Apalagi di era digital sekarang, nih. Informasi yang diterima ananda banyak yang masuk dan tidak mudah untuk membendungnya. Mereka banyak mendapatkan info dari gadget. Dampaknya, menjadi orang tua di era digital ini menjadi petualangan seru yang sekaligus juga bikin deg-degan.
Nah, supaya petualangan seru kita dalam mendampingi anak bisa berjalan dalam kenyamanan hakiki, yuk kita coba pahami tahapan perkembangan spiritual Ananda. Semoga dengan berbekal diri dengan pengetahuan ini, kita bisa mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi tingkah laku si kecil yang kadang menguji adrenalin kita. Semoga setelah paham, Super Parents akan dengan santai menanggapi keanehan tingkah si kecil dengan hanya bergumam “oh, itu memang hal wajar …!”
Siap-siap ya! Kita akan memecahkan kode 'bahasa rahasia' spiritual anak-anak, dari yang cuma bisa bilang "Tuhan baik" sampai yang sok-sokan ceramah ala ustadz cilik. Semoga setelah membaca pemaparan ini, Super Parents bakal memiliki kekuatan penuh untuk memahami dan membimbing perjalanan spiritual Si Kecil.
Tahapan Perkembangan Pembelajaran Nilai Keagamaan Anak Usia Dini
Mari kita lanjutkan diskusi kita tentang bagaimana ananda yang sudah memasuki usia taman-kanak-kanak mulai mengenal dan memahami nilai-nilai agama. Berikut ini 5 kemungkinan tentang tahapan perkembangan dan pemahaman ketika anak diperkenalkan tentang nilai keagamaan, ada 5 tahapan nih Super Parents, diantaranya yaitu unreflective, egocentris, misunderstand-verbalis, ritualis, dan imitative.
Tahap Unreflective (Tanpa Refleksi)
John Echol (1995) Memaknai istilah reflektif sebagai tidak mendalam. Pada tahapan ini, anak belum memiliki kemampuan untuk menyaring informasi keagamaan yang mereka dapatkan secara mendalam. Mereka belum bisa merenungkan. Mereka akan menerima informasi sesuai dengan pikiran polos mereka. Kalau orang tua bilang "Tuhan selalu melihat kita", bisa saja Ananda berimajinasi Tuhan adalah sesosok makhluk yang memiliki mata besar dan mengawasi terus.
Ketika Super Parents bercerita tentang keindahan surga, bisa jadi dalam benak Ananda akan terbayang bahwa surga adalah suatu tempat yang dipenuhi dengan aneka coklat, permen dan juga puding. Atau hal lainnya sesuai dengan apa yang Ananda sukai dan gandrungi.
Untuk itu pada tahapan ini pemberian pengetahuan keagamaan masih dalam konteks yang sederhana. Jangan sekali-kali kita menakut-nakuti Ananda dengan ungkapan,"Nanti masuk neraka lho!". Fokus saja dulu ke hal-hal dasar seperti, "Tuhan sayang kita" atau "Berbuat baik itu penting".
Berbasis pernyataan Maria Montessori yang menerangkan bahwa pikiran anak usia dini layaknya sebuah spons, mereka akan menyerap segala informasi yang masuk ke dalam pikiran mereka dengan sangat mudah, semudah spons dalam menyerap cairan. Untuk itu pada tahapan ini ceritakan hal-hal yang baik terlebih dahulu.
Para pendidik dan orang tua juga tidak perlu terlalu kecewa atau memarahi anak ketika anak tidak serius menjalankan pembelajaran tentang salat atau doa, karena anak belum bisa serius dan merenungkan apa yang dipelajarinya. Apalagi jika kita menuntut mereka untuk mengikuti sama persis dengan apa yang kita ajarkan.
Hal ini bukan menunjukkan ketidakberhasilan dalam proses pembelajaran, kita harus memahami bahwa memang anak sedang dalam tahapan pemahaman unreflective. Selain itu juga kemampuan mereka belum sempurna, misalnya perkembangan bahasa yang masih dalam tahap perkembangan, misalnya masih ada yang cadel atau banyak tidak mengenal kata dan juga tidak paham artinya. Banyak kata asing yang bisa mereka ketahui melalui pemeblajaran nilai agama. Selain itu motoriknya juga belum berkembang sempurna seperti halnya juga aspek perkembangan lainnya.
