Mengatasi Rasa Ketidakpercayaan Diri pada Anak. Orang Tua dan Pendidik Wajib Tahu!

Rabu, 23 April 2025

Permasalahan Ketidakpercayaan diri pada anak merupakan fenomena yang acap kali dihadapi banyak orang tua dan pendidik. Menurut Dr. Erikson, seorang pakar psikolog perkembangan anak, hal ini hal ini timbul pada tahap perkembangan "inisiatif vs rasa bersalah" yaitu pada kisaran usia 3-5 tahun dan "kerajinan vs inferioritas" pada kisaran usia anak 6-12 tahun.


masalah ketidakpercayaan diri pada anak



Profesor Robert Brooks, seorang psikolog yang juga berdedikasi di Harvard Medical School, dalam bukunya "Raising Resilient Children" menjelaskan tentang berbagai manifestasi rasa ketidakpercayaan dalam diri anak menjadi beberapa pembagian utama, diantaranya yaitu:

  1. Pemalu (Social Shyness). Rasa malu pada diri anak biasanya dikarenakan mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lain, terutama terhadap orang lain yang baru dikenal. Anak-anak sering menghindari kontak mata, berbicara dengan suara sangat pelan, atau bersembunyi di belakang orang tuanya.
  2. Pencemas (Anxiety). Rasa cemas pada diri anak biasanya timbul karena dipengaruhi kekhawatiran yang berlebihan terhadap situasi baru atau tantangan, biasanya disertai dengangejala fisik seperti sakit perut, sakit kepala, atau gangguan tidur sebelum menghadapi situasi tersebut.
  3. Penakut (Risk-Aversion). Rasa takut pada anak biasanyha ditunjukkan dengan cara menolak aktivitas yang dia anggap baru karena takut gagal atau terluka, meskipun aktivitasnya sesuai dengan usia dan kemampuan mereka.
  4. Pembohong (Fabricator). Kasus berbohong pada anak biasanya diekspresikan oleh anak melalui kisah khayalan yang mereka ciptakan namun mereka buat seolah-olah itu adalah kenyataan. Hal ini biasanya menutupi rasa tidak mampu yang ia miliki
  5. Tidak Mandiri (Dependency). Ketidakmandirian pada anak biasanya ditandai dengan rasa ketergantungan mereka yang berlebihan pada orang dewasa, meskipun hal itu sebenarnya mampu mereka lakukan sendiri.

Seorang penulis buku dengan judul "Raising Your Spirited Child", Dr. Mary Sheedy Kurcinka, memaparkan bahwa perilaku rasa tidak percaya diri pada anak merupakan mekanisme perlindungan diri yang ditampakkan oleh anak ketika mereka merasa dirinya tidak aman atau tidak yakin dengan kemampuan yang mereka miliki. Menurut Dr. Mary anak-anak tidak dilahirkan dengan bawaan rasa ketidakpercayaan diri, hal tersebut adalah respons yang dipelajari dari pengalaman hidup yang mereka jumpai.

Hasil penelitian yang diterbitkan oleh National Institute of Child Health and Human Development menggambarkan bahwa sekitar 20-40% anak usia sekolah mengalami salah satu bentuk ketidakpercayaan diri di atas, dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Permasalahan ini harus segera ditangani, karena jika tidak ditangani dengan tepat, hal ini bisa terus berlanjut sampai dewasa dan akan berdampak pada kualitas hidup seseorang secara keseluruhan.

Untuk itu sangat dianjurkan bagi orang tua dan pendidik dalam memahami fenomena ketidakpercayaan diri pada anak bukanlah tanda kelemahan karakter atau kegagalan pengasuhan. Namun, jadikan hal ini menjadi kesempatan untuk memberikan dukungan yang tepat dan membantu anak mengembangkan resiliensi serta keterampilan mengatasi masalah yang akan bermanfaat seumur hidup mereka.

