok tidak baik untuk Kesehatan.

Tahap 6: Prinsip Etika Universal
 
Fathur mendapatkan dua tawaran pekerjaan, yang satu gajinya besar tetapi di perusahaan rokok, sedangkan yang lainnya gajinya biasa saja tetapi di yayasan pendidikan anak. Fathur bingung, soalnya lagi butuh duit untuk membayar utang. Dia berpikir dan teringat, "Hm... bukankah aku dari dulu ingin sekali menjadi guru. Masa iya kerja di tempat yang tidak sesuai passion?" Akhirnya dia menjatuhkan pilihan kerja di yayasan, meski gajinya lebih kecil. Buat Fathur, mengejar passion dan membantu anak-anak lebih penting daripada sekedar mendapat uang yang banyak.

Intinya, pemaparan Kohlberg tentang perkembangan moral adalah bermula dari kita tumbuh dari hanya memikirkan diri sendiri, kemudian menjadi peduli dengan aturan dan penerimaan sosial, sampai akhirnya pola pikir lebih meningkat lebih dalam pada soal etika dan keadilan yang lebih luas. 

Namun perlu diingat bahwa tidak semua orang akan sampai pada level terakhir. Banyak yang 'mandek' di level dua, dan itu normal-normal saja. Teori ini menjelaskan kenapa orang bisa punya pandangan moral yang beda-beda. 

Pendapat Kohlberg ini tidak semua mendapat pandangn yang positif, ada kalangan yang memberikan kritik tajam untuk teorinya,  karena dianggap terlalu fokus pada cara berpikir Barat dan kurang mempertimbangkan perbedaan budaya. Jadi, intinya, moral kita berkembang seiring waktu. Dari cuma takut dihukum, sampai akhirnya bisa memikirkan prinsip-prinsip yang lebih besar dari sekedar aturan. 

Tahapan Perkembangan Moral menurut Thomas Lickona



Bagi orang-orang yang memiliki perhatian terhadap perkembangan karakter anak, nama Thomas Lickona sudah tidak asing lagi didengar. Julukan bapak karakter dunia tersemat pada namanya. Kenapa? Karena beliaulah yang merumuskan bahwa ada tiga komponen penting dalam membentuk moral pada anak, yaitu anak harus memiliki pengetahuan moral dengan baik, anak harus memiliki keinginan secara sadar untuk melakukannya dan akhirnya anak benar-benar secara sadar melakukannya. 

Rumusan ini terkenal dengan konsep "moral knowing, moral feeling dan moral action." Secara mudah kita bisa memberikan istilah “Pikir, Rasa, dan Aksi.” Sangat mudah dicerna bukan? MAri kita jabarkan tahapannya agar mendapatkain pemahaman lebih lanjut.


1. Pikir (Moral Knowing)


Konsep ini berkaitan dengan persoalan bagaimana cara menanamkan pengetahuan pada anak tentang mana hal yang benar dan mana hal yang salah. Anak dibuat paham akan sebuah nilai baik. Bagaimana penerapannya? Berikut ini contoh kegiatan yang bisa diterapkan pada anak.

Membuat "Pohon Aturan" di kelas. Bisa dengan cara menggambar pohon besar di karton. Ajak anak-anak membuat aturan kelas bersama-sama. Tulis aturannya di daun-daun kertas, bisa dilengkapi dengan gambar ilustrasi biar anak lebih paham, tempel di pohon. Ketika ada yang bertanya "Kenapa kita tidak boleh memukul?" Kita orang dewasa atau pendidik hendaknya menjelaskan dengan Bahasa yang mudah dipahami anak dan tentu saja harus sabar.

2. Rasa (Moral Feeling)


Nah, pada bagian ini, kita harus mampu menanamkan pada anak bahwa bebrbuat baik itu penting dan mengembangkan anak menjadi sosok yang memiliki hati nurani. Bagaimana aplikasinya? Misalnya kitab isa membuat "Kotak Perasaan". Sediakan kotak dengan gambar ekspresi wajah (senang, sedih, marah, takut). Setiap hari ajak anak untuk memasukan stick es krim ke kotak yang cocok dengan perasaan mereka. Buka forum diskusi, lakukan ngobrol bareng. "Kenapa kamu sedih? Gimana rasanya kalo ada yang bantuin kamu?" Bla…blaa…blaa…Lakukan diskusi dengan sabar dan selipkan nilai-nilai baik yang menggugah perasaan anak.