Tahap Egocentris (Berpusat pada Diri Sendiri)
Pada tahapan ini, anak sudah memasuki pada tahapan memiliki sedikit pengertian atas informasi yang didapatkan. Mereka akan berpikir dan banyak bertanya. Namun masih terbatas konteks ke ’Aku-an’ nya.
Hal ini bisa dilihat dari tingkah lucunya ketika berdoa dia akan berkata, "Ya Tuhan, bukakan hati mama agar mau membelikan aku mobil remote, ya!” Bahkan ketika hari terlihat cerah setelah seharian turun hujan dia akan berceloteh, “Alhamdulillah Allah maha tahu, nih, kalau aku emang beneran lagi ingin main sepeda di luar!”.
Untuk itu, tahap ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mengenalkan anak pada konsep ke-Tuhanan, bahwasannya Tuhanbertindak secara universal, kemurahannya diperuntukkan bagi semua manusia. Super Parents bisa mengajak mereka berdiskusi dengan ungkapan, “ Kakak, menurut kamu kira-kira Allah azza wa Jalla sayang tidak ya sama teman-teman kamu?”
Pada tahap ini juga Super Parents sudah bisa mengenalkan konsep bersyukur atas pemberian yang Allah kasih, bukan hanya sekedar meminta lewat doa saja. Mereka sudah bisa diberi pemahaman bahwa harus banyak bersyukur dengan apa yang sudah diberikan Allah selama ini. Dengan cara apa? Dengan menjadi anak baik, mau belajar ngaji, mau belajar salat dan nilai-nilai kebaikan lainnya.
Namun, jangan kecewa jika mereka juga tidak mau mengikuti perintah kita untuk belajar salat misalnya, karena di tahapan ini ego mereka masih sangat dominan dan psikologis mereka belum stabil. Perlu sabar dalam mengarahkannya.Tahap Misunderstand-Verbalis (Salah Paham Verbal)
Di tahap ini, biasanya anak-anak udah mulai terbiasa dengan istilah "agamis" walaupun sering salah mengartikan, misalnya, pahala diartikan seperti sebuah permen. Biasanya anak-anak seringkali reflek mengucapkan kata astagfirullah walau sesungguhnya tidak paham kalau maknanya adalah mohon pengampunan. Atau ada juga nih anak kecil yang berseloroh, “Ih, kamu nakal, kamu harus tobat!” Ketika ditanya apa makna tobat, maka si kecil bingung menjawabnya.
Nah, pada tahap ini, Super Parents mulai bisa menjelaskan sedikit demi sedikit tentang makna kata-kata agamis yang sering didengar oleh anak. Ini waktu yang tepat untuk menjelaskan makna dari kata-kata agama yang acap mereka dengar.
Gunakan kalimat sederhana ketika menjelaskan, misalnya "Nak, Pahala itu seperti hadiah dari Allah karena kita berbuat baik." Atau “Tobat itu maksudnya meminta maaf kepada Allah.” Ketika Ananda salah mengartikan ada baiknya Super Parents tidak menertawakannya apalagi kalau sambil marah.
Menertawakan atau memarahi anak bisa menyebabkan Ananda kehilangan rasa ingin tahunya (curiosity) terhadap nilai keagamaan dan akhirnya malas untuk belajar.
Tahap Ritualis (Terfokus pada Ritual)
Sekarang kita masuk ke tahap di mana anak-anak mulai tertarik dengan ritual-ritual agama. Mereka suka sekali melakukan hal-hal yang kelihatannya "agamis", meskipun belum memahami maknanya. Misalnya Anak perempuan lagi senang-senangnya pakai mukena, bahkan sampai digunakan saat bermain.
Anak laki-laki senang sekali mendengar suara adzan tetapi mungkin kesenangannya itu dilandasi karena suka ketika mendengar adzan digaungkan lewat pengeras suara. Atau rajin ikut tarawih hanya karena ingin mendapat makanan buka puasa.
Nah, Ini momen yang bagus untuk mulai menjelaskan makna di balik kegiatan ritual keagamaan. Bisa mulai dari hal-hal simpel, misalnya "Kita sholat untuk berterima kasih sama Tuhan." Jangan terlalu kaku. Kalau anak main-main pakai atribut agama, gak papa. Perlahan kita mengajari mereka tentang cara menghormatinya.
Pada usia 3-6 tahun kemampuan Bahasa anak juga sedang proses berkembang. Berbasis pendapat pakar Bahasa Elizabeth tentang konsep perkembangan Bahasa yang sedang pesat di masa ini. Mengembangkan dan mengenalkan nilai agama kepada anak juga bisa dijadikan sarana untuk mengembangkan bahasanya.