Untuk itu yuk bagi para orang tua dan pendidik kita coba telusuri lebih mendalam lagi tentang permasalahan ini melalui gambaran kasus yang biasanya sering terjadi pada anak. Saya akan memaparkan lebih dalam lagi tentang tiga permasalahan ketidakpercayaan diri pada anak dalam kasus Pemalu, Pencemas dan Berbohong melalui kisah beberapa anak yang menghadapi permasalahan ini.

Mengenal Anak Pemalu dan Cara Mengatasinya


Pagi itu, di ruang kelas Kartini TK Cendrawasih sedang heboh mempersiapkan pentas seni tahunan. Bu Nina wali kelas mereka, sibuk membagi-bagi peran untuk drama kecil yang akan anak-anak tampilkan.

"Farhan, kamu jadi raja ya!" kata Bu Nina dengan semangat.

Farhan, yang sedang berdiri dipojokan, langsung menunduk. Wajahnya terlihat memucat, dan terlihat ketakutan "eng…eng…ga mau Bu, Farhan enggak bisa..." ucapnya hampir tidak terdengar. Terlihat sangat cemas.

Bu Nina menghela napas. Sudah dua tahun ia membersamai Farhan, Sikapnya selalu saja sama, meringkuk seperti keong yang ketakutan setiap kali diminta tampil di depan kelas.

Kisah Farhan mungkin tidak asing ya bagi sebagian orang tua dan pendidik. Sikap yang ditunjukkan oleh Farhan merupakan gambaran Ketidakpercayaan diri pada seorang anak. Tentu saja ini bukan hal yang aneh, tapi dampaknya bisa sangat mengkhawatirkan jika tidak segera ditangani.

Aku jadi teringat dengan Lala, putri tetanggaku yang acap menyembunyikan dirinya di balik baju mamanya ketika bertemu dengan orang asing. Di usianya yang sudah lima tahun, Lala masih sulit ketika diminata untuk menyapa, tersenyum, atau sekadar menatap mata orang yang mengajaknya berbicara.

Melalui rasa malunya lala sebenarnya sedang melawan rasa ketakutan yang dimilikinya. Takut akan penilaian orang. Dalam benak si kecil, setiap interaksi sosial adalah potensi kegagalan atau penolakan. Maka, dia akan mengambil jalan aman yaitu dengan bersembunyi.

Apa sih definisi pemalu dan bagaimana cara mengatasinya? Yuk kita lanjut pembahasan kita.

Apa itu Anak Pemalu?


Menurut Suyanto (2005), anak pemalu adalah anak yang kurang memiliki keterampilan sosial ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Jika didiamkan berlarut maka anak akan terus merasa kesulitan dalam bergaul. Anak-anak pemalu biasanya punya percaya diri dan self-esteem yang rendah. Mereka tidak berani tampil ekspresif dan lebih suka menarik diri dari teman-temannya. Kalau dibiarkan terus, mereka bisa jadi anak yang introvert (suka memendam perasaan sendiri) dan susah bergaul dengan orang lain.

Kenapa Anak Bisa Jadi Pemalu?


Biasanya rasa malu disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini:
  1. Merasa tidak aman ketika mengekspresikan diri dikarenakan pernah memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti dikritik atau diledek.
  2. Orang tua yang overprotektif. Hal ini membuat anak menjadi pasif dan jadi tergantung pada orang lain.
  3. Adanya perhatian yang kurang dari orang tua, hal ini membuat anak merasa tidak berharga
  4. Mengalami kritikan yang diungkapkan di depan umum.
  5. Banyak mengalami hukuman. Hal ini juga membuat anak dibalut perasaan takut dan ragu
  6. Pola asuh yang salah sejak kecil atau karena anak memiliki cacat fisik yang membuatnya merasa rendah diri.

pemalu pada anak usia dini



Karakteristik Anak Pemalu


Anak-anak yang pemalu biasanya ditandai dengan sikap atau hal di bawah ini:
  1. Anak selalu menghindar ketika harus berhubungan dengan orang lain.
  2. Anak merasa enggan dan ragu ketika diajak terlibat dengan orang lain.
  3.  Anak pemalu biasanya Tidak berani mengambil risiko.
  4. Cenderung pendiam dan jika berbicara suaranya pelan.
  5. Memiliki rasa kurang percaya diri.
  6. Tidak menyenangi permainan yang butuh Kerjasama.
  7. Sulit memutuskan pilihan untuk dirinya sendiri.