3. Aksi (Moral Action)


Setelah diberi pemahaman, disentuh hatinya maka pada tahapan terakhir yaitu aksi atau moral action anak diharapkan sudah masuk pada tahap mau melakukan secara sukarela hal-hal baik, entah itu dalam konsep berbagi, memberi pertolongan atau hal positif lainnya. Bagaimanna caranya? Pendidik atau orang tua bisa membuat kegiatan "Tantangan Kebaikan Harian", caranya dengan membuat daftar kebaikan sederhana, seperti "membantu teman merapihkan mainan" atau "mengucapkan terima kasih". Setiap pagi, anak-anak bisa diajukan pilihan sebuah tantangan. Siang harinya, bercerita tentang bagaimana mereka melakukan tantangan tersebut.

Kesimpulan


Dari pemaparan di atas kita mendapatkan gambaran bahwa tahapan perkembangan moral anak usia dini yang telah dijelaskan oleh piaget masuk dalam tahap heterenomous, yaitu masa di mana anak masih menilai segala hal dalam wujud yang saklek. Pikirannya masih hitam putih. Aturan itu adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh dilanggar.

Sedangkan Kohlberg menjelaskan bahwa tahapan perkembangan moral anak usia dini  berada dalam tahap  prakonvensional. Anak pada tahap ini melihat baik-buruknya suatu perilaku berdasarkan hukuman atau hadiah. Mereka belum sepenuhnya memahami alasan di balik aturan atau nilai moral.

Sementara Thomas Lickona merumuskan tahapan perkembangan moral anak usia dini pada tiga komponen penting dalam membentuk moral  anak, yaitu anak harus memiliki pengetahuan moral dengan baik, anak harus memiliki keinginan secara sadar untuk melakukannya dan akhirnya anak benar-benar secara sadar melakukannya. 


Dari ketiga pemaparan para ahli tentang perkembangan moral anak, sebagai pendidik kita bisa melakukan  pengembangan moral melalui nilai sebagai berikut:

1) konsekuensi yang jelas, misalnya: Jika anak tidak membereskan mainan, ia tidak mendapatkan waktu bermain tambahan. Tujuan utamanya adalah membentuk kebiasaan yang nantinya berkembang menjadi pemahaman moral.

2) Modeling atau memberikan contoh perilaku baik. Misalnya: Anak-anak di usia dini sering meniru apa yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh. Jika mereka melihat orang tua berbagi makanan dengan tetangga, mereka akan lebih mudah memahami konsep berbagi tanpa pamrih.

3) Menggunakan cerita dan dongeng yang mengandung unsur nilai kebaikan, Misalnya: Membacakan cerita tentang karakter yang jujur dan membantu temannya, lalu mendiskusikan perasaan karakter tersebut. Ini membantu mereka memahami nilai moral dengan cara yang lebih konkret.

Tahap perkembangan moral anak membutuhkan waktu, pengulangan, dan pemahaman yang disesuaikan dengan usianya. pendekatan terbaik bukanlah "membiarkan saja" atau "meluruskan secara langsung", melainkan membimbing dengan sabar dan bertahap. Kita membantu anak-anak membangun pemahaman moral yang lebih kompleks seiring waktu, sambil tetap menghargai tahap perkembangan mereka saat ini.

Sebagai pendidik kita harus mendukung dan mengupayakan perkembangan alami anak menuju pemahaman moral yang lebih matang, tanpa memaksa mereka melompati tahapan penting dalam proses belajar mereka. MAri kita sama-sama belajar menjadi orang dewasa dan pendidik yang mampu memfasilitasi kebutuhan anak secara bijak dan menyenangkan. Salam pengasuhan.

Custom Post Signature

Custom Post  Signature
Educating, Parenting and Life Style Blogger