Disarankan untuk melatih kegiatan keagamaan dengan konsisten melalui latihan secara rutin dan praktik langsung bukan hanya sekedar pengetahuan yang informatif saja.Karena pengalaman nyata akan memberikan pengalaman yang berdampak bagi anak.
Tahap Imitative (Meniru)
Masa kanak-kanak masih berada dalam masa dasar dalam perkembangan. Mereka sangat tertarik untuk meniru apa yang orang dewasa di sekitarnya lakukan. Mereka berusaha menjadi "mini-version" dari sosok orang dewasa yang berada di sekitarnya.
Anak-anak pintar sekali berakting jadi "orang yang agamis". Pada tahapan ini anak perempuan mulai suka pake jilbab meniru bundanya. Yang laki-laki senang mengenakan sarung dan peci menitu gaya ayahnya.
Mereka mulai bergaya menasehati temannya menggunakan istilah agamis, padahal sendirinya masih suka berbuat kesalahan yang sama. Bahkan ada juga lho anak yang mahir menirukan gaya seorang ustadz, baik dari cara berpakaian atau gaya sang ustadz berbicara. Hadeuuh. Lucunya.
Tahapan ini merupakan tahapan yang krusial. Konsisten antara perbuatan dan ucapan sangat penting agar tidak mengecewakan anak. Jika kita mendahulukan nilai agama di setiap perbuatan kita maka akan tertanam dalam jiwa anak bahwa nilai agama adalah sesuatu yang penting dan harus dijadikan pedoman.
Untuk itu jadilah orang tua yang mampu menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Persiapkan diri jauh hari sebelum dianugerahi seorang keturunan. Kalau kata ibu Maria Montessori, pengaruh keberhasilan sebuah pembelajaran adalah bersumber dari orang dewasa yang dipersiapkan baik dari sisi lahiriahnya maupun batiniahnya atau psikologisnya agar mampu membentuk generasi unggul dan membanggakan.
Tahap Perkembangan Keimanan Menurut Fowler
Teori ini berusaha memahami bagaimana iman berkembang sepanjang rentang kehidupan manusia, mirip dengan teori perkembangan moral Kohlberg atau perkembangan kognitif Piaget.
Banyak orang tua dan pendidik bertanya: “Bagaimana sebenarnya iman itu tumbuh dalam diri anak?” Pertanyaan ini dijawab dengan indah oleh James W. Fowler, seorang teolog sekaligus psikolog perkembangan yang meneliti iman sebagai proses bertumbuh sepanjang hidup manusia.
Dalam bukunya Stages of Faith (1981), Fowler membagi perkembangan iman ke dalam enam tahap. Namun, jika kita bicara tentang anak usia dini, ada dua tahap yang paling penting: Primal Faith (usia 0–2 tahun) dan Intuitive-Projective Faith (usia 2–7 tahun). Mari kita kaji lebih mendalam lagi.
Tahap 0 – Primal Faith (0–2 tahun)
Di tahap ini, bayi belum mengenal doa, surga, atau simbol keagamaan. Yang mereka kenali hanyalah rasa aman dan kasih sayang.
Fowler menyebut tahap ini sebagai fondasi iman: jika bayi merasa dipeluk, disusui dengan penuh cinta, ditenangkan saat menangis, ia akan tumbuh dengan rasa percaya, percaya bahwa dunia ini tempat yang baik, dan pada akhirnya percaya bahwa Tuhan pun bisa dipercaya.
Ada baiknya disaat seorang ibu sedang menyusui atau menimang ananda, bisa sambil dibacakan doa atau zikir pelan-pelan. Seorang bayi memang belum mengerti dan paham maknanya, tapi ia bisa merasakan energi kasih sayang yang melekat pada proses pelukan dan suara lirih dari ibunya.
Biasakan membisikkan kalimat “Alhamdulillah” saat bayi tersenyum, atau “Bismillah” saat menyuapinya. Kata-kata yang mengandung doa dan penuh makna ini akan melekat dalam memori afektif anak.
Coba bayangkan jika seorang ibu acap kali melakukan hal ini ketika menidurkan bayinya, mengusap kepala sambil berdoa: “Ya Allah, lindungilah anakku.” Momen sederhana ini menjadi pondasi spiritual yang lebih kuat dari sekadar teori.