Dampak Rasa Malu Berlebihan bagi Perkembangan Anak


Jika dibiarkan berlarut, rasa pemalu yang berlebihan pada anak akan menimbulkan hal yang tidak diinginkan, seperti mengalami kendala dalam pergaulan karena terbiasa menarik diri karena terhambat perkembangan emosi dan sosialnya. Selain itu anak pemalu juga akan terbentuk jiwa yang tidak memiliki keterampilan komunikasi yang baik karena tidak mampu mengekspresikan diri secara nyaman dan santai.

Bagaimana Tips Jitu Menangani Anak Pemalu?


Tentu saja kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi anak ini harus segera diatasi dan dicari solusinya. Para pendidik dan orang tua bisa menerapkan hal-hal berikut ini:

  1. Orang tua dan pendidik harus mampu membangkitkan keyakinan bisa pada diri anak dengan menerima dan memuji apapun hasil kerja anak. Misalnya, "Wah, gambarnya bagus sekali anak sholeh! Pasti bisa lebih bagus lagi jika ingin berlatih terus!"
  2. Usahakan Jangan memaksa anak untuk tampil jika dia belum siap, tapi tetap tawarkan kesempatan itu dengan menggunakan kata-kata positif seperti "Kamu pasti bisa, semangat ya!"
  3. Beri anak kesempatan untuk Latihan bekerja dalam kelompok kecil yang berjumlah 2 orang, supaya anak lebih mudah berkomunikasi dan bekerjasama.
  4. Upayakan agar anak tidak bermain sendirian terlalu lama. Beri peran kecil dalam kegiatan kelompok, meski hanya sebagai "pendengar".
  5. Pendidik maupun orang tua harus mampu menciptakan suasana yang dekat dan hangat setiap harinya melalui sapaan lewat kontak mata dan senyuman.
  6. Memberikan pertolongan pada anak dan menanyakan dengan lembut saat anak butuh bantuan mengerjakan tugas tapi tidak mau bicara.
  7. Ciptakan permainan atau nyanyian yang melibatkan nama semua anak di kelas untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

Dengan pendekatan yang tepat dan penuh kesabaran, anak pemalu bisa bertransformasi menjadi anak yang lebih percaya diri dan mampu bersosialisasi dengan baik.


Mengenal Anak Pencemas dan cara Mengatasinya


Gelisah dan khawatir, mungkin ini ya gambaran perasaan cemas yang hinggap pada diri anak. Aku punya cerita, nih tentang seorang anak yang bernama Ramadhan, salah satu anak kenalanku yang berusia 5 tahun. Menurut cerita mamanya sebenarnya Ramadhan adalah anak yang cerdas, tapi sering merasa cemas berlebihan ketika hendak menghadapi hal yang baru buat dia. Dia bisa muntah, sakit perut, atau bahkan demam hanya karena besok harus tampil di sebuah pertunjukan. Padahal jika dia sudah larut dan beradaptasi dengan situasi yang dia hadapi dia akan merasa bahagia.

Kecemasan berlebihan seperti yang dialami Ramadhan menunjukkan rasa ketidakpercayaan diri yang mendalam. Meskipun sang anak memiliki kemampuan dalam hal yang dia cemaskan. Dia akan merasa tidak mampu, tidak cukup, dan takut gagal.

Apa sih definisi pencemas pada anak dan bagaimana cara mengatasinya? Yuk kita lanjutkan pembahasan kita dengan mengusung pendapat para ahli biar lebih kuat nih pemahaman kita.