Tahap 1 – Intuitive-Projective Faith (2–7 tahun)
Ciri umum pada tahap 1 ditandai dengan keimanan pada diri anak terbentuk melalui imajinasi, fantasi, cerita, dan pengalaman simbolis. Anak menangkap nilai dan gambaran iman melalui cerita, doa, lagu, simbol keagamaan, dan perilaku orang dewasa.
Belum ada pemikiran logis yang matang, pada tahap ini pemahaman agama masih sangat dipengaruhi oleh kesan visual, emosi, dan teladan orang tua/guru. Anak belum bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi secara utuh, sehingga sering mengimajinasikan Allah, malaikat, surga-neraka sesuai cara berpikirnya. Peran orang dewasa sangat penting, anak meniru doa, ibadah, sikap religius dari orang tua, guru, atau figur yang dikaguminya.
Pada jenjang PAUD, pendidikan iman harus berbasis pengalaman konkret, misalnya melalui lagu religi, doa pendek, kisah nabi, permainan simbolik, dan juga sosio drama yang diangkat dari kisah sederhana.
Teladan orang dewasa atau contoh dari guru sangat berperan dan berarti bagi anak. Anak belajar iman bukan dari definisi, melainkan dari apa yang dilihat misalya melalui aktivitas praktik baik yang dia lihat dari figur guru/orang tuanya melakukan shalat, membaca doa di setiap kegiatan yang dilakukan.
Gunakan bahasa sederhana ketika menyampaikan kegiatan spiritual pada anak. Berikan juga media yang menarik agar menjadi simbol yang mudah dipahami anak ketika memberikan pembelajaran tentang doa-doa singkat, kisah-kisah inspiratif atau bentuk ibadah sederhana lainnya yang bisa diajarkan pada anak, agar anak merasakan bahwa iman itu indah, menyenangkan, dan menenteramkan.
Memasuki usia batita hingga prasekolah, dunia anak dipenuhi imajinasi. Mereka bisa membayangkan Allah seperti seorang raja di langit, atau malaikat seperti tokoh kartun bersayap. Bagi orang dewasa, ini kadang terasa “keliru”. Namun bagi Fowler, inilah cara anak menangkap iman melalui simbol, cerita, dan fantasi.
Cara jitu yang bisa diterapkan pada anak adalah dengan membacakan kisah Nabi Nuh bersama perahu besar dan hewan-hewan, karena anak suka visualisasi konkret. Dari situ, mereka belajar nilai ketaatan kepada Allah.
Dalam mengajarkan doa pendek untuk kegiatan rutinitas bisa dengan cara penyampaian dengan penuh emosional dan ekspresif, misal mengajarkan doa makan dengan kalimat sederhana sambil tersenyum, memperagakan dengan gerakan tangan isyarat mata dan lainnya yang menyenangkan. Anak akan mengasosiasikan doa dengan rasa senang.
Kita juga bisa mengenalkan pada anak simbol konkret keagamaan misalnya dengan menunjukkan masjid, sajadah, atau mushaf sebagai alat praktik dalam beribadah muslim. Anak memang belum memahami makna mendalamnya, tapi simbol itu membangun image iman dalam pikirannya.
Relevansi dengan pendidikan Islam AUD
Konsep Fowler sejalan dengan pendekatan Islam, karena Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya teladan (uswah hasanah) dalam mendidik anak. Pendidikan iman pada usia dini dianjurkan dengan membiasakan (doa, salam, adab makan-minum, shalat) tanpa penjelasan yang abstrak. Kisah para nabi dan pembelajaran doa sehari-hari sangat sesuai dengan cara berpikir imajinatif anak.
Untuk 5 tahapan selanjutnya kita bahas secara singkat saja agar menjadi wawasan tambahan bagi kita, 5 tahapan selanjutnya adalah:
Tahap 2 Mythic Literal Faith (± 7–12 tahun)
Tahap ini dialami oleh anak yang memasuki usia sekolah dasar hingga menjelang remaja. Ciri utamanya adalah anak mulai berpikir lebih logis, tetapi masih terikat pada hal-hal konkret. Ia memahami kisah-kisah iman secara harfiah dan hitam-putih. Konsep benar salah, pahala dosa, surga neraka diterima tanpa nuansa.
DAri aspek kejiwaan anak menyukai cerita moral yang jelas tokoh baik dan tokoh jahatnya. Nilai iman diartikan oleh anak sebagai aturan yang harus dipatuhi. misalnya seorang anak berkata, “Kalau aku tidak salat, nanti Allah marah dan aku masuk neraka.” Pemikiran ini literal, tetapi menjadi dasar penting untuk menanamkan disiplin agama. Tugas orang tua/guru adalah memberi makna di balik aturan tersebut misalnya menjelaskan bahwa salat itu juga membuat hati tenang.
Tahap 3 Synthetic Conventional Faith (remaja)
Tahap ini dialami oleh anak ketika memasuki usia SMP hingga remaja akhir. Ciri pada tahap ini seorang
remaja membangun iman dari lingkungan sosial teman sebaya, komunitas, tokoh idola, atau keluarga. secara kejiwaan identitas diri seorang remaja sedang terbentuk, sehingga iman jika dijabarkan menjadi bagian dari “siapa saya di mata orang lain”. Para remaja cenderung mengikuti keyakinan yang dipegang lingkungannya.
JIka kita jabarkan menjadi sebuah contoh kasus, misalnya seorang remaja ketika rajin ikut kajian biasanya didasari karena semua teman dekatnya hadir, bukan tumbuh dari dorongan pribadi dirinya sendiri. Hal ini normal terjadi pada anak usia remaja, namun kita sebagai orang tua perlu menuntun agar para remaja yang sedang mencari jati diri bisa meningkatkan keimanannya bukan hanya sekadar ikut-ikutan, melainkan berproses menjadi keyakinan yang tumbuh secara sadar.
Tahap 4 – Individuative-Reflective Faith (dewasa awal)
Tahapan ini dialami oleh usia dewasa muda, biasanya mahasiswa atau awal bekerja. Ciri utamanya adalah mulai ada refleksi kritis terhadap iman yang diwariskan sejak kecil. Seorang individu pada tahap ini mulai bertanya, “Mengapa saya percaya ini? Apakah benar keyakinan ini pilihan saya sendiri?”
secara kejiwaantahap ini bisa memunculkan krisis iman karena setiap individu biasanya akan mempertanyakan dasar keyakinannya. Namun di sisi lain, inilah masa penting untuk menemukan iman yang lebih personal dan autentik. Hal ini bisa dianalogikan misalnya seorang mahasiswa yang tumbuh di keluarga religius mulai mempelajari kitab suci sendiri, meneliti sejarah agama, atau membandingkan pandangan pandangan tentang konsep ke-Tuhanan. Mungkin ada perasaan ragu yang terselip, tapi pada akhirnya membangun iman yang lebih matang dan sadar.
Tahap 5 Conjunctive Faith (dewasa paruh baya, ± 35 tahun ke atas)
Tahap ini umumnya muncul di usia dewasa matang. Kesadaran bahwa kebenaran itu kompleks. Pada tahapan ini biasanya seseorang mampu menerima setiap perbedaan, tanpa merasa keimanan yang dimilikinya terancam.
Orang pada tahap ini menjadi lebih bijak, lebih rendah hati, dan inklusif. Ia tetap teguh pada imannya, tetapi juga mampu menghargai jalan iman orang lain. Misalnya seorang guru Muslim terbiasa menjalankan shalat lima waktu, namun bisa juga dengan tulus menghormati perayaan agama murid-muridnya yang berbeda keyakinan. Ia tidak merasa imannya berkurang, justru bertambah kaya.
Tahap 6 Universalizing Faith (sangat langka)
Tahap ini tidak terikat pada kedewasaan atau faktor usia, namun hanya segelintir orang yang bisa sampai pada tahap ini. Ciri utamanya adalah keimanan menjadi lambang sebuah cinta yang sifatnya universal dalam artian mampu menembus batas agama, suku, atau golongan. Orang pada tahap ini hidup sepenuhnya untuk pelayanan dan kebaikan.
Secara kejiwaan, seseorang yang sudah memasuki tahap ini akan melihat seluruh umat manusia sebagai satu keluarga. Mampu hidup rukun berdampingan, sehingga meyakini bahwa pengorbanan dan kasih sayang harus diberikan tanpa pamrih.
Tokoh-tokoh agung seperti Nabi Muhammad, Mahatma Gandhi, atau Ibu Teresa. Mereka menjadi teladan dunia, karena imannya melahirkan kasih sayang universal.
Mengembangkan Nilai Keagamaan Melalui Konsep Potret, Esensi dan Target
Postur tubuh annak yang mungil menjadi sinyal bagi kita orang dewasa agar bisa lebih memahami karakteristik dasar anak. Mereka tentu saja perlu dibina oleh kita sebagai orang dewasa yang sudah memiliki kebesaran baik dari sisi fisik maupun psikologisnya. Tugas kita lah membimbing anak dengan kesesuaian tahap perkembangannya, begitu pula dalam menanamkan nilai agama. Ada 3 hal yang harus kita perhatikan, Pengembangan nilai agama didasarkan pada potret, esensi dan target. Apa maksudnya, yuk lanjut kita baca pemaparannya.