Apa itu Kecemasan pada Anak?


Menurut Hurlock (1978), kecemasan adalah kondisi mental yang tidak nyaman berkaitan dengan rasa sakit yang mengancam atau yang dibayangkan. Berbeda dengan rasa takut yang disebabkan situasi nyata, kecemasan lebih samar dan dipicu oleh situasi yang dibayangkan.

Sundari (2005) menambahkan bahwa kecemasan melibatkan gejala fisik seperti jari-jari dingin, jantung berdebar, berkeringat dingin, pusing, nafsu makan berkurang, dan sesak napas. Sedangkan gejala mentalnya meliputi ketakutan, merasa terancam bahaya, sulit konsentrasi, gelisah, dan ingin lari dari kenyataan.

Mengapa Anak Bisa Cemas?


Ada beberapa penyebab kecemasan yang terjadi pada diri anak yang bisa diidentifikasi. Anak pencemas biasanya dibangun dari pola asuh orang tua dengan gaya pengasuhan yang dianut seperti di bawah ini: n

  1. Gaya pengasuhan yang terlalu protektif. Hal ini membuat anak jadi merasa was-was bahkan merasa bersalah jika tidak ada orang tua di sampingnya.
  2. Peraturan yang dibuat terlalu ketat sehingga anak merasa takut dihukum jikamengalami kegagalan.
  3. Anak tidak dibiasakan untuk berperilaku mandiri. Hal ini akan membuat anak takut sendirian dan selalu ingin ditemani.
  4. Orang tua tidak membiarkan anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal ini akan membuat anak kesulitan dalam bergaul dan cenderung takut jika bertemu dengan orang baru.
  5. Takut pada perubahan cuaca atau gejala alam seperti petir dan suasana gelap.

Tanda-tanda Anak Mengalami Kecemasan


Sebenarnya apa saja sih tanda-tanda jika anak sedang mengalami rasa cemas? Menurut para ahli, kecemasan ini dibagi menjadi kecemasan dalam tingkat yang masih ringan dan kuat. Kecemasan tingkatan ringan ditandai dengan murung dan gugup, mudah tersinggung atau marah, tidak bisa tidur nyenyak dan juga sangat sensitif dengan perkataan orang lain.

Sedangkan Kecemasan yang lebih kuat bisa diidentifikasi dalam sikap yang biasanya ditunjukkan dengan berlaga menjadi sok jagoan sebagai bentuk menutupi rasa ketidakpercayaan pada diri. Bisa juga ditandai dengan cepat bosan dan sulit fokus pada satu hal, gelisah dan kesulitan berbicara dengan lancar, menghindar dari situasi yang menyebabkan ketakutan seperti tidur walaupun tidak lelah, menyibukkan diri, atau malah dengan melamun.

Kecemasan yang lebih kuat juga bisa ditandai dengan memberikan reaksi berlebihan atau malah terlalu diam ketika dikritik. Adanya perubahan drastis dalam perilaku misalnya yang biasanya ramah anak berubah menjadi kasar, makan berlebihan, terutama makanan manis. Terlalu banyak menonton TV atau bermain gadget dan berkegiatan yang cenderung menghibur, bahkan sering menyalahkan orang lain ketika menutupi ketidakmampuan yang dimiliki.

mengatasi rasa cemas pada anak



Dampak Kecemasan pada Perkembangan Anak


Setelah kita mengetahui tanda-tanda anak yang mengalami kecemasan, tentunya sebagai pendidik dan orang tua akan segera mencari tahu bagaimana cara mengatasinya, solusi apa yang tepat agar rasa cemas pada anak bisa diminimalisisr atau bahkan dihilangkan, karena jika dibiarkan, kecemasan yang terus menerus dialami bisa membuat anak mejadi pribadi yang kurang percaya diri, tidak mandiri, tidak bisa memecahkan masalah dan selalu ingin bergantung pada orang lain.