Potret Pengembangan Nilai Agama Anak
Anak dibimbing harus dengan patokan yang jelas. Kurikulum yang diterapkan harus jelas. Penjelasan tentang program pengembangan agama jangan hanya sekedar melakukan rutinitas saja seperti halnya pembiasaan pada makan, minum, tidur dan urusan biologis lainnya.
Program penanaman nilai keagamaan pada anak harus mengakar pada diri anak. Anak harus terbentuk menjadi pribadi yang mampu memaknai konsep dirinya hadir di dunia ini pada pemikirannya kelak setelah dia dewasa.
Dari sejak dini harus dikenalkan secara bertahap, bahwa kita hidup sebagai manusia harus memiliki nilai bukan hanya sekedar urusan biologis, karena jika penekanan hanya ada pada urusan biologis akan sama saja fungsi kita seperti hewan.
Esensi Pengembangan Nilai Agama
Jadi, apa intinya mengajarkan agama ke anak usia dini? Esensinya bukan hanya menciptakan anak menjadi robot yang hafal ayat-ayat, tapi lebih pada penanaman nilai-nilai baik yang sesuai ajaran agama. Penekanannya dalam pembentukan akhlak mulia dan mensupport anak untuk menjadi versi terbaik dari yang dirinya miliki. Secara simpel, kita mau anak paham bahwa ada 'sesuatu' yang lebih besar dari diri mereka, yang menyayangi dan melindungi mereka.
Goalnya adalah membimbing anak agar bisa lebih mengenal Tuhannya. Bukan hanya mengenal nama tapi juga mengetahui bahwa Allah itu memiliki sifat bai seperti penyayang , pemurah, maha kaya dan lainnya.
Melalui penanaman nilai agama anak jadi memahami mana hal yang boleh dia lakukan mana yang “Big No No” berdasarkan nilai agama yang dianut dan bukan hanya berdasarkan takut pada orang tua. Kita juga sedang membiasakan anak untuk melakukan ritual ibadah menurut agamanya. Tentu saja tanpa paksaan! Sehingga anak bisa bersyukur bukan hanya pada manusia, namun juga kepada Tuhannya.
Target Nilai Pengembangan Nilai Agama Anak
Target utamanya adalah untuk mewarnai pertumbuhan dan perkembangan anak dekat dengan nilai keagamaan. Semua ini didasarkan pada:
- Anak terlahir dalam keadaan suci. Seusai dengan hadis Rasulullah SAW, yang menyatakan bahwa Sesuangguhnya anak dilahirkan dalam keadaan suci, Ayah ibunya lah yang menjadikan dia Nasrani, Yahudi dan juga Majusi.
- Awal kehidupan anak tentu akan penuh diwarnai dengan prinsip kejiwaan yang dimiliki oleh anak.
Atas dasar inilah sebagai orang tua dan pendidik target kita ketika membimbing anak pertama kali berbicara dia harus bisa berbicara dengan menggunakan kata-kata yang sopan. Ketika makan dia harus terbiasa menggunakan tangan kanan, menghabiskan makanan dan tidak tabzir. Makan dengan mengambil makanan yang paling dekat dengannya, dan hal lainnya yang sudah ditetapkan oleh kaidah agama.
Kompetensi Perkembangan Nilai Agama dan Moral AUD
Supaya Super Parents memiliki sedikit gambaran tentang apa saja nilai-nilai yang perlu dikembangkan dan diterapkan pada ananda, saya akan memaparkan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan nilai agama dan moral sesuai dengan tahapan usia ananda. Berikut ini pemaparannya:
Kompetensi Perkembagan
Nilai Agama dan Moral
|
Usia 3 – 4 tahun
|
Usia 5 – 6 tahun
|
Aplikasi
Kegiatan
|
Keterangan
|
Mengenal
Tuhan
|
Menyebut nama
Tuhan.
Mengetahui
tempat ibadah sesuai dengan agamanya.
Meniru
kegiatan ibadah secara sederhana.
|
Menyebutkan
ciptaan-ciptaan Tuhan.
Memahami sifat-sifat
Tuhan seperti pengasih, penyayang, maha kaya dan lainnya.
Mengenal doa-doa
pendek.
|
Menggunakan
kartu info.karya wisata di alam untuk mengenalkan konsep ciptaan Tuhan dan
sifat Tuhan.
|
Usia 3 – 4 tahun
mengenal konsep dasar seperti nama Tuhan dan tempat ibadah. Sedangkan untuk
usia 5 – 6 tahun lebih kompleks, yaitu sifat Tuhan dan ciptaannya.
|
Moral dan
Etika
|
Mengucapkan
terima kasih ketika mendapatkan sesuatu.
Mengucapkan
salam.
Mengetahui
sikap baik dan buruk.
Mengucapkan
terima kasih, minta tolong, mengucapkan maaf.
Mau menyapa
serta menjawab sapaan.
|
Bersikap
sopan terhadap orang tua dan guru.
Mengerti
konsep benar dan salah.
Mulai
menanamkan konsep kejujuran.
Menyiram
tanaman, memberi makan binatang. Bersikap ramah.
Meminta
tolong dengan baik.
Berbahasa sopan
ketika berbicara.
|
Bermain
puzzle sederhana tentang aneka sifat baik.
|
Usia 3 – 4 tahun
mulai mengenal orang lain. Usia 5 – 6 tahun mulai peduli lingkungan.
|
Toleransi
|
Mengenal aneka
keberagaman di kalangan temannya.
Mulai
Menghargai orang lain.
|
Menghargai
teman yang berbeda agama.
Memahami jika
masing-masing orang memiliki cara beragama yang berbeda.
|
Melalui pembelajaran
seni. Menggambar symbol agama, atau membuat karya seni yang berhubungan
dengan tema keagamaan.
|
|
Kegiatan
Keagamaan
|
Ikut serta
dalam kegiatan keagamaan sederhana.
Mendengarkan
cerita-cerita keagamaan.
|
Mampu melakukan
ibadah sederhana sesuai agamanya melalui bimbingan.
Mengenal
hari-hari besar keagamaan.
Berpartisipasi
dalam perayaan hari keagamaan dalam konteks sederhana.
Mengenal
ciptaan Tuhan dan menyebutkannya seperti kucing, pohon rambutan dll.
Menyanyikan
lagu keagamaan.
|
Menggunakan
metode bercerita, mengenalkan tokoh nabi dan kebaikannya. Misal Nabi Muhammad
SAW yang pemaaf.
|
Usia 3 – 4 tahun
Meniru kegiatan ibadah secara sederhana. Sedangkan Usia 5 – 6 tahun melakukan
ibadah secara mandiri, mulai memiliki inisiatif.
|
Nilai
Kemanusiaan
|
Mau menolong
teman.
Tidak
mengganggu teman.
|
Menunjukkan
sikap mau menolong teman.
Mulai
memahami pentingnya berbagi.
Menunjukkan
kepedulian pada lingkungan sekitar.
|
Menggunakan
metode bermain peran untuk usia 3 – 4 tahun, mempraktikan membantu ibu. Untuk
usia 5 – 6 tahun memerankan adegan berbagi makanan dengan teman.
|
Usia 3 – 4 tahun
mulai mengenal teman. Sedangkan usia 5 – 6 tahun aktif menghargai perbedaan
dan menunjukkan sikap toleransi.
|
Pengenalan
Kitab Suci
|
|
Mengenal
kitab suci agamanya.
Mampu menyebutkan
tokoh kitab suci.
|
Dengan metode
berbanyi, tengtang kitab suci.
|
Usia 3 – 4 tahun
belum ada indokator spesifik.
Sedangkan
umur 5 – 6 tahun mulai mengenal macam-macam kitab suci dan Nabinya.
|
|
|
|
|
|
Nah, Super Parent, perlu diingat juga, bahwa setiap anak itu terlahir unik, jadi ketika mencoba menerapkan nilai keagamaan dan moral pada anak harus disesuaikan dengan tahap perkembangan masing-masing anak. Jangan memaksa dan harus dilakukan dalam suasana yang bahagia, aman juga nyaman bagi orang tuanya dan tentu saja bagi si kecil.
Gunakan bahasa yang sederhana ketika menjelaskan pada anak dan berikan afirmasi positif, agar mereka senang melakukan hal positif yang sesuai tuntunan.
Prinsip Dasar Pembelajaran Perkembangan Nilai Anak
Selain mengetahui tahapan perkembangan dalam pembelajaran nilai-nilai agama, sebagai orang tua dan pendidik kita juga harus paham prinsip dasar dalam kajian perkembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini. Apa sajakah? Mari kita kupas lagi!