Contoh kecemasan yang sering muncul pada Anak Usia TK


Biasanya kecemasan yang ditunjukkan oleh anak di tingkat taman kanak-kanak berkisar pada rasa cemas ketika bertemu dengan orang baru dan meminta orang tua untuk terus menunggunya ketika di sekolah. Kecemasan yang lainnya juga ditandai dengan perasaan tidak aman jika jauh dari guru, menangis ketika belum ada yang jemput, takut pada sosok tertentu, bisa teman atau individu yang berada di lingkungan sekolah, tidak berani beraktivitas karena tidak percaya diri.

Tips Menangani Anak yang Cemas


Bingung ya parents jika kita menghadapi atau bahkan memiliki anak yang cenderung pencemas. Lagi-lai sebagai orang tua kita ingin memberikan yang terbaik pastinya untuk buah hati tercinta. Begitu pula sebagai pendidik, tentu saja kita ingin ha yang terbaik bagi anak didik kita. Bahagia tentunya jika bisa membimbing mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menjadi problem solver bagi masalah yang mereka hadapi.

Apa saja nih yang harus dilakukan oleh orang tua dan pendidik ketika ingin berupaya mengatasi kecemasan yang terjadi pada diri anak?Hal-hal berikut ini bisa dicoba ya:

  1. Temukan penyebab kecemasan anak.
  2. Alihkan perhatian ke hal-hal yang disukainya saat mulai cemas.
  3. Orang tua dan pendidik hendaknya jangan memaksa anak untuk membicarakan kecemasannya ketika sedang sangat cemas.
  4. Berikan kasih sayang fisik seperti pelukan atau elusan di kepala.
  5. Menjaga situasi tetap kondusif, pastikan anak cemas tidak menjadi bahan ejekan orang lain.
  6. Upayakan untuk mengajak anak berbicara dengan kata-kata menenangkan dan membuatnya merasa aman.
  7. Lakukan kegiatan yang bisa menyenangkan dan membuat anak nyaman seperti bercerita, mendengarkan musik, atau menggambar.
  8. Ajak anak untuk anak mengekspresikan perasaan dalam bentuk kata-kata.
  9. Ungkapkan pujian saat anak berhasil mengungkapkan kecemasannya.
Dengan pendekatan yang tepat dan penuh kesabaran, anak-anak bisa belajar mengelola kecemasan mereka dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih tenang dan percaya diri.

Mengenal Rasa Takut pada Anak USia Dini dan Cara Mengatasinya


Anak yang penakut biasanya ragu untuk mencoba hal yang belum dia lakukan. Biasanya argumentasi yang dia lontarkan adalah "Tidak mau, Ma! Kalau jatuh gimana?"

Kalimat ini biasanya terlontar dari anak dengan ketidakpercayaan diri yang diwujudkan sebagai rasa ketakutan berlebihan ketika mencoba hal-hal baru. Baginya, setiap tantangan baru adalah potensi kegagalan yang menakutkan, bukan petualangan yang menyenangkan. Apa sih sebenarnya makna dari rasa takut yang dimiliki anak?


Pengertian Takut


Rasa takut muncul ketika seseorang merasa lemah dan terancam. Meski terdengar negatif, Sundari (2005) berpendapat bahwa takut sebenarnya punya nilai positif untuk kesehatan mental kita. Takut membuat kita lebih berhati-hati, jadi rasa takut sebaiknya jangan dihilangkan, namun harus tetap dikontrol.

Ketakutan paling mendasar pada anak adalah ketakutan kehilangan orangtua. Anak-anak juga sering takut pada orang asing, binatang, dan gelap. Watson dalam Crain (2007) menjelaskan bahwa anak sulit membedakan antara hal nyata dan imajinasi mereka sendiri.

Ketika anak memasuki usia 4 tahun anak masuk pada fase anak mulai berpikir intuitif. Mereka punya jawaban tentang dunia tapi belum bisa menjelaskannya dengan baik. Anak menggunakan intuisi untuk menjelaskan ketakutan mereka, misalnya dengan menganggap bayangan sebagai monster.

Perlu diketahui ya, bahwa ketakutan berbeda dengan kecemasan. Ketakutan biasanya muncul karena ada stimulus tertentu, misalnya jika anak takut anjing karena pernah digigit, sedangkan kecemasan tidak selalu punya pemicu yang jelas.

Ketakutan bisa jadi masalah jika muncul berulang dan mengganggu aktivitas sehari-hari, bahkan bisa berkembang menjadi fobia (Murphy dalam Crosser, 2004).

Percobaan dalam mengatasi rasa takut seorang bocah berusia 3 tahun bernama Peter terhadap kelinci pernah dilakukan oleh Mary Cover Jones dengan cara pembiasaan yang dilakukan secara bertahap dan akhirnya berhasil menghilangkan ketakutan terhadap kelinci dan benda serupa. Awalnya Peter hanya dibiarkan melihat kelinci dari kejauhan, selanjutnya mulai didekatkan sampai jarak dimana Peter merasa terganggu. Hari berikutnya dilakukan lagi dengan mendekatkan jarak lebih dekat secara perlahan sampai Peter merasa tidak terganggu, dan hari selanjuynya Peter sudah menunjukkan keberaniannya bermain bersama kelinci.


Penyebab Rasa Takut pada Anak


Beberapa faktor yang mempengaruhi rasa takut pada anak biasanya disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini:

  1. Faktor Intelegensi. Anak yang cepat dewasa biasanya cenderung punya rasa ketakutan seperti anak dengan usia yang lebih tua.
  2. Jenis kelamin. Biasanya anak perempuan menunjukkan lebih banyak ketakutan.
  3. Status sosial ekonomi. Keumumannya anak dari keluarga ekonomi rendah punya lebih banyak ketakutan, terutama pada kekerasan. Ini dipicu dari lingkungan tempat tinggal yang biasanya tidak aman.
  4. Kondisi fisik anak. Biasanya anak yang sedang dalam kondisi letih, lapar, atau kurang sehat lebih mudah merasa takut.
  5. Faktor hubungan sosial. Berada di antara anak lain yang ketakutan bisa menular.
  6. Faktor urutan kelahiran. Biasanya anak pertama cenderung lebih penakut karena pola asuh orang tua yang overprotektif.
  7. Faktor Kepribadian. Biasanya anak dengan emosi tidak stabil lebih mudah menjadi pribadi yang penakut.

Gejala yang Muncul Jika Anak Takut


Smith (dalam Crosser, 2004) menyebutkan gejala ketakutan pada anak ditunjukkan dengan beberapa perilaku diantaranya dengan perilaku agresif misalnya dengan cara mengamuk dan memukul. Biasanya anak seringkali menarik diri untuk mencari perlindungan dari orang dewasa atau dengan mengekspresikan rasa takut dengan melarikan diri dan bersembunyi.

Pengaruh Rasa Takut pada Perkembangan


Rasa takut yang dialami oleh anak jika dibiarkan dan tidak dikontrol maka akan menyebabkan anak terlalu bergantung pada orang lain karena merasa tidak aman di lingkungan yang baru. Selain itu anak juga mudah gugup dalam merespons situasi dan sulit dalam mengambil keputusan.


Tips Mengatasi Ketakutan pada Anak


Ada beberapa cara yang bisa dicoba oleh para orang tua dan juga pendidik ketika mengatasi anak yang penakut, diantaranya yaitu dengan langkah mengidentifikasi ketakutannya dan berbagi pengalaman dengan menerangkan pada anak bahwa semua orang punya rasa takut dan ini merupakan hal yang wajar.