- Prinsip Aktivitas. Kegiatan reel akan lebih berdampak buat anak. Utamakan penerapan yang dilakukan erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.
- Prinsip Keteladanan. Siap menjadi tauladan bagi Ananda. Karena jika tidak ada contoh yang linier maka proses pembelajaran akan sia-sia.
- Prinsip Kesesuaian dengan Kurikulum Spiral. Sampaikan pembelajaran secara bertahap, dimulai dari yang sangat mudah, mudah dan agak sulit menuju pada hal sulit.
- Prinsip Developmentally Appropriate Practise (DAP). Utamakan prinsip kesesuaian pada perkembangan setiap anak, jangan memaksa anak layaknya orang dewasa mini yang harus asama dengan kita.
- Prinsip Psikologi Perkembangan Anak. Terapkan prinsip yang memahami psikologi perkembangan anak, kenali fase perkembangannya.
- Prinsip Monitoring. Lakukan monitoring rutin dan berkala. Sampai sejauh mana anak mampu menerapkan pembelajaran yang sudah diberikan. Hal ini penting untuk pijakan evaluasi ke depannya.
Kesimpulan dan Antisipasi Sikap Orang Dewasa Terhadap Pengembangan Nilai Keagamaan Anak
Dalam proses mengembangkan nilai agama pada anak, yang paling penting adalah kita sebagai orang dewasa sekaligus pendidik harus menyiapkan diri untuk menjadi orang dewasa matang yang patut menjadi contoh baik bagi ananda.
Anak-anak lebih suka meniru daripada diceramahi Panjang lebar. Kita juga harus selalu siap menjawab pertanyaan mereka, walau pun jangan ragu menjawab tidak tahu jika memang kita tidak mengetahui jawaban yang ditanyakan oleh anak. Ajak anak untuk mencari jawabannya bersama, misalnya lewat baca buku atau mendengarkan kajian di Youtube. Pertanyaan dari anak-anak seringkali membuat kita harus berpikir keras lho untuk menemukan dan memberikan jawaban yang tepat.
Buat suasana belajar agama menjadi menyenangkan. Melalui konsep bercerita, nyanyian, atau permainan. Hormati proses mereka. Kadang anak-anak bisa mundur atau maju dalam pemahaman agamanya. Konsistensi itu perlu dan penting sekali. Jika kita ingin mengajarkan tentang kejujuran, bangun dulu diri kita menjadi orang yang jujur. ya kita juga harus jujur.
Libatkan anak dalam kegiatan sosial keagamaan. Misalnya, mengajak mereka berbagi makanan takjil atau terbiasa membantu kita menunaikan zakat. Hal ini mengajarkan kepada anak tentang aspek sosial keagamaan. Ajari ananda perihal toleransi dalam agama dari sejak kecil dalam konteks yang sederhana.
Perkembangan spiritual anak merupakan perjalanan yang panjang. Dalam proses perjalanannya bisa saja kita menemukan kerikil atau liukan, jalannya tak melulu lurus juga lurus. Yang terpenting kita bisa menjadi seorang pemandu yang sabar dan bijak dalam menemani perjalanan mereka mengenal dan memahami nilai-nilai agama.
Mengajarkan nilai-nilai agama pada anak itu layaknya sedang bercocok tanam. Bibit yang kita tanam tidak bisa kita paksakan agar tumbuh langsung besar, semuanya berproses, butuh siraman air serta pemberian pupuk yang sesuai agar bisa tumbuh subur.
Jadi, santai saja dalam menghadapi pelangi perkembangan spiritual anak-anak. Yang penting kita bisa menjadi panutan yang baik dan selalu siap menjawab pertanyaan mereka dengan sabar. Nikmati prosesnya dan syukuri hasilnya. Pelan-pelan tapi pasti, mereka bakal tumbuh menjadi individu yang memiliki pemahaman agama yang kuat dan bermakna. Tapi ingat ya, ini bukan aturan kaku. Setiap anak itu unik dan bisa saja punya "jalan spiritual" yang beda-beda.
Stttt..., Super Parents sadar tidak, sebenarnya petualangan kita dalam memahamkan anak pada nilai keagamaan adalah bukan hanya anak yang berkembang pemahaman nilai keagamaannya tapi titik berat justru ada pada pengembangan kedalaman pemahaman agama kita sendiri. Setuju? Keep spirit dan salam pengasuhan.