Langkah selanjutnya dukung kemandirian anak dengan menghargai pilihan mereka. Jangan lupa untuk mempersiapkan anak ketika menghadapi situasi yang akan menimbulkan ketakutan pada anak. Selain itu orang tua harus menjaga lingkungan tetap nyaman dan aman. Untuk para pendidik upayakan untuk menggunakan strategi modeling atau dengan cara mencontohkan yang diterapkan dalam kurikulum pembelajaran.

Cara menerapkan strategi modeling dalam kurikulum


  1. Demonstrasi Langsung: Guru atau orang dewasa mencontohkan cara menghadapi objek atau situasi yang menakutkan dengan tenang. Misalnya, jika anak takut pada serangga, guru dapat menunjukkan cara memegang atau mengamati serangga dengan sikap tenang dan tertarik.
  2.  Peer Modeling: Melibatkan teman sebaya yang tidak memiliki ketakutan serupa untuk mencontohkan perilaku berani. Seperti pada kasus Peter yang disebutkan dalam teks, di mana dia belajar mengatasi ketakutannya terhadap kelinci dengan mengamati anak-anak lain yang bermain dengan kelinci.
  3.  Cerita dan Buku: Menggunakan cerita yang menampilkan karakter yang berhasil mengatasi ketakutannya. Guru bisa membacakan buku tentang anak yang awalnya takut gelap namun akhirnya belajar mengatasinya.
  4. Role-Play: Menciptakan permainan peran di mana anak-anak dapat mempraktikkan perilaku berani dalam situasi yang aman dan terkontrol.
  5. Video Modeling: Menunjukkan video tentang anak-anak atau karakter yang menghadapi dan mengatasi ketakutan mereka.
  6. Pendekatan Bertahap: Seperti dalam kasus Peter yang disebutkan dalam teks, pendekatan bertahap dimulai dengan melihat objek yang ditakuti dari jarak yang aman, kemudian secara bertahap mendekat seiring waktu.

Strategi modeling ini efektif karena membantu anak melihat bahwa situasi yang mereka takuti sebenarnya tidak berbahaya dan bahwa ada cara untuk menghadapinya dengan tenang. Ketika dimasukkan ke dalam kurikulum secara terstruktur, ini membantu anak-anak membangun kepercayaan diri mereka dan mengembangkan keterampilan mengatasi ketakutan mereka secara positif.


Perjalanan Panjang Membentuk Kepercayaan Diri pada Anak



Seorang Psikolog perkembangan anak, Dr. Amalia, menjelaskan, bahwasannya ketidakpercayaan diri yang terjadi pada anak biasanya berakar dari tiga hal yaitu pengalaman kegagalan yang tidak ditangani dengan baik, pola asuh yang terlalu kritis atau overprotektif, dan perbandingan yang tidak sehat dengan anak lainnya.

Membantu anak mengatasi ketidakpercayaan diri bukanlah proses yang mudah yang bisa terjadi hanya semalam. Keberhasilan untuk membangun rasa percaya diri pada anak merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan banyak cinta serta usaha yang gigih dari kita para orang dewasa.

"Percaya diri itu seperti otot," kata Dr. Amalia. "Semakin sering dilatih, semakin kuat. Dan latihannya dimulai dari hal-hal kecil."

Membangun kepercayaan diri pada anak bukan juga bukan berarti tentang menciptakan sebuah transformasi besar yang bisa dilakukan secara instan, tapi lebih ditekankan kepada bahwasannya kita orang tua dan pendidik bisa merayakan kemajuan kecil yang dialami oleh anak setiap harinya.

Dan mungkin inilah pesan terpenting untuk kita semua, bahwa dalam membantu anak mengatasi ketidakpercayaan diri, kita perlu belajar menghargai proses lebih dari pada hasil. karena proses pembelajaran pada anak usia dini lebih menekankan pada proses ketimbang pada hasil. Yuk belajar menjadi orang tua dan pendidik yang bijak. Happy parenting dan salam pengasuhan.

Custom Post Signature

Custom Post  Signature
Educating, Parenting and Life Style Blogger